Pengguna:Altair Netraphim/Bookmark5
Siti Munjiyah | |
---|---|
Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-16–20 | |
Masa jabatan 1932–1936 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Siti Moendjijah 1896 Kampung Kauman, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda |
Meninggal | 1955 Kampung Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta |
Makam | Makam Kauman |
Suami/istri | K.H. Ghozali (bercerai) |
Anak | 3 anak adopsi dari Siti Bariyah |
Dikenal karena | Peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama |
Sunting kotak info • L • B |
Siti Munjiyah (Ejaan Van Ophuijsen: Siti Moendjijah; lahir di Kampung Kauman pada 1896 dan dimakamkan di Makam Kauman setelah meninggal pada 1955) adalah salah satu tokoh yang mengembangkan organisasi Aisyiyah dengan merintis Frobelschool bersama dengan Muhammad Sangidu dan para anggota Siswo Proyo Wanito (SPW). Dia adalah wanita generasi awal di Hindia Belanda yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Pendidikan yang diterimanya menimbulkan suatu kesadaran kritis bahwa adat dalam kehidupan masyarakat saat itu menghambat pola kemajuan seorang wanita. Perannya dalam skala nasional adalah menjadi peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama yang diadakan di Ndalem Jayadipuran. Dia mengemukakan pendapat tentang derajat wanita dalam acara penyampaian pidato. Pidato yang disampaikannya merupakan respon atas gerakan feminisme liberal yang berkembang saat itu. Dia mengelompokkan derajat dan kemuliaan dari kaum wanita menjadi tiga bagian, yaitu budinya yang tinggi, ilmunya yang banyak, dan kelakuannya yang baik.
Biografi
Latar belakang
Munjiyah lahir pada 1896 di Kampung Kauman, Yogyakarta,[1] yang notabene merupakan kampung para santri dan juragan batik yang berbaur menjadi satu komunitas. Penduduk Kauman merupakan keturunan dari para ulama yang mula-mula memiliki pertalian keluarga satu sama lain.[2] Sumber primer yang paling valid untuk menjelaskan kelahirannya adalah catatan pribadi ayah kandungnya sendiri, yaitu Haji Hasyim Ismail yang berprofesi sebagai abdi dalem keagamaan atau penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VIII.[a] Dia menjelaskan dalam catatannya itu bahwa tahun kelahiran putrinya, yaitu “Tatkala dhahiripun Siti Munjiyah amarengi nalika ing dinten Isnain Legi kaping 14 wulan Dzulhijah tahun Jim awal 1317” (ketika lahir Siti Munjiyah bersamaan dengan hari Senin Legi tanggal 14 bulan Dzulhijah tahun Jim awal 1317).[3]
Anak-anak Hasyim semuanya berjumlah delapan orang, sedangkan Munjiyah sendiri merupakan anak keenam. Adapun saudara kandungnya yang lain adalah Siti Jasimah, Syuja’, Fachrodin, Bagus Hadikusumo, Zaini, Siti Bariyah, dan Walidah.[4][5] Mereka kemudian dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim Kauman” dan pendukung gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan.[6] Selain itu, mereka juga mendapatkan pendidikan agama secara langsung melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Ahmad Dahlan maupun Siti Walidah.[b][7] Keterangan ini turut diperkuat oleh secarik catatan yang ditulis oleh Mu’tasimbillah Al-Ghozi (cucu Syuja’) berjudul “Anak Cucu Lurah Hasyim Ismail Berkhidmat Kepada Muhammadiyah”, yang dikutip oleh Mua’arif dan Setyowati (pengkaji Aisyiyah) sebagai berikut.[8]
Semua putra dan putri Eyang Hasyim bin Ismail, lelaki ataupun wanita, mengaji kepada orang tuanya atau belajar kepada K.H. Ahmad Dahlan, seorang guru ngaji di seberang rumahnya. Baik dalam bidang agama maupun dalam bidang ilmu umum yang K.H. Ahmad Dahlan berikan, semua generasi pertama dari Bani Hasyim belajar padanya. Generasi pertama ini kira-kira mulai tahun 1301 Hijriah atau 1880-an Masehi.[8]
