Tari Tortor adalah jenis tarian purba dari suku Batak yang berasal dari provinsi Sumatra Utara yang meliputi daerah kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba, Samosir, dan Tapanuli Tengah. Dan saat ini, tari tortor menjadi bagian penting dalam adat suku Batak Toba, baik dalam acara adat pernikahan ataupun pentas seni di seluruh Indonesia. Melalui tarian ini lah masyarakat adat Batak menyampaikan harapan dan seluruh doa-doanya. Peragaan sikap dan perasaan melalui tortor selalu menggambarkan kondisi dan situasi yang dialami.

Penari Tortor
Penari Tortor

Namun, saat ini tema dan makna filosofi tortor sebagai sarana ritual keagamaan telah beralih fungsi menjadi sarana hiburan sekaligus media komunikasi sesama warga. akan tetapi, tari Tor- tor tidak hanya dilakukan untuk penyambutan tamu saja. Tari Tor- Tor juga juga dilakukan pada saat ada yang meninggal. Tarian Tor- tor ini akan disebut sebagai manortot matee (tarian mati). Adapun perbedaannya hanya terletak pada ekspresi wajah penari. pada saat tor- tor untuk yang sudah meninggal ekspresi penari akan terlihat sedih dan tarian akan dilakasanakan dengan khidmat, kebalikan dengan tari Tor- tor untuk persembahan ataupun perkawinan. tidak semua orang yang meninggal yang akan mengadakan tari Tor- tor. Hanya orang tua yang telah anak yang sudah menikah semua atau sudah lepas tanggung jawab adalam hal mengurus anak- anak mereka dan telah memiliki cucu dari anak- anak mereka dan disetujui oleh keluarga dan kepala adat.[1]

Etimologi

Nama Tortor berasal dari bunyi hentakan kaki pada lantai rumah adat suku batak yang terbuat dari kayu sehingga menghasilkan suara berbunyi “tor” “tor” .[2]

Sejarah

Tari Tortor merupakan salah satu jenis tari yang berasal dari suku Batak yang tinggal si Sumatra Utara yang diperkirakan telah ada di dalam kebudayaan Batak sejak sekitar abad ke-13.[3] Pada awalnya, tarian ini hanya menyebar di kawasan Samosir, Toba dan sebagian kawasan Humbang.[2] Namun, setelah penyebaran Agama Kristen di kota Silindung. Tarian ini pun dikenal sebagai salah satu tarian modern yang menjadi kebudayaan dari suku Batak.[2]

Adapun makna simbol dalam tiap gerakan Tortor masing-masing mempunyai arti yang menjelaskan bagaimana proses menghargai dan memberi penghormatan antar marga  sebagai bentuk hubungan yang baik. Dalam unsur kekerabatan masyarakat Batak antara hula-hula, dongan sabutuha dan boru gerakan itu semua menjelaskan proses tersebut melalui simbol gerakan yang akan dibawakan oleh panortor.

Ciri khas

Tortor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gordang. Secara fisik, tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari hanya sekadar gerakan-gerakannya menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, di mana melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antarpartisipan upacara. Gerakan menarikan tortor disebut manortor.

Tortor dan musik gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan. Sebelum acara dilakukan, secara terbuka, terlebih dahulu tuan rumah (hasuhutan) melakukan acara khusus yang dinamakan 'mambuat tua ni gondang', meminta berkat dari gondang sabangunan. Praktik dulu dianggap animistik ini kini ditujukan kepada Tuhan agar memberkati acara.

Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari hasuhutan akan meminta kepada para pemain gondang dengan kata-kata yang sopan dan santun sebagai berikut: "Amang pardoal pargonci":

  1. "Alualuhon ma jolo tu ompungta Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa na adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion."
  2. "Alualuhon ma muse tu sumangot ni ompungta sijolojolo tubu, sumangot ni ompungta paisada, ompungta paidua, sahat tu papituhon."
  3. "Alualuhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo."

Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gordang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah permintaan/seruan tersebut dilaksanakan dengan baik maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari.

Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan adalah seperti: Permohonan kepada Dewa dan pada roh-roh leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan.

Setiap penari tortor harus memakai ulos dan mempergunakan alat musik/gondang (Uninguningan). Ada banyak pantangan yang tidak diperbolehkan saat manortor, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapa pun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat (moncak), atau adu tenaga batin dan lain-lain.

Tari tortor digunakan sebagai sarana penyampaian batin baik kepada roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam bentuk tarian menunjukkan rasa hormat.

Konsep Gondang masa kini

Dalam hal ini, konsep margondang pada masa sekarang dapat dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:

  1. Margondang pesta, suatu kegiatan yang menyertakan gondang dan merupakan suatu ungkapan kegembiraan dalam konteks hiburan atau seni pertunjukan, misalnya: gondang pembangunan gereja, gondang naposo, gondang mangompoi jabu (memasuki rumah) dan sebagainya.
  2. Margondang adat, suatu kegiatan yang menyertakan gondang, merupakan aktualisasi dari sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, misalnya: gondang mamampe marga (pemberian marga), gondang pangoli anak (perkawinan), gondang saur matua (kematian), kepada orang di luar suku Batak Toba, dan sebagainya.
  3. Margondang religi, upacara ini sekarang hanya dilakukan oleh organisasi keagamaan yang masih berdasar pada kepercayaan Batak purba. Misalnya parmalim, parbaringin, dan parhudamdam Siraja Batak. Konsep adat dan religi pada setiap pelaksanaan upacara oleh kelompok ini masih mempunyai hubungan yang sangat erat karena titik tolak kepercayaan mereka adalah Mula Jadi na Bolon. Segala kegiatan mereka berhubungan dengan adat serta hukuman dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan tata aturan yang dititahkan Raja Sisingamangaraja XII yang dianggap sebagai wakil Mula Jadi na Bolon.

Gerakan Tari Tortor

  1. Pangurdot  : Merupakan gerakan seluruh badan di mana pusat daya gerakannya bertumbuh pada telapak kaki dan tumit.
  2. Pangeal  : Daya tarik Tortor ini ada pada pangeal ni gonting (gerakan pinggang yang gemulai). Gerakan ini diikuti oleh anggota tubuh lain, seperti tangan, jemari dan kepala.
  3. Pandenggal : Gerakan pendenggal memiliki rotasi. Kedua telapak tangan yang terbuka di angkat ke atas secara berlahan-lahan, lalu secara perlahan diturunkan ke bawah dengan menelungkupkan telapak tangan yang terbuka tersebut, seolah-olah jatuh secara elatis menuju pinggang sebelah kiri dan ke kanan.
  4. Siangkupna : merupakan menggerakan bagian leher. Di mana gerakannya seirama dengan gondang dan urdot.
  5. Hapunanna  : adalah ekspresi yang tampak dari wajah penortor penari. Di mana dari wajah bisa diketahui situasi kegembiraan atau suak duka cita. Ekspresi wajah penari harus seirama, maka tortor bisa berkomunikasi kepada penonton yang hadir menyaksikan.[4]

Galeri

Pranala luar


  1. ^ Safra, Rayhanul (2016). "Bentuk Penyajian dan Makna Gerak Tari Tortor pada Upacara Kematian Adat Batak Toba di Desa Penanggalan Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh". Jurnal Ilmiah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik. 1 (4): 287–297. 
  2. ^ a b c Nainggolan, Maria Serlitaria (2017). "Makna tari tortor sebagai identitas orang Batak di Kota Balikpapan". eJournal llmu Komunikasi. 5 (1): 156–169. 
  3. ^ "Pakar tegaskan tari tortor adalah budaya Batak". BBC News Indonesia. 18 Juni 2012. Diakses tanggal 13 Juli 2021. 
  4. ^ Media, Kompas Cyber (2021-02-01). "Tari Tortor, Tarian Tradisional Sumatera Utara Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-07-10.