The Da Vinci Code
The Da Vinci Code adalah sebuah novel detektif misteri karya Dan Brown. Novel ini menceritakan simbolog Robert Langdon dan kriptolog Sophie Neveu setelah suatu peristiwa pembunuhan di Museum Louvre di Paris, ketika mereka menjadi terlibat dalam pertarungan antara Biarawan Sion dan Opus Dei terkait kemungkinan bahwa apakah Yesus Kristus menikahi Maria Magdalena. Judul novel ini antara lain merujuk pada temuan korban pembunuhan pertama di Museum Louvre dengan kondisi telanjang dan posisi seperti Vitruvian Man, gambar terkenal Leonardo da Vinci, serta sebuah pesan tersembunyi yang ditulis di samping tubuhnya dan sebuah pentagram tergambar di dadanya dengan darahnya sendiri.
Pengarang | Dan Brown |
---|---|
Negara | Amerika Serikat |
Seri | Robert Langdon #2 |
Genre | Misteri, Cerita detektif, Fiksi konspirasi, Thriller |
Penerbit | US: Doubleday UK: Bantam, Transworld ID: Bentang, Mizan, Serambi |
Tanggal terbit | April 2003 |
Halaman | bervariasi |
ISBN | ISBN 0-385-50420-9 |
OCLC | 50920659 |
813/.54 21 | |
LCC | PS3552.R685434 D3 2003 |
Didahului oleh | Angels & Demons |
Diikuti oleh | The Lost Symbol |
Novel ini mengeksplorasi suatu alternatif sejarah religius dengan titik plot sentralnya yaitu bahwa para raja Prancis dari Dinasti Meroving termasuk dalam garis keturunan Yesus Kristus dan Maria Magdalena, yang mana gagasan-gagasan ini berasal dari The Templar Revelation (1997) karya Clive Prince dan buku-buku karya Margaret Starbird. Novel ini juga merujuk pada The Holy Blood and the Holy Grail (1982) kendati Dan Brown menyatakan bahwa buku tersebut tidak digunakan sebagai bahan penelitian.
The Da Vinci Code memicu ketertarikan populer dalam spekulasi terkait legenda Piala Suci (Cawan Suci) dan peranan Maria Magdalena dalam sejarah Kekristenan. Namun novel ini telah dikecam secara luas oleh banyak denominasi Kristen sebagai suatu serangan terhadap Gereja Katolik Roma, dan secara konsisten dikritik karena berbagai ketidakakuratan ilmiah dan historis. Meski demikian novel ini menjadi salah satu buku terlaris[1] di dunia dengan penjualan 80 juta kopi pada tahun 2009[2] dan telah diterjemahkan ke dalam 44 bahasa. Novel ini menggabungkan genre detektif, thriller dan fiksi konspirasi, serta merupakan novel kedua Dan Brown yang menyertakan karakter Rober Langdon: yang pertama yaitu Angels & Demons (2000). Pada bulan November 2004 Random House menerbitkan suatu Edisi Khusus Bergambar dengan 160 ilustrasi. Pada tahun 2006, suatu adaptasi dalam film dirilis oleh Columbia Pictures milik Sony.
Ringkasan plot
Jacques Saunière, kurator Museum Louvre dan Grand Master Biarawan Sion, ditembak mati pada suatu malam di museum tersebut oleh seorang rahib Katolik albino bernama Silas yang melakukannya atas nama seseorang yang hanya dikenalnya dengan sebutan Guru, yang mana berkeinginan untuk menemukan lokasi sebuah barang penting yang disebut "batu kunci" dalam rangka pencarian Piala Suci (Cawan Suci). Setelah jenazah Saunière ditemukan dengan pose Vitruvian Man, polisi memanggil seorang profesor Harvard bernama Robert Langdon yang sedang berada di kota tersebut untuk urusan pekerjaan. Kapten Polisi Bezu Fache memberitahunya bahwa ia dipanggil untuk membantu polisi memecahkan kode rahasia yang ditinggalkan Saunière pada menit-menit terakhir menjelang kematiannya. Pesan tersebut berisi suatu deret Fibonacci yang tidak beraturan. Langdon menjelaskan kepada Fache bahwa Saunière adalah seorang otoritas terkemuka dalam subjek karya seni dewi dan bahwa pentakel yang digambar Saunière dengan darahnya sendiri merupakan suatu kiasan untuk sang dewi dan bukan "pemujaan setan" sebagaimana disampaikan oleh Fache.
Sophie Neveu, seorang kriptografer kepolisian, diam-diam menjelaskan kepada Langdon bahwa ia adalah cucu jauh Saunière, dan bahwa Fache berpikir Langdon adalah pembunuhnya karena pesan kakeknya menyebutkan "P.S. Cari Robert Langdon", yang mana telah dihapus oleh Fache sebelum kedatangan Langdon. Neveu merasa gelisah karena kenangan tentang keterlibatan kakeknya dalam suatu kelompok pagan rahasia. Namun Neveu memahami bahwa kakeknya mengharapkan Langdon untuk menguraikan kode tersebut, yang mana temuannya dan Langdon mengarahkan mereka ke sebuah kotak simpanan di Bank Penyimpanan Zürich cabang Paris. Neveu dan Langdon meloloskan diri dari aparat kepolisian tersebut dan mengunjungi bank ini. Dalam kotak simpanan itu mereka menemukan batu kunci yang dicari: sebuah cryptex berupa silinder genggam dengan lima lempeng pemutar yang konsentris dan bertuliskan huruf-huruf. Ketika kelimanya disusun dengan benar maka perangkat tersebut akan terbuka. Saat cryptex ini dibuka paksa, sebuah botol cuka yang tertutup pecah dan melarutkan pesan di dalam cryptex yang tertulis pada papirus. Boks yang berisi cryptex memuat petunjuk-petunjuk tentang kata sandinya.
