Wangsa Utsmaniyah
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (March 2014) |
Wangsa Utsmaniyah, nama resmi Wangsa keluarga Utsmaniyah (Turki Otoman: خاندان آل عثمان Ḫānedān-ı Āl-ı ʿOsmān) (juga disebut Utsmani, Osmani. Disebut Ottoman dalam ejaan Inggris) adalah nama keluarga penguasa dari Kesultanan Utsmaniyah yang berdiri selama 623 tahun (tahun 1299 sampai 1922). Kepala keluarga ini juga menjadi kepala dunia Islam dengan disandangnya gelar khalifah selama 407 tahun, yakni dari tahun 1517 sampai 1924, menjadikannya sebagai dinasti terlama kedua setelah Abbasiyah yang menyandang gelar khalifah.
Wangsa Keluarga Utsmaniyah Ḫānedān-ı Āl-ı ʿOsmān | |
---|---|
Negara | Kesultanan Utsmaniyah |
Kelompok etnis | Suku Kayı (bangsa Turki) |
Didirikan | 27 Juli 1299 |
Pendiri | Osman I |
Kepala saat ini | Dündar Ali Osman |
Penguasa terakhir | |
Gelar | |
Agama | Islam Sunni (Hanafi) |
Turun takhta |
|
Nama
Nama keluarga besar ini diambil dari nama Osman, penguasa pertama negara Utsmaniyah. Sepeninggalnya, para keturunannya meneruskan perannya sebagai kepala negara. Osman I dan putranya, Orhan, selalu diikutsertakan dalam daftar Sultan Utsmaniyah, meskipun gelar sultan secara resmi baru disandang oleh Murad I, putra Orhan. Kekuasaan mereka berbeda-beda, sesuai dengan kebijakan dan pribadi sang sultan. Dalam beberapa kasus, sultan adalah penguasa mutlak yang memegang penuh kendali pemerintahan, sedangkan dalam kesempatan lain, sultan juga dapat menyerahkan kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan kepada wazir agung (setara perdana menteri).
Peran
Wangsa Utsmaniyah adalah salah satu dinasti Muslim terlama yang berkuasa. Dinasti ini memerintah negara yang juga memiliki nama yang sama dengan nama keluarga besarnya, Kesultanan Utsmaniyah, sebuah negara yang bermula dari daerah Anatolia dan meluas hingga menguasai Timur Tengah, Afrika Utara, dan Balkan. Anggota Wangsa Utsmaniyah menjadi kepala negara Utsmaniyah selama 623 tahun (1299 sampai 1922) dan silsilah semua sultannya tersambung dari jalur ayah dengan penguasa pertamanya.
Kepala keluarga ini secara resmi juga menyandang gelar khalifah, gelar pemimpin dunia Islam, setelah mereka menaklukan Kesultanan Mamluk Mesir yang merupakan pelindung bagi Khalifah Abbasiyah yang sudah tidak memiliki wilayah kekuasaan pasca jatuhnya Baghdad pada 1258. Wangsa Utsmaniyah menyandang gelar khalifah selama 407 tahun, yakni dari tahun 1517 sampai 1924, meskipun mereka sudah mengklaim gelar ini sebelum tahun 1517.
Status keluarga ini sebagai penguasa negara Utsmaniyah berakhir seiring dengan dibubarkannya negara ini pada 1 November 1922. Sepeninggalnya, pemimpin Wangsa Utsmaniyah masih tetap mempertahankan gelar khalifahnya selama dua tahun, sebelum akhirnya lembaga kekhalifahan dibubarkan dan keluarga ini diasingkan dari Republik Turki, negara penerus Utsmaniyah. Anggota keluarga Wangsa Utsmaniyah yang masih hidup beserta keturunannya dari jalur laki-laki kemudian menggunakan marga Osmanoğlu (secara harfiah bermakna 'putra Osman') sampai sekarang.
Gelar
Anggota Wangsa Utsmaniyah menggunakan gelar-gelar yang diambil dari beberapa bahasa, utamanya dari bahasa Arab, Persia, dan Turki. Di antara gelar-gelar yang mereka sandang, sultan adalah gelar yang paling umum diketahui.
