Jalan Raya Pos

jalan raya di Indonesia
Revisi sejak 21 Agustus 2021 14.32 oleh AnsyahF (bicara | kontrib) (Latar belakang (lagi))

Jalan Raya Pos (bahasa Belanda: De Groote Postweg atau De Grote Postweg) adalah jalan raya sepanjang 1.000 kilometer (620 mi) di Jawa yang membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalan ini sebagian besar berjalan bersamaan dengan Jalan Nasional Rute 1 (juga dikenal sebagai Jalur Pantura) yang merupakan salah satu jalan nasional di Indonesia dan bagian dari Jaringan Jalan Asia.

Jalan Raya Pos
Peta Jalan Raya Pos di masa Hindia Belanda
Peta Jalan Raya Pos di masa Hindia Belanda
Informasi rute
Panjang:1.000 km[1][2][a] (621 mi)
Periode waktu:1809 – sekarang
Sejarah:Jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda
Persimpangan besar
Ujung barat:Anyer
Ujung timur:Panarukan

Jalan ini dibangun atas perintah dari Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (m. 1808-1811) sebagai salah satu langkahnya dalam memodernisasi Jawa, terutama dalam pertahanan dan pemerintahannya. Pada awalnya, jalan ini tidak boleh dilewati oleh rakyat biasa hingga pada tahun 1853.

Latar belakang

Sebelum jalan ini dibangun, sekitar 1750 sudah ada jalan yang menghubungkan Batavia ke Semarang dan seterusnya ke Surabaya. Terlebih lagi, jalan yang menghubungkan Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta juga sudah ada pada waktu itu. Namun, hujan tropis yang deras seringkali menghancurkan jalannya.[6]

Pada 28 Januari 1807, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang diangkat menjadi raja di Belanda semasa Peperangan Napoleon, dimana Prancis saat itu berperang dengan Inggris.[7] Cemas akan masa depan Jawa, khususnya setelah Isle de France (kini Mauritius) diserbu Inggris pada 1807, Louis memberi dua tugas utama kepada Daendels, yaitu mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris dan membenahi sistem administrasi pemerintahannya.[8] Instruksi yang sama juga diterimanya oleh Napoleon Bonaparte saat bertemu di Paris, sesaat sebelum pergi ke Jawa.[9]

Pilihan Daendels untuk membangun jalan raya diinspirasi oleh konsep jalan raya pos Kekaisaran Romawi, cursus publicus [en], yang mengikatkan Roma, ibukotanya, dengan kota-kota yang ditaklukkannya dalam satu kesatuan.[10][1] Dengan demikian, Daendels berkeinginan untuk menerapkan konsep yang sama dengan mengikatkan Batavia, ibu kota Hindia Belanda, dengan daerah-daerah di Jawa melalui Jalan Raya Pos.[11] Sumber lainnya mengatakan bahwa idenya untuk membangun sebuah jalan raya mungkin dipengaruhi oleh perjalanannya menuju Jawa. Saat itu, Inggris menguasai lautan dan memblokade akses Prancis ke lautan sehingga memaksa Daendels harus melalui daratan Prancis terlebih dahulu dengan jalan raya yang dibuat oleh Napoleon.[6]

Jalan tersebut dinamai Jalan Raya Pos karena Daendels membangun sebanyak 50 kantor pos di antara Batavia dan Surabaya untuk mempercepat komunikasi dengan para pejabatnya. Komunikasi saat itu dianggap hal yang berharga karena Daendels merasakan sulitnya berkomunikasi dengan mereka yang tersebar di seluruh Jawa dan lalu lintas laut yang bisanya digunakan untuk menyampaikan surat diblokade Inggris.[12]

Pembangunan

 
Daendels membangun Jalan Raya Pos di atas Jawa. Sebuah ilustrasi anonim ca 1910

Pada 29 April 1808, agar lebih mengetahui permasalahan di Jawa lebih lanjut, Daendels melakukan perjalanan dari ke Semarang dan ujung timur Jawa. Setibanya di Semarang pada 5 Mei 1808, ia mengeluarkan perintah untuk membangun Jalan Raya Pos, dimulai dengan memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada sebelumnya. Karena keterbatasan biaya, Daendels hanya meratakan jalan dari Batavia ke Buitenzorg (kini Bogor) dan membangun petak jalan di Preanger. Sisanya, yaitu jalan dari Cirebon hingga Surabaya dikerjakan oleh para bupati di daerahnya masing-masing.[13]