Langdon dan Neveu membawa batu kunci tersebut ke rumah Sir Leight Teabing, seorang teman Langdon dan ahli dalam hal Piala Suci. Di sana Teabing menjelaskan bahwa Piala Suci bukanlah sebuah cawan tetapi sebuah makam yang berisi tulang-tulang Maria Magdalena. Mereka bertiga kemudian meninggalkan negara tersebut dengan pesawat pribadi Teabing, di mana mereka menyimpulkan bahwa kombinasi yang tepat dari huruf-huruf itu adalah "SOFIA", yakni nama pemberian Neveu. Setelah membuka cryptex tersebut, mereka menemukan sebuah cryptex yang lebih kecil di dalamnya, bersama dengan teka-teki lain yang akhirnya mengarahkan kelompok ini ke makam Isaac Newton di Westminster Abbey.
Selama penerbangan menuju Britania, Neveu mengungkapkan sumber kerenggangan hubungannya dari sang kakek pada sepuluh tahun sebelumnya. Saat tiba di rumah secara tidak terduga dari universitas, Neveu secara sembunyi-sembunyi menyaksikan suatu ritual kesuburan musim semi yang diadakan di ruang bawah tanah rahasia di dalam rumah kakeknya. Dari tempat persembunyiannya, ia terkejut saat melihat kakeknya berhubungan seks dengan seorang wanita di bagian tengah ritual yang dihadiri oleh para pria dan wanita yang mengenakan topeng dan menyanyikan pujian kepada sang dewi. Ia melarikan diri dari rumah tersebut dan memutuskan hubungan dengan Saunière. Langdon menjelaskan bahwa apa yang ia saksikan adalah suatu upacara kuno yang dikenal dengan istilah Hieros gamos atau "perkawinan sakral".
Saat mereka tiba di Westminster Abbey, terungkap bahwa Teabing adalah Guru untuk siapa Silas bekerja. Teabing berharap dapat memanfaatkan Piala Suci, yang diyakininya berupa serangkaian dokumen yang menetapkan bahwa Yesus menikahi Maria Magdalena dan melahirkan keturunan, untuk menghancurkan Vatikan. Ia memaksa Langdon dengan todongan senjata untuk memecahkan sandi cryptex kedua, yang dipahami Langdon adalah "APPLE" ("APEL"). Langdon diam-diam membuka cryptex tersebut dan mengeluarkan isinya sebelum menghancurkannya di hadapan Teabing. Teabing ditangkap oleh Fache yang sekarang mengetahui bahwa Langdon tidak bersalah. Uskup Aringarosa, menyadari bahwa Silas telah dimanfaatkan untuk membunuh orang yang tidak bersalah, bergegas membantu polisi untuk menemukannya. Ketika polisi menemukan Silas bersembunyi di suatu Pusat Opus Dei, ia mengasumsikan bahwa mereka berada di sana untuk membunuhnya, dan ia bergegas keluar, secara tidak sengaja menembak Uskup Aringarosa. Sang uskup dapat terselamatkan tetapi ia diberitahu bahwa Silas ditemukan tewas akibat luka tembakan.
Pesan terakhir di dalam batu kunci kedua mengarahkan Neveu dan Lagdon ke Kapel Rosslyn, yang mana pemandunya ternyata adalah saudara Neveu yang telah lama hilang. Dahulu Neveu diberitahu bahwa saudaranya itu telah meninggal saat masih kecil dalam kecelakaan mobil yang juga menewaskan orang tuanya. Penjaga Kapel Rosslyn, yaitu Marie Chauvel Saint Clair, ternyata juga adalah nenek Neveu yang telah lama hilang. Sehingga terungkap bahwa Neveu adalah keturunan Yesus dan Maria Magdalena. Biarawan Sion selama ini menyembunyikan identitas Neveu untuk melindunginya dari kemungkinan adanya ancaman atas hidupnya.
Arti sebenarnya dari pesan terakhir itu adalah bahwa Piala Suci dikuburkan di bawah piramida kecil tepat di bawah piramida kaca terbalik (La Pyramide Inversée) Louvre. Di sana juga terdapat "Garis Mawar", implikasi dari "Rosslyn". Langdon memahami bagian terakhir teka-teki tersebut di halaman-halaman terakhir novel ini, tetapi tampaknya ia cenderung tidak ingin memberitahu siapa pun tentang hal tersebut. Ia menelusuri Garis Mawar sampai pada La Pyramide Inversée, di mana ia berlutut di depan sarkofagus tersembunyi Maria Magdalena, sebagaimana dahulu dilakukan oleh para ksatria Templar.