Sultan (سلطان) berasal dari bahasa Arab dan bermakna "kekuatan". Di Indonesia dan Barat, gelar ini adalah gelar yang paling umum diketahui untuk merujuk pemimpin Utsmani. Meski begitu, sejak abad keenam belas, gelar sultan tidak hanya disandang oleh pemimpin Utsmani, tetapi juga oleh semua anggota Wangsa Utsmani, dengan pangeran menyandang gelar ini di depan namanya dan putri di belakang namanya. Misalnya, Şehzade Sultan Mehmed dan Mihrimah Sultan, anak-anak Sultan Suleyman Al Qanuni. Sebagaimana putri, permaisuri dan ibu suri juga menyandang gelar tersebut di belakang nama mereka. Penggunaan ini menegaskan konsep Utmani bahwa kedaulatan berada di tangan keluarga.[1]
Pemimpin Utsmani
Gelar utama dari penguasa Utsmani adalah sultan, khan, dan padisyah, yang masing-masingnya berasal dari bahasa Arab, Turki, dan Persia. Selain itu, penguasa Utsmani juga memiliki gelar lain yang menunjukkan pengesahan klaim mereka sebagai pewaris atas negara-negara yang telah ditaklukannya.
Meski daftar Sultan Utsmani selalu dimulai dari Osman I, nyatanya gelar sultan baru secara resmi digunakan pada masa cucunya, Murad I. Dua pemimpin Utsmani awal, Osman dan Orhan, meggunakan gelar bey, gelar bahasa Turki untuk kepala suku dan juga dapat diartikan dengan adipati. Mereka juga menggunakan gelar ghazi (غازي), istilah dalam bahasa Arab yang mengacu pada orang yang turut serta dalam perang jihad. Dalam tradisi bangsa Turki, nama disebut terlebih dahulu baru diikuti gelarnya. Misal: Osman Ghazi, Orhan Bey.
Pemimpin ketiga Negara Utsmani, Murad I, mulai menanggalkan gelar ini dan mulai menggunakan gelar sultan pada tahun 1383. Namun karena gelar ini sudah digunakan oleh banyak pemimpin Muslim di dunia, pemimpin Utsmani mulai menggunakan variasi dari gelar ini untuk membedakan diri mereka dengan pemimpin Muslim lain yang statusnya lebih rendah. Murad I menyatakan dirinya sebagai sultan-i azam (سلطان اعظم, sultan agung). Bayezid I menggunakan gelar Sultan Rum. Rum sendiri adalah istilah Arab untuk Romawi.
Gelar lain yang disandang pemimpin Utsmani adalah khan (dieja 'han' dalam bahasa Turki), gelar bagi penguasa atau pemimpin militer Asia Tengah. Bersama gelar sultan, han digunakan sebagai penyebutan standard untuk pemimpin Utsmani, mencerminkan penggabungan warisan Islam dan Asia Tengah. Misal, Sultan Suleyman Han.[1]
Masyarakat Utsmani sendiri lebih sering menyebut pemimpin mereka dengan padişah ('padisyah' dalam ejaan bahasa Indonesia).[2] Gelar ini berasal dari bahasa Persia dan dapat disepadankan dengan 'kaisar' atau 'maharaja' dalam bahasa Indonesia. Dengan menyandang gelar ini, pemimpin Ustmani menyatakan superioritas mereka di atas para raja. Setelah penaklukan Konstantinopel, pemimpin Utsmani juga menyandang gelar Kayser-i Rûm (Kaisar Romawi) sebagai pernyataan bahwa mereka adalah pewaris Kekaisaran Romawi.[3][4][5]
Pemimpin Dinasti Ustmani juga menyandang gelar khalifah yang merupakan gelar bagi pemimpin umat Islam. Gelar ini mulai diklaim oleh Murad I dan secara resmi menjadi gelar pemimpin Utsmani setelah pada tahun 1517, Sultan Selim I menaklukan Kesultanan Mamluk Mesir yang berperan sebagai pelindung Khalifah Abbasiyah yang sudah kehilangan wilayah kekuasaan setelah serangan Mongol pada 1258. Wangsa Abbasiyah kemudian menyerahkan kedudukan khalifah kepada Wangsa Utsmaniyah dan gelar ini terus disandang pemimpin Utsmani sampai 1924.
Anggota dinasti
Mereka yang termasuk anggota Wangsa Utsmani adalah laki-laki (pangeran) dan perempuan (putri) yang silsilahnya tersambung dengan Osman I dari jalur ayah, dan juga anak laki-laki dan perempuan dari putri.
Pangeran
Laki-laki yang silsilahnya tersambung dari jalur ayah sampai Osman I. Sebagai calon sultan, para pangeran pada masa awal Utsmani diberi tugas untuk memerintah provinsi sebagai bentuk pelatihan dan bekal mereka nantinya bila naik takhta. Namun selepas masa kekuasaan Ahmed I, para pangeran tetap tinggal di istana sampai salah seorang dari mereka naik takhta.
- Bey. Gelar untuk pangeran di generasi awal Utsmani. Gelar ini disandang di belakang nama. Misal, Orhan Bey.