Sebagai anggota keluarga dari abdi dalem keagamaan, keluarga Munjiyah memiliki pusat kegiatan di Langgar Dhuwur.[c] Dengan demikian, secara sosio-kultural dia berasal dari lingkungan keluarga yang memahami tata kehidupan dan pergaulan di lingkungan keraton, sedangkan Muhammadiyah yang tumbuh di Kauman turut memberikan pengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya.[9]
Kauman yang menjadi tempat tinggal dan kelahirannya juga membuat Munjiyah “mengakrabi” tradisi Jawa yang bersinggungan dengan tradisi Islam sepanjang hidupnya. Dia "akrab" dengan tradisi – yang dikesankan sepenuhnya oleh logika "feminisme mainstream" – sebagai penindasan, tetapi kehidupannya tidak menunjukkan ketertindasan tersebut. Ketika berada di dalam "ruang privat", Munjiyah merupakan wanita biasa, tetapi di "ruang publik" dia adalah salah satu tokoh pendiri Aisyiyah yang aktif. Dirinya juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita yang tumbuh pada saat itu (seperti Taman Siswa, Jong Java, dan Wanita Oetama) sebagai wakil dari Aisyiyah.[10] Fakta ini menunjukkan bahwa Munjiyah dapat hidup dalam “dua ruang” yang berbeda dan juga tidak mengalami “masalah berarti” dengan tradisi yang melingkupinya. Suratmin berpandangan bahwa hal tersebut disebabkan karena semua hal yang terus dilakukannya adalah bentuk “dialog” antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.[11]
Suratmin (aktivis Muhammadiyah) dalam buku biografi para tokoh Kongres Wanita Indonesia Pertama yang ditulisnya dengan para peneliti lain menggambarkan bahwa wanita aktivis Aisyiyah tersebut berperawakan gemuk, postur tubuhnya agak tinggi, dan wajahnya bulat. Sekalipun dia merupakan salah satu putri dari Lurah Hasyim, tetapi penampilannya sederhana. Selain itu, Djarnawi Hadikusumo yang berstatus sebagai keponakannya turut menambahkan jika bibinya itu tidak senang mengenakan perhiasan mewah, serta memiliki pendirian dalam memegang syariat Islam.[12] Perilaku tersebut menurut Al-Fauzan (pengkaji Islam) merupakan suatu ibadah. Fauzan menjelaskan bahwa ibadah memiliki berbagai macam cakupan ketaatan yang tampak pada lisan dan anggota badan.[13]
Pernikahan
Munjiyah menikah dengan K.H. Ghozali yang juga berasal dari Kauman, tetapi pernikahan tersebut tidak harmonis. Rumah tangga yang dibangunnya tidak langgeng dan membuat keduanya lantas bercerai.[12] Setelah bercerai, dia tidak menikah lagi dan mencurahkan tenaga serta pikirannya untuk organisasi Aisyiyah. Pada saat itu, dia masih satu rumah dengan Bagus Hadikusumo dan mengadopsi anak-anak Bariyah yang meninggal dunia, yaitu Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad.[14]
Pendidikan
Madrasah Diniyah
Munjiyah merupakan salah satu wanita modern generasi awal di Hindia-Belanda yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati mengemukakan bahwa Munjiyah dan para wanita lain di Kauman memang telah dipersiapkan oleh Ahmad Dahlan untuk menjadi seorang mubalighat (ulama wanita).[15] Para aktivis wanita muda itu dibimbing dan disekolahkan oleh Dahlan pada tahun 1913 agar menguasai ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama. Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Bariyah[d] disekolahkan di Neutraal Meisjes School (sekolah umum) yang berada di Ngupasan, sedangkan Munjiyah dan Siti Umniyah disekolahkan di Madrasah Diniyah (sekolah agama).[16][17]