Karakter
- Robert Langdon
- Jacques Saunière
- Sophie Neveu
- Bezu Fache
- Silas
- Manuel Aringarosa
- Soeur Sandrine
- André Vernet
- Leigh Teabing
- Rémy Legaludec
- Jérôme Collet
- Marie Chauvel Saint-Clair
- Pamela Gettum
Rahasia Piala Suci
Dalam novel ini, Sir Leigh Teabing menjelaskan kepada Sopie Neveu bahwa sosok di sisi kanan Yesus dalam lukisan Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci bukanlah Rasul Yohanes tetapi Maria Magdalena.
Teabing mengatakan bahwa tidak adanya sebuah piala atau cawan dalam lukisan Leonardo berarti Leonardo mengetahui kalau Maria Magdalena adalah pembawa darah Yesus dan Piala Suci (Holy Grail) yang sebenarnya. Ia menjelaskan bahwa gagasan ini didukung oleh huruf "V" yang dibentuk posisi tubuh Yesus dan Maria Magdalena, yang mana "V" dianggap sebagai simbol perempuan suci.
Tidak adanya Rasul Yohanes dalam lukisan tersebut dijelaskan dengan pengenalan bahwa Yohanes juga disebut "Murid yang Dikasihi Yesus", yang mana menjadi sebuah kode untuk Maria Magdalena. Novel ini juga mencatat bahwa skema warna busana mereka dibalik.
Menurut novel ini, rahasia Piala Suci (Cawan Suci) yang disimpan oleh Biarawan Sion adalah sebagai berikut:
- Piala Suci bukan sebuah piala atau cawan secara fisik, tetapi seorang wanita bernama Maria Magdalena, yang mana membawa garis keturunan Yesus.
- Ungkapan Prancis Lama untuk Piala Suci, San gréal, sebenarnya adalah sebuah permainan kata dari Sang réal yang secara harfiah dalam bahasa Prancis Lama berarti "darah bangsawan".
- Relikui Piala Suci terdiri atas dokumen-dokumen yang memberikan kesaksian tentang garis keturunan tersebut, dan juga tulang-tulang Maria Magdalena yang sesungguhnya.
- Relikui Piala Suci Maria Magdalena disimpan oleh Biarawan Sion dalam sebuah ruang bawah tanah, kemungkinan di bawah Kapel Rosslyn.
- Gereja telah menekan kebenaran mengenai Maria Magdalena dan garis keturunan Yesus selama 2000 tahun. Hal ini terutama karena mereka takut akan kekuatan perempuan suci di dalam dan darinya sendiri serta dikarenakan hal ini akan melawan keutamaan Santo Petrus sebagai rasul.
- Maria Magdalena adalah keturunan bangsawan (dari Suku Benyamin Yahudi) dan istri Yesus, dari Garis Daud. Bahwa ia adalah seorang pelacur merupakan fitnah yang diciptakan oleh Gereja untuk mengaburkan hubungan mereka yang sebenarnya. Pada saat Penyaliban Yesus, ia sedang hamil. Setelah Penyaliban, ia melarikan diri ke Galia di mana ia ditampung oleh orang-orang Yahudi di Marseille. Ia kemudian melahirkan seorang putri bernama Sarah. Garis keturunan Yesus dan Maria Magdalena menjadi Dinasti Meroving di Prancis.
- Keberadaan garis keturunan tersebut merupakan rahasia yang terkandung dalam dokumen-dokumen yang ditemukan oleh para Tentara Salib setelah mereka menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099. Biarawan Sion dan Ksatria Templar diorganisir untuk menjaga rahasia itu.
Menurut novel ini, rahasia-rahasia Piala Suci berhubungan dengan karya Leonardo da Vinci:
- Leonardo adalah anggota Biarawan Sion dan mengetahui rahasia Piala Suci. Rahasia ini sebenarnya terungkap dalam lukisan Perjamuan Malam Terakhir yang mana tidak melukiskan piala di atas meja. Sosok yang duduk di sebelah Yesus bukan seorang laki-laki, tetapi seorang perempuan, yaitu Maria Magdalena. Sebagian besar reproduksi karya tersebut berasal dari suatu perubahan belakangan yang mengaburkan karakteristik nyata kewanitaannya.
- Androgini dari Mona Lisa mencerminkan persatuan sakral antara laki-laki dan perempuan yang tersirat dalam persatuan suci antara Yesus dan Maria Magdalena. Paritas semacam itu antara kekuatan kosmis maskulin dan feminin telah lama menjadi ancaman besar bagi kekuatan Gereja yang telah mapan. Nama Mona Lisa sebenarnya adalah suatu anagram "Amon L'Isa", merujuk pada ayah dan ibu dewa-dewi agama Mesir Kuno (yaitu Amun dan Isis).
Reaksi
Penjualan
The Da Vinci Code meraih kesuksesan besar pada tahun 2003 dan penjualannya hanya terkalahkan oleh Harry Potter and the Order of the Phoenix karya J. K. Rowling.[3]
Ketidakakuratan sejarah
Novel ini mengakibatkan banyak kritik ketika pertama kali diterbitkan karena deskripsi yang tidak akurat terkait aspek-aspek inti Kekristenan serta deskripsi arsitektur, sejarah, dan seni Eropa. Novel ini kebanyakan mendapat ulasan negatif dari kalangan Katolik dan komunitas Kristen lainnya.