- Çelebi. Gelar untuk pangeran di generasi awal Utsmani sebelum masa kekuasaan Mehmed II. Gelar ini disandang di belakang nama. Misal, Mehmed Çelebi.
- Şehzade (شاهزاده, dieja 'Syehzade' dalam bahasa Indonesia). Gelar ini merupakan pelafalan Utsmani dari gelar Persia 'syahzadeh'. Syahzadeh sendiri terdiri dari dua kata: Syah (شاه) yang merupakan gelar bagi raja dalam bahasa Persia, dan akhiran '-zada' atau '-zadeh' yang bermakna 'keturunan dari'. Setelah abad keenam belas, gelar 'sultan' juga disandang secara resmi oleh para pangeran bersama şehzade. Penggunaan kedua gelar ini berada di depan nama. Misal, Şehzade Sultan Mehmed.
Putri
Perempuan yang silsilahnya tersambung dari jalur ayah sampai Osman I.
- Hatun (خاتون). Sapaan ini dapat disepadankan dengan 'nona' atau 'nyonya' dalam bahasa Indonesia dan digunakan untuk menyapa anak-anak perempuan sultan sebelum abad keenam belas. Sapaan ini juga digunakan untuk merujuk ibu sultan, istri dan pasangan sultan, dan wanita-wanita terhormat. Hatun berasal dari gelar bahasa Turki 'khatun', bentuk wanita dari 'khan'. Gelar ini disandang di belakang nama. Misal, Nefise Hatun.
- Sultan (سلطان). Setelah abad keenam belas, semua anggota Wangsa Utsmani menyandang gelar sultan, dengan para pangeran menyandang gelar tersebut di depan nama bersama şehzade dan para putri menyandang gelar ini di belakang nama mereka. Misal, Mihrimah Sultan.
Anak-anak putri
- Sultanzade (سلطانزاده). Secara bahasa bermakna 'keturunan sultan'. Gelar ini disandang oleh anak laki-laki putri. Sultanzade kerap diterjemahkan menjadi 'pangeran' sebagaimana şehzade. Meski begitu, sultanzade tidak memiliki hak untuk mewarisi takhta Utsmani. Pada masa selanjutnya, gelar bey juga digunakan bersama dengan sultanzade. Contoh resmi: Sultanzade Osman Bey.
- Hanımsultan (خانم سلطان). Gelar ini disandang oleh anak perempuan putri di belakang nama. Contoh resmi: Hanzade Hanımsultan.
Kerabat anggota dinasti
Mereka yang bukan termasuk anggota Wangsa Utsmaniyah, tetapi memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat dengan mereka, juga memiliki gelar khusus dan hak-hak istimewa tertentu.
Ibu suri
Kedudukan ibu suri normalnya selalu disandang oleh ibu dari sultan yang sedang berkuasa. Meski begitu, ada beberapa kasus saat ibu tiri sultan berperan sebagai ibu suri saat ibu kandung sultan sendiri telah meninggal.
- Valide Hatun. Gelar bagi ibu suri Utsmani sebelum abad keenam belas. Contoh penggunaan resmi: Nilüfer Valide Hatun atau Valide Nilüfer Hatun.
- Valide Sultan (والده سلطان). Setelah abad keenam belas, para putri dan kerabat wanita sultan tidak lagi menggunakan gelar hatun dan menggantinya dengan sultan, sehingga gelar valide hatun juga berganti menjadi valide sultan. Contoh penggunaan resmi: Hafsa Valide Sultan atau Valide Hafsa Sultan.
Pasangan sultan dan pangeran
Pada umumnya, sultan dan para pangeran memiliki lebih dari satu pasangan, baik berstatus sebagai istri maupun selir. Peringkat kedudukan para pasangan sultan ini biasanya didasarkan atas urutan kelahiran putra-putra mereka. Ibu dari putra tertua sultan memiliki kedudukan tertinggi di antara pasangan sultan yang lain. Meski begitu, tidak ada gelar yang dapat disejajarkan dengan permaisuri (pasangan utama) lantaran semua pasangan sultan menyandang gelar yang sama dan perbedaan peringkat di antara mereka tidak begitu mencolok. Utsmani baru secara resmi memiliki kedudukan yang dapat disetarakan dengan permaisuri pada masa Suleyman Al Qanuni.
- Hatun (خاتون). Sebagaimana putri, para pasangan sultan juga menyandang gelar ini. Mulai abad keenam belas, pasangan utama sultan menyandang gelar haseki sultan dan pasangan sultan yang lain tetap menyandang gelar hatun.