Kedua pola pendidikan tersebut memunculkan kesadaran kritis bahwa adat yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Kauman sangat menghambat kemajuan kehidupan wanita, sehingga wanita hanya memiliki ruang terbatas dalam aktivitas sosial.[18] Hal inilah yang membuat wanita-wanita lain pendukung Muhammadiyah menyusul masuk ke sekolah umum, yaitu Siti Badilah Zuber, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Hayinah. Munjiyah dan para wanita lain mendapatkan pendidikan agama langsung melalui kursus-kursus dan pengajian yang diadakan oleh Ahmad Dahlan di Madrasah Diniyah. Kursus-kursus dan pengajian agama tersebut menjadi cikal bakal sekolah-sekolah Muhammadiyah. Dalam bimbingan dan asuhan Dahlan, para santri wanita ditempa menjadi calon pemimpin.[19]
Sopo Tresno
Setahun setelah berhasil menyekolahkan para wanita Kauman di sekolah umum dan sekolah agama, Ahmad Dahlan dan istrinya mendirikan perkumpulan kaum wanita yang berawal dari kursus membaca Al-Qur'an dengan nama Sopo Tresno. Perkumpulan inilah yang kelak diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917 dan menjadi organisasi otonom (ortom)[20] yang diberi hak mengatur organisasinya secara mandiri.[21] Sopo Tresno (bahasa Jawa) berarti "siapakah yang berkasih sayang". Pada waktu itu, perkumpulan ini belum menjadi suatu organisasi, tetapi hanya gerakan pengajian saja.[22]
Pengajian yang dilaksanakan oleh Sopo Tresno terus berlangsung sampai namanya diubah menjadi Aisyiyah.[23] Selain pengajian, program pertama perkumpulan tersebut adalah mengusahakan agar setiap wanita peserta pengajian memakai kerudung (penutup kepala) dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini lantas mengembangkan Pengajian Wal-Ashri dan Muballighin[e] yang diselenggarakan setiap hari Senin sore.[24]
Melalui perkumpulan itulah kaum wanita di Kauman, termasuk Munjiyah, mendapatkan pendidikan berorganisasi dan aktif bergerak di bidang sosial-keagamaan. Sembari menjalani pendidikan di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah, dia dan para wanita lain dididik untuk tidak hanya memahami pengetahuan agama saja, tetapi juga dididik menjadi pemimpin yang memiliki sikap pembaru di Kauman.[25]
Pembentukan amal usaha yang dilakukan oleh Munjiyah dan para wanita lain di dalam Sopo Tresno tidak tergantung pada kelompok ataupun organisasi lain, termasuk Muhammadiyah sebagai organisasi induknya. Salah satu kegiatan utama perkumpulan tersebut adalah membantu kerja Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dan mengasuh beberapa orang anak yatim ataupun anak-anak yang tidak mampu meneruskan sekolah. Hal inilah yang menjadi modal dasar bagi Aisyiyah, sehingga mampu memiliki dan mengelola berbagai jenis usaha layanan publik, terutama bidang kesehatan dan pendidikan.[26]
Al-Qismul Arqo (Madrasah Mualimat)
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Diniyah dan mendapatkan pendidikan berorganisasi di Sopo Tresno, Munjiyah menjalani pendidikan di Al-Qismul Arqo[f] yang diselenggarakan di emperan rumah Ahmad Dahlan sejak tahun 1918. Salah satu faktor yang menyebabkan dirinya masuk ke dalam sekolah tersebut adalah kebutuhan muballighin dan muballighat untuk menyebarkan paham Muhammadiyah ke luar Kauman. Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati menjelaskan bahwa Munjiyah termasuk salah satu wanita yang dipersiapkan sebagai juru dakwah Muhammadiyah, sehingga dia dimasukkan ke dalam kelas itu oleh Dahlan.[27]
Al-Qismul Arqo lebih banyak mendalami pendidikan agama Islam dan menjalankannya dengan sistem sekolah modern, sedangkan kegiatan pembelajarannya dilakukan dengan duduk di lantai dan menggunakan bekas kotak minyak tanah sebagai meja tulisnya. Adapun tokoh yang memelopori pendirian sekolah tingkat lanjut ini adalah K.R.P.H. Muhammad Kamaluddiningrat atau lebih dikenal dengan nama Muhammad Sangidu (ayah Siti Umniyah).[28]