Banyak kritikus mempermasalahkan tingkat penelitian yang dilakukan Dan Brown saat menulis cerita dalam novelnya. Laura Miller, seorang penulis The New York Times, mencirikan novel ini sebagai "didasarkan pada suatu pemberitaan palsu dengan reputasi buruk", "benar-benar omong kosong", dan "palsu", mengatakan bahwa novel ini sangat didasarkan pada karangan Pierre Plantard, yaitu orang yang menegaskan telah menciptakan Biarawan Sion pada tahun 1956.
Para kritikus menuduh Brown memutarbalikkan dan mengarang sejarah. Marcia Ford menulis:
Terlepas dari apakah Anda setuju dengan kesimpulan-kesimpulan Brown, jelas bahwa sejarah yang ditulisnya fantastis, yang mana berarti bahwa dia dan penerbitnya telah melanggar suatu kesepakatan yang telah lama dianut, kendati tidak terucapkan, dengan pembacanya: Karya fiksi yang dimaksudkan untuk menyajikan fakta-fakta sejarah harus dilakukan penelitian dengan hati-hati sebagaimana sebuah buku nonfiksi.[4]
Richard Abanes menulis:
Aspek yang paling mencolok... bukanlah bahwa Dan Brown tidak setuju dengan Kekristenan tetapi ia benar-benar membengkokkannya untuk dapat tidak setuju dengannya... sampai titik penulisan ulang secara keseluruhan sejumlah besar peristiwa sejarah. Dan yang membuat masalahnya lebih buruk yaitu keinginan Brown untuk meloloskan distorsi-distorsi yang dibuatnya sebagai 'fakta-fakta' yang mana atas hal ini tidak terhitung banyaknya jumlah akademisi dan sejarawan yang sepakat.[4]
Novel ini dibuka dengan klaim oleh Dan Brown bahwa "Biarawan Sion–sebuah masyarakat rahasia di Prancis yang didirikan pada 1099–adalah organisasi nyata". Penegasan ini diperdebatkan secara luas. Beberapa kritikus mengklaim bahwa Biarawan Sion adalah sebuah hoax yang diciptakan pada tahun 1956 oleh Pierre Plantard. Sang penulis juga mengklaim bahwa "semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen... dan ritual-ritual rahasia dalam novel ini adalah akurat", tetapi klaim ini dibantah oleh banyak pakar akademik dari berbagai bidang.[5]
Dan Brown sendiri mengemukakan gagasan bahwa beberapa aspek yang lebih kontroversial adalah fakta di dalam situs webnya, dengan menyatakan bahwa halaman "FAKTA" di awal novel ini hanya menyebutkan "dokumen, ritual, organisasi, karya seni dan arsitektur", tetapi bukan satu pun teori kuno yang dibahas oleh para karakter fiktif, dengan menyatakan bahwa "Penafsiran gagasan-gagasan tersebut diserahkan kepada pembaca". Brown juga menyebutkan, "Adalah keyakinan saya bahwa beberapa teori yang dibahas karakter-karakter ini mungkin memiliki kelayakan" dan "rahasia di balik The Da Vinci Code juga terlalu baik didokumentasikan dan signifikan bagi saya untuk mengabaikannya."[6]
Dalam berbagai wawancara pada tahun 2003, ketika mempromosikan novel ini, Brown ditanya bagian-bagian sejarah mana dalam novelnya yang benar-benar terjadi. Ia menjawab, "Mutlak semua itu." Dalam suatu wawancara pada tahun 2003 dengan Martin Savidge dari CNN, ia kembali ditanya seberapa besar latar belakang sejarah dalam novelnya yang benar. Ia menjawab, "99% benar... latar belakangnya semua benar." Elizabeth Vargas, dalam sebuah program spesial ABC News, bertanya apakah novel ini akan berbeda jikalau ia menulisnya sebagai nonfiksi dan ia menjawab, "Saya tidak berpikir itu akan [berbeda]."[7]
Pada tahun 2005 Tony Robinson, seorang tokoh dari UK TV, menyunting dan membuat narasi suatu bantahan terperinci argumen-argumen utama Dan Brown dan para penulis buku The Holy Blood and the Holy Grail, yaitu Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, dalam sebuah program bernama The Real Da Vinci Code di TV Britania Channel 4. Program tersebut menampilkan wawancara panjang dengan banyak tokoh utama yang dikutip Brown sebagai "fakta mutlak" dalam The Da Vinci Code. Arnaud de Sède, putra Gérard de Sède, menyatakan dengan tegas bahwa ayahnya dan Pierre Plantard telah menciptakan eksistensi Prieuré de Sion (Biarawan Sion) yang menjadi landasan teori garis keturunan Yesus, katanya: "sesungguhnya itu omong kosong".[8]
Timbulnya teori ini diawali dari seorang sejarawan dan rahib Sistersian abad ke-13 bernama Pierre dari Vaux de Cernay yang melaporkan kalau kaum Katar meyakini bahwa sisi 'jahat' dan 'duniawi' Yesus Kristus memiliki hubungan dengan Maria Magdalena dengan menggambarkannya sebagai selir Yesus (dan bahwa 'Kristus yang baik' adalah tidak berwujud dan hadir secara rohaniah dalam tubuh Paulus).[9] Program The Real Da Vinci Code juga menyinggung keraguan mengenai hubungan antara Kapel Rosslyn dengan Piala Suci dan cerita terkait yang lain seperti dugaan keberadaan Maria Magdalena di Prancis.
