Maras taun
Maras taun adalah salah satu adat istiadat yang di praktikan secara turun temurun oleh masyarakat Belitung. "Maras" berarti kegiatan membersihkan duri-duri kecil pada tanaman. Yang di maksud dengan membersihkan duri adalah kegiatan membersihkan atau menyelesaikan semua masalah. Sedangkan "Taun" berarti tahun. Dapat di simpulkan bahwa, maras taun berarti pergantian tahun, dari tahun lama ke tahun baru. Ritual ini nantinya akan dipimpin oleh dukun (pemangku adat) bersama masyarakat. [1]
Asal Mula Maras Taun
Asal mula tradisi Maras Taun/Maras Taon tidak diketahui dengan pasti. Muncul dan berkembangnya tradisi ini, seiring dengan pola pikir masyarakat tradisional Belitung. Pada mulanya, masyarakat Belitung yang menempati bagian pesisir atau pedalaman daratan hidup berkelompok menempati wilayah pemukiman yang disebut "kubok" dan "parong".
Penghuni kubok merupakan sebuah kelompok kecil yang berasal dari sebuah keluarga, yang kemudian berkembang menjadi beberapa keluarga hingga terbentuknya perkampungan kecil yang disebut kubok. Kubok dipimpin seseorang yang dituakan yang disebut dengan "kepala kubok".
Sementara itu penghuni parong merupakan sebuah kelompok keluarga yang tidak berasal dari satu keluarga, tetapi berasal dari beberapa keluarga dan jumlahnya lebih banyak. Sehingga terbentuklah sebuah perkampungan. Baik parong atau pun kubok dipimpin seorang ketua adat yang dituakan. Yang disebut kepala parong atau kepala kubok. “Dituakan” artinya memiliki kepiawaian, termasuk ilmu perdukunan, karenanya ketua kelompok itu juga otomatis merangkap menjadi dukun yang melindungi warganya.
Kemudian parong atau kubok makin lama bertambah populasinya. Ketika sudah menjadi sebuah perkampungan, maka dukun tersebut tetap menjadi dukun sekaligus merangkap kepala kampungnya. Kini, dalam masyarakat Belitung dikenal adanya "dukun kampong". Pola ini terus mentradisi hingga sekarang, bahwa di setiap kampung harus ada seorang dukun kampong di samping adanya lurah atau kepala desa sebagai pimpinan adminisratifnya.
Pembukaan kubok atau parong bermula dari membuka hutan untuk berladang padi yang di gunakan sebagai sumber makanan utama penduduk Belitung. Sebagai rasa syukur atas panen inilah kemudian diadakan kegiatan ritual Maras Taun pada setiap tahunnya. Dalam ungkapan rasa syukur ini dimintakan pada yang Maha Kuasa untuk keselamatan warga dan keberhasilan panen di tahun mendatang. Rasa syukur ini pada awalnya disebut memaras atau berselamatan tahun . Lama kelamaan tradisi ini disebut dengan Maras Taun/Maras Taon.
Tradisi Maras Taun bertujuan untuk mencari keselamatan kampung. Dalam tradisi yang diadakan setiap tahun ini, seluruh warga berkumpul bersama seorang dukun kampung untuk didoakan bersama-sama. Inilah tradisi Maras Taun yang masih dianggap sakral di negeri laskar pelangi. [2]
Makna Simbol Dalam Tradisi Upacara Adat Maras Taun
Makna simbol yang terdapat dalam upacara adat Maras Taun di pulau Belitung adalah bahwa sebagai manusia, kita diwajibkan untuk selalu menjaga keseimbangan alam, saling menghormati, terlebih pada leluhur dan ketika kita meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa jangan lupa untuk senantiasa mengucap syukur atas apa yang sudah diberikan-Nya.
Rangkaian perayaan Maras Taun di pulau Belitung mengandung berbagai macam simbol dengan makna tertentu. Upacara adat ini, biasanya berlangsung selama 3 sampai 7 hari, dengan hari terakhir sebagai puncak perayaan. Sebelum puncak perayaan, masyarakat yang hadir disuguhi dengan beragam pertunjukan kesenian tradisional Belitung. Selain kesenian tradisional, pentas musik modern (organ tunggal) juga turut menambah kemeriahan pesta rakyat ini.
Festival Maras Taun dibuka dengan tarian dan menyanyikan lagu Maras Taun bersama untuk mengiringi tarian. Setelah tarian berakhir, seorang kepala desa akan memimpin masyarakat untuk berdoa. Setelah itu, Kepala suku membakar sebatang gaharu, berdoa dan memberkati dua lembar daun kesalan (daun suci). Setelah itu, daun kesalan tersebut nantinya diberikan kepada masyarakat. Masyarakat bisa menyebarkan daun kesalan tersebut di sekitar rumah dan perahu mereka karena mereka percaya bahwa daun kesalan membawa keberuntungan. [3]
Referensi
- ^ "Dinas Kebudayaan & Pariwisata | Kabupaten Belitung Timur". disbudpar.belitungtimurkab.go.id. Diakses tanggal 2021-10-22.
- ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2021-10-22.
- ^ "Pemerintah Kabupaten Belitung". portal.belitung.go.id. Diakses tanggal 2021-10-22.