Setelah berganti nama menjadi Madrasah Mualimat Muhammadiyah, pembelajaran di sekolah tersebut diseimbangkan antara dasar-dasar ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum yang mendukung visi dan misi Muhammadiyah. Salah satu pendidikan yang diterima oleh Munjiyah di sekolah ini adalah pembinaan yang dilakukan oleh Siti Walidah agar seorang wanita berpenampilan sederhana, sebagaimana dijelaskan oleh Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati berikut.[29]
Kaum istri diimbau agar tidak silau pada perhiasan mewah, sampai-sampai mereka rela meminjam uang kepada tetangganya hanya untuk mengejar penampilan atau terlihat cantik. Wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi. Apabila wanita itu minta bermacam-macam, menunjukkan bahwa mereka miskin.[29]
Pesan tersebut membuat Munjiyah memiliki pembawaan yang sederhana. Dengan pembawaan seperti itulah, adik dari H. Fachrodin ini berpengalaman sebagai muballighat di Aisyiyah. Dia dikenal di kalangan organisasi-organisasi wanita lain sebagai da’i wanita yang berpandangan inklusif serta toleran. Munjiyah membela hukum Islam, tetapi tidak merendahkan agama-agama lain.[30]
Akhir kehidupan
Munjiyah mengembuskan napas terakhirnya pada 1955 akibat menderita kanker payudara. Dirinya saat itu sedang berada di Kota Tasikmalaya untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh Aisyiyah. Badiyah Dahlan yang mengetahui Munjiyah merasa kesakitan langsung membawanya ke rumah sakit dan meminta agar konferensi tersebut dibubarkan. Namun, sayangnya nyawa dari temannya itu tidak tertolong lagi, meskipun telah mendapatkan perawatan yang intensif. Jenazah Munjiyah lantas dibawa kembali ke Yogyakarta dan disemayamkan di Permakaman Kauman yang berada di belakang Masjid Gedhe Kauman.[31]
Lihat pula
Keterangan
- ^ Dalam birokrasi kerajaan, penghulu dan seluruh aparatnya dinamakan dengan abdi dalem pamethakan (abdi dalem putihan), sedangkan Kantor Kepenghuluan Kesultanan Yogyakarta dinamakan dengan Kawedanan Reh Pengulon (Darban 2000, hlm. 10). Apabila dibandingkan dengan penghulu yang ada di daerah-daerah, penghulu Kesultanan Yogyakarta dipandang sebagai penghulu ageng dalam struktur kepenghuluan. Selain berfungsi sebagai penasehat dewan daerah, tugas dan wewenang penghulu meliputi berbagai macam urusan keagamaan secara umum, yaitu pernikahan, perolehan nafkah, talak (gugatan cerai), rujuk, wasiat/warisan, hibah, dan sebagainya (Kartodirdjo, dkk 1975, hlm. 244). Sebagai pimpinan ulama birokrat, penghulu Kesultanan Yogyakarta juga bertugas mengurusi upacara keagamaan keraton, pernikahan keluarga sultan, penasehat sultan, mengurus tempat ibadah dan makam, serta sebagai lembaga fatwa tentang hukum-hukum agama. Ketika Pemerintah Hindia-Belanda berkuasa, sistem kepenghuluan berada dalam ranah raad agama dan priester raad (pengadilan surambi) (Pijper 1984, hlm. 73).
- ^ Anak-cucu dari Haji Hasyim Ismail pada dasarnya banyak yang berkiprah di perserikatan Muhammadiyah ataupun Aisyiyah setelah sebelumnya mendapatkan pendidikan dari K.H. Ahmad Dahlan dan istrinya. Namun, kiprah tersebut menurut Anshoriy lebih dikarenakan oleh kemampuan atau kapasitas yang mereka miliki. Dia menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mengakui peran istimewa para ulama yang secara genealogis terhubung dengan Nabi Muhammad Saw ataupun K.H. Ahmad Dahlan, tetapi gerakan ini sangat jelas meletakkan elit ahli syariat atau ahli agama sama pentingnya dengan ulama (Anshoriy 2010, hlm. 29-30).
- ^ Pada waktu itu di Kauman terdapat lima langgar, yaitu Langgar Lor, Langgar Wetan, Langgar Faqih, Langgar Kidul, dan Langgar Dhuwur (Langgar Kulon) (Darban 2000, hlm. 36).