Menurut The Da Vinci Code, Kaisar Romawi Konstantinus I menekan paham Gnostisisme karena menggambarkan Yesus sebagai murni manusia. Novel ini berargumen bahwa Konstantinus ingin agar Kekristenan bertindak sebagai agama pemersatu untuk Kekaisaran Romawi dan ia berpikir bahwa Kekristenan hanya akan menarik bagi kaum pagan jika menampilkan sosok setengah dewa yang serupa dengan para pahlawan pagan. Menurut novel ini, Injil Gnostik menampilkan Yesus hanya sebagai seorang nabi insani, bukan setengah dewa. Oleh karena itu, untuk mengubah citra Yesus, Konstantinus menghancurkan Injil Gnostik dan mempromosikan Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, yang mana menggambarkan Yesus sebagai sosok ilahi atau semiilahi.[10]
Namun demikian Gnostisme tidak menggambarkan Yesus sebagai manusia.[11] Semua tulisan Gnostik menggambarkan Yesus sebagai sosok yang murni ilahi, tubuh manusia Yesus dianggap sebagai suatu ilusi saja (lih. Doketisme).[12] Sekte-sekte Gnostik melihat Yesus dengan cara demikian karena mereka memandang hal-hal materi sebagai sesuatu yang jahat, dan karena itu mereka meyakini bahwa roh ilahi tidak akan pernah mengambil rupa suatu tubuh jasmaniah.[11]
Kritik literer
The Da Vinci Code mendapatkan penilaian positif maupun negatif dari para kritikus, dan telah menjadi subjek berbagai penilaian negatif atas penggambarannya mengenai sejarah. Akurasi sejarah dan tulisannya mendapat ulasan negatif dari The New Yorker,[13] Salon.com,[14] dan Maclean's.[15]
Janet Maslin dari The New York Times mengatakan, "[The Da Vinci Code] secara ringkas menyampaikan semacam antusiasme ekstrem yang dengannya thriller cerdas yang menyenangkan, pemecahan kode, dan dipenuhi teka-teki ini dapat direkomendasikan. Kata [yang tepat] yaitu wow. Penulisnya adalah Dan Brown (sebuah nama yang akan Anda inginkan untuk mengingatnya). Dalam novel menegangkan yang cerdas dan menyenangkan ini, Mr. Brown mengambil format yang telah ia kembangkan melalui tiga novel sebelumnya dan mengadaptasikannya dengan baik menuju kesempurnaan buku laris."[16]
David Lazarus dari San Francisco Chronicle mengatakan, "Kisah ini begitu berliku-liku–semuanya memuaskan, kebanyakan tidak terduga–sehingga berdosalah jika mengungkapkan terlalu banyak alurnya di awal. Anggap saja bahwa jika novel ini tidak membuat jantung Anda berdebar, Anda perlu memeriksa kesehatan Anda."[17]
Ketika mewawancarai Umberto Eco dalam sebuah edisi The Paris Review tahun 2008, Lila Azam Zanganeh mencirikan The Da Vinci Code sebagai "sebuah cabang kecil yang aneh" dari novel Eco yang berjudul Foucault's Pendulum. Eco menanggapi, "Dan Brown adalah sebuah karakter dari Foucault's Pendulum! Saya menemukannya. Ia berbagi pesona karakter saya—konspirasi dunia akan Rosikrusian, Mason, dan Yesuit. Peranan Kesatria Templar. Rahasia hermetik. Prinsip bahwa segala sesuatu berhubungan. Saya menduga Dan Brown mungkin bahkan tidak ada."[18]
Stephen Fry menyebut tulisan-tulisan Brown sebagai "benar-benar air tinja cair" dan "[tahi] dari jenis terburuk".[19] Dalam suatu obrolan daring pada 14 Juli 2006, ia menjelaskan, "Saya hanya benci semua buku mengenai konspirasi Katolik dan kaum Mason dan Piala Suci dan semua yang [menetes dari bokong]. Maksud saya, ada jauh lebih banyak lagi yang menarik dan memikat hati dalam seni dan dalam sejarah. Hasrat untuk berpikir yang terburuk dari masa lalu dan hasrat untuk merasa lebih unggul atasnya dengan beberapa cara konyol memainkan peran yang paling buruk dan paling malas dalam kemanusiaan."[20]
Stephen King mengumpamakan karya Dan Brown sebagai "Lelucon atas Yohanes", dan menyebut literatur semacam itu "ekuivalensi intelektual dari Keju dan Makaroni Kraft".[21] The New York Times, sembari mengulas filmnya berdasarkan novel ini, menyebut novel ini sebagai "buku terlaris Dan Brown tentang bagaimana tidak menulis sebuah kalimat dalam bahasa Inggris".[22] Anthony Lane, seorang pengulas dari The New Yorker, menyebut novel ini sebagai "sampah sejati" dan mencela "kekasaran gayanya yang hancur-hancuran".[13] Ahli linguistik Geoffrey K. Pullum dan yang lainnya mengepos beberapa entri kritis terkait tulisan Dan Brown di Language Log dengan menyebut Brown sebagai salah satu "penata prosa terburuk dalam sejarah sastra" dan mengatakan bahwa "tulisan [Brown] tidak hanya buruk; itu sangat mengejutkan, ceroboh, tanpa dipikirkan, hampir-hampir buruk dengan cerdiknya".[23] Roger Ebert mendeskripsikannya sebagai sebuah "karangan picisan yang ditulis dengan sedikit karunia dan gaya", meskipun ia mengatakan bahwa novel ini "menyajikan suatu plot yang memikat".[24] Dalam ulasannya atas film National Treasure, yang mana plotnya juga terkait berbagai konspirasi kuno dan pemburuan harta karun, ia menulis: "Saya harus membaca karangan picisan seperti The Da Vinci Code sekali-sekali, hanya untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa hidup ini terlalu singkat untuk membaca buku seperti The Da Vinci Code."[24]