Sebagian besar pembangunan jalan raya ini berupa pembaikan

Jalur pertama

Pembangunan Jalan Raya Pos pertama dimulai dari Buitenzorg ke Karangsambung (kini Kecamatan Tomo di Sumedang) berdasarkan perintah Daendels pada 5 Mei 1808. Jalur ini direncanakan melalui Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang. Secara teknis, jalur tersebut harus dibuat selebar 2 rijnlandse roeden (~7.5 meter) dan didirikan tiang di setiap 400 rijnlandse roeden (~1.5 kilometer) untuk menunjukkan jarak dan menandai batas distrik.[14] Pemerintah menyediakan anggaran sebesar 30.000 ringgit perak untuk membangun jalur ini, sementara para pekerjanya disediakan oleh Nicolaus Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, sebanyak 1.100 orang.[15] Proyek ini dipimpin oleh Kolonel Zeni Balthazar Friedrich Wilhelm van Lützow dengan bantuan dari Komisi Negara dan dua insinyur militer. Van Lützow kemudian menyerahkan tanggung jawab sebagian pengerjaan, yaitu jalur Cisarua-Cianjur dan Parakan Muncang-Karangsambung, kepada dua insinyurnya. Masing-masing insinyur dibantu oleh dua bintara yang dipilihnya.[16][17]

Daendels juga menetapkan jumlah pekerja dan upah yang berbeda untuk membangun jalan ini, mengingat kondisi medan yang berat yang dihadapi oleh para pekerja. Rinciannya adalah sebagai berikut:[18]

Dari Ke Jumlah pekerja Upah

(ringgit perak)

Cisarua Cianjur 400 orang 10 per orang/bulan
Cianjur Rajamandala 150 orang 4 per orang/bulan
Rajamandala Bandung 200 orang 6 per orang/bulan
Bandung Parakan Muncang 50 orang 1 per orang/bulan
Parakan Muncang Sumedang 150 orang 5 per orang/bulan
Sumedang Karangsambung 150 orang 4 per orang/bulan

Pada 28 Maret 1809, para pekerja dari Batavia dan Preanger yang membangun jalan antara Cianjur-Sumedang diberi bantuan berupa 1.5 pon beras setiap hari dan 5 pon garam garam setiap bulan hingga jalan selesai dibangun. Sehari setelahnya, para pekerja juga diberi kapak dan peralatan lainnya. Kemudian, para pekerja yang didatangkan dari Cirebon dan daerah vorstenlanden yang membangun jalan di Sumedang akan diberi upah dua ringgit perak setiap bulan ditambah tiga gantang beras, sementara para mandor akan diberi upah tiga ringgit perak setiap bulan. Bantuan-bantuan ini merupakan kebijakan pemerintah atas beratnya medan yang harus ditembus, khususnya dalam pembuatan jembatan di jalur Cianjur ke Bandung dan pemotongan lereng gunung di jalur Parakan Muncang ke Sumedang.[19]

Jalur selanjutnya

Pada Juli 1808, Daendels bertemu dengan 38 bupati untuk memerintahkan mereka memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa. Ia juga menyerahkan pembangunan jalan Cirebon-Surabaya kepada mereka agar mereka bisa menarik orang-orang umum ke dalam pengabdian masyarakat. Di Jawa Tengah, jalan raya ini melewati Tegal, Pemalang, Comal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, dan Lasem. Sementara di Jawa Timur, jalan raya ini melewati Pacitan, Sidayu, Gresik, Surabaya, Porong, Bangil, Pasuruan, Paiton, Besuki, dan akhirnya Panarukan.[20] Dengan jalan raya yang sisanya dikerjakan oleh para bupati, Daendels tidak perlu membuat laporan rinci untuk jalan-jalan tersebut. Akibatnya, tidak ada arsip-arsip kolonial yang memuat laporan pembangunan jalannya, dan satu-satunya sumber informasi yang diketahui berasal dari korespondensi antara Daendels dengan Menteri Perdagangan dan Koloni saat itu, Paulus van der Heim [nl].[21]

Dalam budaya populer

Film dokumenter Jalan Raya Pos - De Grotoe Postweg, disutradarai dan ditulis oleh Bernie Ijdis, dirilis pada 1996. Film ini menceritakan tentang sejarah dan dampak modern dari Jalan Raya Pos. Pramoedya Ananta Toer, yang juga diceritakan kisah hidupnya semasa Orde Baru, mengisi narasi untuk film ini.[22]

Lihat pula

Referensi

Catatan

  1. ^ Dalam laporan jurnalistik Kompas mengenai ekspedisi Jalan Raya Pos yang dilakukannya pada 2008, disebutkan bahwa jalan ini membentang sepanjang 1.100 kilometer (680 mi).[3] Sumber lainnya menyebutkan panjang 1.228 kilometer (763 mi) dan 1.400 kilometer (870 mi).[4][5]

Kutipan

Daftar pustaka

Bacaan lebih lanjut