- ^ Berdasarkan perhitungan umurnya, Siti Bariyah terpaut delapan tahun dengan Siti Munjiyah, tetapi Siti Bariyah justru yang terpilih sebagai ketua pertama Aisyiyah di kemudian hari. Faktor pemilihan Nyai Ahmad Dahlan tersebut bukan dikarenakan Siti Bariyah lebih pandai dibandingkan dengan Siti Munjiyah, tetapi Siti Bariyah dirasa lebih menonjol dalam bidang organisasi dan kepemimpinan. Siti Munjiyah baru dipercaya sebagai ketua pasca kepemimpinan Siti Aisyah Hilal, yaitu pada tahun 1932 (Setyowati & Mu'arif 2014, hlm. 80).
- ^ Muballighin merupakan embrio dari Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah (FIAD) yang menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang didirikan pada tahun 1980-an (Mulkhan 2013, hlm. 8).
- ^ Pada tahun 1920, Ahmad Dahlan dan para dermawan yang berada di Kauman mendirikan sebuah asrama untuk menampung para murid di Al-Qismul Arqo yang terus bertambah. Gedung baru disiapkan di Kauman, tepatnya di depan rumah H. Syuja’. Setelah menempati gedung baru dan menggunakan sistem klasik, kelas Al-Qismul Arqo mulai diklasifikasi secara berjenjang dari kelas satu sampai kelas tiga. Jenjang kelas satu menampung murid sebanyak 20 orang, kelas dua sebanyak 10 orang, dan kelas tiga sebanyak 6 orang. Nama Al-Qismul Arqo lantas diganti dengan nama Pondok Muhammadiyah dan kurikulum umum – seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda – turut diberikan di sekolah ini (Setyowati & Mu'arif 2014, hlm. 84-85). Pada perkembangan selanjutnya, sekolah tersebut berganti nama lagi sebanyak tiga kali, yaitu Hoogere Muhammadiyah School (Sekolah Tinggi Muhammadiyah), Kweekschool Islam, dan Kweekschool Muhammadiyah atau Kweekschool Istri (Hamzah 1962, hlm. 69). Adapun murid-murid wanita dari Kweekschool Istri mulai dipisahkan dengan murid-murid laki-laki dari Kweekschool Muhammadiyah sejak tahun 1929. Pada tahun 1932, Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan Wilde Schoolen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar 1932). Ordonansi tersebut mengatur keberadaan sekolah liar (sekolah yang diselenggarakan oleh kaum pribumi, yang gurunya tidak mau bekerja di sekolah milik Pemerintah Hindia-Belanda) dengan melarang pemakaian nama persamaan sekolah Belanda, termasuk Muhammadiyah dan Taman Siswa. Hal inilah yang membuat Kweekschool Muhammadiyah dan Kweekschool Istri akhirnya namanya diubah menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Mualimat Muhammadiyah (Suminto 1985, hlm. 59).
Rujukan
- ^ Pimpinan Pusat Aisyiyah (tanpa tanggal). "Moendjijah". Pimpinan Pusat Aisyiyah. Diakses tanggal 5 April 2020.
- ^ Kutoyo (1982/1983), hlm. 30-31
- ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 77
- ^ Anis (1969), hlm. 9
- ^ Mu'arif (13 April 2019). "Siti Bariyah: Perempuan Pertama Penafsir Ideologi Muhammadiyah". Redaksi Ibtimes. Diakses tanggal 5 April 2020.
- ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 79
- ^ Suratmin (1990), hlm. 43-44
- ^ a b Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 81-82
- ^ Darban (2000), hlm. 36
- ^ Suratmin, dkk (1991), hlm. 20
- ^ Suratmin (1990), hlm. 99
- ^ a b Suratmin, dkk (1991), hlm. 19-20
- ^ Fauzan (2001), hlm. 78
- ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 94
- ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 80
- ^ Darban (2000), hlm. 47
- ^ Ibtimes (21 Februari 2020). "Para Gadis Kauman Perintis Perubahan". Redaksi Ibtimes. Diakses tanggal 6 April 2020.
- ^ Suratmin (1990), hlm. 16
- ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 82-83
- ^ Pimpinan Pusat Muhammadiyah (tanpa tanggal). "Organisasi Otonom". Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Diakses tanggal 8 April 2020.