Gugatan hukum
Lewis Perdue menuduh Dan Brown melakukan plagiat atas kedua novel karyanya, yaitu The Da Vinci Legacy (1983) dan Daughter of God (2000). Ia berupaya memblokir distribusi buku dan film The Da Vinci Code. Namun Hakim George Daniels dari Pengadilan Distrik AS di New York memutuskan untuk membatalkan gugatan Perdue, katanya, "Seorang pengamat awam biasa yang sewajarnya tidak akan menyimpulkan bahwa The Da Vinci Code secara substansial mirip dengan Daughter of God. dan bahwa "Elemen apapun yang agak mirip berada dalam tingkatan gagasan umum atau hal lainnya yang tanpa perlindungan."[25] Perdue mengajukan banding, namun Pengadilan Banding AS Sirkuit ke-2 menguatkan keputusan awal tersebut dengan mengatakan bahwa argumen-argumen Perdue "tidak berdasar".[26]
Pada awal tahun 2006 Baigent dan Leigh mengajukan gugatan terhadap Random House, penerbit karya-karya Brown. Mereka menuduh bahwa sejumlah signifikan bagian dalam The Da Vinci Code menjiplak Holy Blood, Holy Grail sehingga melanggar hak cipta mereka.[27] Selama kasus pengadilan tersebut, Brown mengkonfirmasikan bahwa ia menamakan pakar utama Piala Suci dalam ceritanya dengan nama Leigh Teabing, yaitu anagram dari "Baigent Leigh", di hadapan dua penggugatnya. Untuk menanggapi dugaan bahwa Henry Lincoln juga disebut dalam novel ini—karena ia memiliki masalah kesehatan yang menyebabkan kepincangan parah—sebagaimana karakter Leigh Teabing, Brown menyatakan bahwa ia tidak menyadari kalau Lincoln sakit dan korespondensi tersebut merupakan suatu kebetulan.[28]
Karena Baigent dan Leigh menyajikan kesimpulan mereka sebagai penelitian sejarah, bukan sebagai fiksi, Hakim Peter Smith yang memimpin persidangan menganggap bahwa seorang novelis seharusnya bebas menggunakan ide-ide tersebut dalam suatu konteks fiksi, dan memutuskan untuk membatalkan gugatan Baigent dan Leigh. Smith juga menyembunyikan suatu kode rahasia dalam putusan tertulisnya, dalam bentuk huruf-huruf tercetak miring yang tampaknya acak, di mana sepertinya menguraikan suatu pesan. Smith mengisyaratkan bahwa ia akan mengkonfirmasi kode tersebut jika seseorang dapat memecahkannya.[29] Baigent dan Leigh mengajukan banding ke Pengadilan Banding Inggris dan Wales, tetapi tidak berhasil.[28]
Pada bulan April 2006 Mikhail Anikin, seorang sejarawan seni dan ilmuwan Rusia yang bekerja sebagai peneliti senior di Museum Pertapaan di Sankt-Peterburg, menyatakan niatnya untuk mengajukan terhadap Dan Brown dengan anggapan bahwa ia adalah orang yang menciptakan frasa yang digunakan sebagai judul novel ini dan salah satu gagasan terkait lukisan Mona Lisa yang digunakan dalam alur ceritanya. Anikin menafsirkan Mona Lisa sebagai suatu alegori Kristen yang terdiri dari dua citra, Yesus Kristus ditampilkan pada setengah kanan gambar dan Perawan Maria membentuk setengah kirinya. Menurut Anikin, ia mengungkapkan gagasan ini kepada sekelompok ahli dari Museum Houston dalam suatu pameran pada tahun 1988 oleh René Magritte di Museum Pertapaan; dan ketika salah seorang dari mereka meminta izin untuk menyebarkannya ke seorang teman, Anikin mengabulkan permohonan tersebut dengan syarat bahwa namanya harus disebutkan di dalam buku apa pun yang menggunakan penafsirannya itu. Anikin akhirnya melakukan kompilasi penelitiannya ke dalam Leonardo da Vinci or Theology on Canvas, sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 2000, tetapi The Da Vinci Code yang diterbitkan tiga tahun kemudian tidak menyebutkan nama Anikin dan sebaliknya menyatakan bahwa gagasan tersebut merupakan suatu "opini terkemuka dari sejumlah ilmuwan".[30][31]
Parodi
- Pada tahun 2005, novel ini diparodikan oleh Adam Roberts (melalui novel The Va Dinci Cod) dan Toby Clements (melalui novel The Asti Spumante Code).
- Sebuah film televisi tahun 2005 dari serial televisi Australia Kath & Kim memarodikan versi film novel ini sebagai Da Kath & Kim code pada tahun 2005.
- Pada tahun 2006 Dead Ringers, sebuah program BBC, memarodikan The Da Vinci Code dengan menyebutnya "Da Rolf Harris Code".
- Zapiro, seorang kartunis politik, pada tahun 2006 menerbitkan sebuah koleksi buku berisi karya-karyanya dengan judul Da Zuma Code yang mana memarodikan mantan wakil presiden Jacob Zuma.
- Sebuah film independen tahun 2006 berjudul The Norman Rockwell Code memarodikan buku dan film The Da Vinci Code. Sebagai ganti pembunuhan seorang kurator di Museum Louvre, pembunuhan di film ini terjadi atas seorang kurator di Museum Norman Rockwell di Stockbridge, Massachusetts.
- The DiCaprio Code, serial animasi tahun 2006 yang terbagi menjadi tujuh bagian, diproduksi oleh Movies.com dan Scrapmation.
- Pada tahun 2007 novel ini diparodikan dalam "Fantastic Easter Special", suatu episode dari South Park, dan novel The Da-da-de-da-da Code karya Robert Rankin.
- Karakter Lucy dan Silas diparodikan dalam film Epic Movie tahun 2007, yang mana memulainya dengan suatu adegan yang serupa seperti pada pembukaan The Da Vinci Code, di mana Silas mengejar Lucy yang telah menjadi yatim.
- Szyfr Jana Matejki (Sandi Jan Matejko) merupakan sebuah parodi Polandia karya Dariusz Rekosz. Salah satu sekuelnya, Ko(s)miczna futryna: Szyfr Jana Matejki II (Co[s]mic Door-frame: Jan Matejko's Cipher II), dirilis pada tahun 2008. Karakter utama parodi ini adalah inspektur Józef Świenty, yang berusaha untuk memecahkan teka teki Rahasia Terbesar Umat Manusia (Największa Tajemnica Ludzkości) –asal usul Dinasti Piast.
- Novel The Da Vinci Code diparodikan dalam "Black Mystery Month", suatu episode American Dad! tahun 2008, di mana Stan Smith menelusuri kebenaran kontroversial bahwa Mary Todd Lincoln menciptakan selai kacang.
- Pada tahun 2008, novel ini diparodikan dalam seri kedua That Mitchell and Webb Look sebagai "The Numberwang Code", cuplikan untuk sebuah film fiksi berdasarkan suatu adegan berulang di acara tersebut.
- Alur cerita novel ini diparodikan dalam "The Duh-Vinci Code", sebuah episode dari serial animasi TV Futurama.
- Novel ini diparodikan dalam "Da Grinchy Code / Duck", sebuah episode serial TV Mad, di mana berbagai pemikiran film terbesar berupaya memecahkan misteri Grinch.
- Teori-teori konspirasi yang menjadi tema novel ini diparodikan dalam "Da Vinci Claude", salah satu single MC Solaar tahun 2007.
Film
Sony Columbia Pictures mengadaptasi novel ini ke dalam film, dengan skenario yang ditulis oleh Akiva Goldsman, dan sutradara peraih Academy Award, Ron Howard. Film ini dirilis pada 19 Mei 2006, dibintangi oleh Tom Hanks sebagai Robert Langdon, Audrey Tautou sebagai Sophie Neveu, dan Sir Ian McKellen sebagai Sir Leigh Teabing. Selama akhir pekan pembukaannya, para penonton bioskop diperkirakan menghabiskan sekitar $77 juta di Amerika, dan $224 juta di seluruh dunia.[32]
Referensi
- ^ (Inggris) Wyat, Edward (November 4, 2005). "'Da Vinci Code' Losing Best-Seller Status". The New York Times.
- ^ (Inggris) "New novel from Dan Brown due this fall". San Jose Mercury News. Diakses tanggal 2011-01-04.
- ^ (Inggris) Minzesheimer, Bob (December 11, 2003). "'Code' deciphers interest in religious history". USA Today. Diakses tanggal 2010-05-25.
- ^ a b (Inggris) Ford, Marcia. "Da Vinci Debunkers: Spawns of Dan Brown's Bestseller". FaithfulReader. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-05-27. Diakses tanggal 2015-04-29.
- ^ (Inggris) "History vs The Da Vinci Code". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-06. Diakses tanggal 2009-02-03.
- ^ (Inggris) Kelleher, Ken; Kelleher, Carolyn (April 24, 2006). "The Da Vinci Code" (FAQs). Dan Brown. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-03-25. Diakses tanggal 2009-02-03.
- ^ (Inggris) "Fiction". History vs The Da Vinci Code. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-30. Diakses tanggal 2009-02-03.