- ^ Nashir, dkk (2010), hlm. 120
- ^ Sudja (1989), hlm. 39
- ^ Nashir, dkk (2010), hlm. 122
- ^ Mulkhan (2013), hlm. 8
- ^ Suratmin (1990), hlm. 44
- ^ Noer (1988), hlm. 90
- ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 83
- ^ Darban (2000), hlm. 44
- ^ a b Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 75-76
- ^ Setyowati & Mu'arif (2014), hlm. 92-92
- ^ Suratmin, dkk (1991), hlm. 29
Daftar pustaka
Buku
- Amini, Mutiah (2021). Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia (1928–1998). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-3869-60-2.
- Anshoriy, Muhammad Nasruddin (2010). Matahari Pembaruan: Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. ISBN 978-602-9703-21-4.
- Arifin, M.T. (1990). Muhammadiyah Potret yang Berubah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-602-6268-01-3.
- Baha'uddin, dkk (2010). Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. ISBN 978-979-1407-21-2.
- Blackburn, Susan (2007). Kongres Wanita Pertama: Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV. ISBN 978-979-4616-10-9.
- Burhanudin, Jajat, dkk (2002). Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-6866-44-1.
- Darban, Ahmad Adaby (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. ISBN 978-979-8681-26-4.
- Dzuhayatin, Siti Ruhaini (2015). Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi. Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ISBN 978-602-2295-85-3.
- Fauzia, Amelia; Fathurahman, Oman (2004). Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta. ISBN 978-979-2210-55-2.
- Mulkhan, Abdul Munir (2013). Marhaenis Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galang Pustaka. ISBN 978-602-9431-27-8.
- Nakamura, Mitsuo (1983). Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-6268-02-0.
- Nashir, Haedar, dkk (2010). Profil 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Lembaga Pustaka dan Informasi PP. Muhammadiyah. ISBN 978-979-7094-98-0.
- Noer, Deliar (1988). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-019-6382-54-8.
- Setyowati, Hajar Nur; Mu'arif (2014). Srikandi-Srikandi Aisyiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-979-3708-97-3.
- Soeratno, Siti Chamamah, dkk (2009). Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-49-3.
- Suminto, Husnul Aqib (1985). Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-979-8015-10-6.
Buku lama
- Anis, Junus (1969). Haji Fachrodin. Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan.
- Benda, Harry Jindrich (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Fauzan, Al (2001). Kitab Tauhid. Jakarta: Yayasan Al-Sofwa.
- Hamzah, Amir (1962). Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang Diselenggarakan Oleh Pergerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penyelenggara Publikasi Pembaruan Pendidikan/Pengajaran Islam.
- Kartodirdjo, Sartono, dkk (1975). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kutoyo, Sutrisno (1982/1983). Kyai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- Ohorella, G.A.; Sutjiatiningsih, Sri; Ibrahim, Muchtaruddin (1992). Peranan Wanita Indonesia pada Masa Pergerakan Nasional (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
- Sudja (1989). Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah Majelis Pustaka.
- Suratmin (1990). Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional: Amal dan Perjuangannya. Yogyakarta: PP. Aisyiyah Seksi Khusus Penerbitan dan Publikasi.
- Suratmin, dkk (1991). Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Jurnal
- Mulyati (Juni 2021). "Amal Usaha Siti Munjiyah dalam Organisasi Aisyiyah di Yogyakarta Tahun 1914–1955". Walasuji. 12 (1). ISSN 2502-2229.
- Rohman, Fandy Aprianto (Agustus 2019). "K.H. Sangidu, Penghulu Penemu Nama Muhammadiyah". Patra Widya. 20 (2). ISSN 2598-4209.
- Seniwati; Lestari, Tuti Dwi (Desember 2019). "Sikap Hidup Wanita Muslim Kauman: Kajian Peranan Aisyiyah dalam Kebangkitan Wanita di Yogyakarta Tahun 1914–1928". Walasuji. 10 (2). ISSN 2502-2229.
Pranala luar
Didahului oleh: Siti Aisyah Hilal |
Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah 1932–1936 |
Diteruskan oleh: Siti Aisyah Hilal |
Kategori:Aisyiyah Kategori:Tokoh Aisyiyah Kategori:Tokoh Jawa Kategori:Tokoh Yogyakarta