- ^ (Inggris) The Real Da Vinci Code, Channel Four Television, presented by Tony Robinson, transmitted on 3 February 2005
- ^ (Inggris) Sibly, WA; Sibly, MD (1998), The History of the Albigensian Crusade: Peter of les Vaux-de-Cernay's "Historia Albigensis", Boydell, ISBN 0-85115-658-4,
Further, in their secret meetings they said that the Christ who was born in the earthly and visible Bethlehem and crucified at Jerusalem was 'evil', and that Mary Magdalene was his concubine – and that she was the woman taken in adultery who is referred to in the Scriptures; the 'good' Christ, they said, neither ate nor drank nor assumed the true flesh and was never in this world, except spiritually in the body of Paul. I have used the term 'the earthly and visible Bethlehem' because the heretics believed there is a different and invisible earth in which – according to some of them – the 'good' Christ was born and crucified.
- ^ (Inggris) O'Neill, Tim (2006), "55. Early Christianity and Political Power", History versus the Da Vinci Code, diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-15, diakses tanggal February 16, 2009.
- ^ a b (Inggris) O'Neill, Tim (2006), "55. Nag Hammadi and the Dead Sea Scrolls", History versus the Da Vinci Code, diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-15, diakses tanggal February 16, 2009.
- ^ (Inggris) Arendzen, John Peter (1913), "Docetae", Catholic Encyclopedia, 5, New York: Robert Appleton,
The idea of the unreality of Christ's human nature was held by the oldest Gnostic sects [...] Docetism, as far as at present known, [was] always an accompaniment of Gnosticism or later of Manichaeism.
- ^ a b (Inggris) Lane, Anthony (May 29, 2006). "Heaven Can Wait". The New Yorker.
- ^ (Inggris) Miller, Laura (December 29, 2004). "The Da Vinci crock" Diarsipkan 2011-09-18 di Wayback Machine.. Salon.com. Retrieved 2009-05-15.
- ^ (Inggris) Steyn, Mark (May 10, 2006) "The Da Vinci Code: bad writing for Biblical illiterates" Diarsipkan 2013-06-11 di Wayback Machine.. Maclean's.
- ^ (Inggris) Maslin, Janet (March 17, 2003). "Spinning a Thriller From a Gallery at the Louvre".
- ^ (Inggris) Lazarus, David (April 6, 2003). "'Da Vinci Code' a heart-racing thriller". San Francisco Chronicle.
- ^ (Inggris) Zanganeh, Lila Azam. "Umberto Eco, The Art of Fiction No. 197". The Paris Review. Summer 2008, Number 185. Retrieved 2012-04-27.
- ^ (Inggris) "3x12", QI (episode transcript)[pranala nonaktif permanen].
- ^ (Inggris) "Interview with Douglas Adams Continuum". SE: Douglas Adams. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-19. Diakses tanggal 2011-01-04.
- ^ (Inggris) "Stephen King address, University of Maine". Archive. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-13. Diakses tanggal 2011-01-04.
- ^ (Inggris) Sorkin, Aaron (December 30, 2010). "Movie Review: The Da Vinci Code (2006)". The New York Times. Diakses tanggal 2011-01-04.
- ^ (Inggris) "The Dan Brown code", Language Log, University of Pennsylvania (also follow other links at the bottom of that page)
- ^ a b (Inggris) Ebert, Roger. "Roger Ebert's review". Sun times. Diakses tanggal 2011-01-04.
- ^ (Inggris) "Author Brown 'did not plagiarise'", BBC News, August 6, 2005
- ^ (Inggris) "Delays to latest Dan Brown novel", BBC News, April 21, 2006
- ^ (Inggris) "Judge creates own Da Vinci code". BBC News. April 27, 2006. Diakses tanggal 2009-09-13.
- ^ a b (Inggris) "Authors who lost 'Da Vinci Code' copying case to mount legal appeal",[pranala nonaktif] Associated Press, July 12, 2006
- ^ (Inggris) "Judge rejects claims in 'Da Vinci' suit". MSNBC. MSN. April 7, 2006. Diakses tanggal 2009-02-03.
- ^ (Inggris) Page, Jeremy. "Now Russian sues Brown over his Da Vinski Code", The Sunday Times, April 12, 2006
- ^ (Inggris) Grachev, Guerman (13 April 2006), "Russian scientist to sue best-selling author Dan Brown over 'Da Vinci Code' plagiarism", Pravda, RU.
- ^ (Inggris) "The Da Vinci Code (2006)". Box Office Mojo. Diakses tanggal 2006-12-16.
Bacaan lanjutan
- (Inggris) Pullum, Geoffrey K. "The Dan Brown code." (Archive)
- (Inggris) Schneider-Mayerson, Matthew. "The Dan Brown Phenomenon: Conspiracism in Post-9/11 Popular Fiction." Radical History Review 111 (2011): 194-201
Pranala luar
- (Inggris) Mysteries of Rennes-le-Château.
- (Inggris) The da Vinci code (official website), Dan Brown.
- (Inggris) The da Vinci code (official website), UK: Dan Brown.
- (Inggris) Walsh, David (May 2006), "The Da Vinci Code, novel and film, and 'countercultural' myth", WSWS (review)
- (Inggris) The Da Vinci Code and Textual Criticism: A Video Response to the Novel, Rochester Bible, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-12, diakses tanggal 2016-03-25.
- (Inggris) The Da Vinci Code pada Goodreads