- Haseki Sultan (خاصکى سلطان). Gelar tertinggi untuk pasangan sultan dan dapat disejajarkan dengan permaisuri dalam bahasa Indonesia. Pengguna gelar ini memiliki superiortas yang sangat mencolok bila dibandingkan dengan pasangan sultan yang lain, terlihat dari upah harian yang diterima. Haseki Sultan juga tetap bersama sultan di ibu kota saat putranya dikirim ke provinsi untuk memerintah, berbeda dengan tradisi awal saat para selir akan mendampingi putranya. Gelar ini mulai digunakan di masa Suleyman Al Qanuni dan digunakan selama sekitar satu abad, Gelar ini hanya disandang oleh satu orang pada satu masa. Namun di masa Sultan Ibrahim, sang sultan memberikan gelar ini kepada delapan pasangannya. Contoh penggunaan resmi: Hürrem Haseki Sultan atau Haseki Hürrem Sultan.
- Kadınefendi (قادين افندی). Setelah haseki sultan tidak lagi digunakan, kadınefendi menjadi gelar tertinggi untuk pasangan sultan. Meski begitu, status kadınefendi tidak seistimewa haseki sultan dan hanya dapat disejajarkan dengan hatun. Di sisi lain, kadınefendi juga dapat disandang lebih dari satu orang, antara empat sampai delapan orang. Tingkatannya: Başkadınefendi (kadınefendi utama), İkinci Kadınefendi (kadınefendi kedua), Üçüncü Kadınefendi (kadınefendi ketiga), Dördüncü Kadınefendi (kadınefendi keempat), dan seterusnya. Gelar ini disandang di belakang nama. Misal, Bidar Kadınefendi.
- Hanımefendi (خانم آفندی). Gelar bagi pasangan sultan yang tingkatannya berada di bawah kadınefendi. Gelar ini juga diperuntukkan untuk para pasangan şehzade. Sebagaimana kadınefendi, hanımefendi juga disandang lebih dari satu orang pada satu masa dan penggunaannya juga di belakang nama.
Pasangan putri
Suami dari putri menyandang gelar damat atau damad (داماد). Gelar ini berasal dari bahasa Persia. Contoh penggunaan gelar: Damad Ibrahim Pasya.
Keluarga Osmanoğlu
Sepeninggal dibubarkannya lembaga kekhalifahan pada tahun 1924, anggota Wangsa Utsmani diasingkan dari Republik Turki. Mereka semua bertolak dari Stasiun Sirkeci dan kemudian hidup menyebar di Eropa, Amerika Serikat, dan Timur Tengah dan hidup dalam belitan kemiskinan.[6] Dikarenakan mantan Sultan Mehmed VI Vahideddin tinggal di San Remo, banyak anggota Wangsa Utsmani yang tinggal di Prancis selatan. Setelah tinggal sebentar di Swiss, khalifah terakhir, Şehzade Abdulmecid II berpindah ke Côte d'Azur dan tinggal di Nice. Anggota Wangsa Utsmani ini menggunakan marga Osmanoğlu yang secara harfiah bermakna 'putra Osman'. Anggota perempuan Wangsa Utsmani diperkenankan kembali ke Turki pada 1951[7] dan anggota laki-lakinya pada 1973.[8]
Lihat pula
Rujukan
- ^ a b Peirce 1993, hlm. 18.
- ^ M'Gregor, J. (July 1854). "The Race, Religions, and Government of the Ottoman Empire". The Eclectic Magazine of Foreign Literature, Science, and Art. Vol. 32. New York: Leavitt, Trow, & Co. hlm. 376. OCLC 6298914. Diakses tanggal 2009-04-25.
- ^ Findley 2005, p. 115
- ^ Toynbee 1974, pp. 22–23
- ^ Stavrides 2001, p. 20
- ^ "The Ottoman caliphate: Worldly, pluralist, hedonistic—and Muslim, too". The Economist. 19 Desember 2015. Diakses tanggal 26 Desember 2015.
- ^ Brookes, Douglas (2008). The concubine, the princess, and the teacher: voices from the Ottoman harem. University of Texas Press. hlm. 278, 285. ISBN 9780292783355. Diakses tanggal 2011-04-14.
- ^ Opfell, Olga (2001). Royalty who wait: the 21 heads of formerly regnant houses of Europe. McFarland. hlm. 146, 151. ISBN 9780786450572. Diakses tanggal 2011-04-14.
Pranala luar
- Findley, Carter V. (2005). The Turks in World History. New York: Oxford University Press US. ISBN 978-0-19-517726-8. OCLC 54529318. Diakses tanggal 2009-04-29.
- Glazer, Steven A. (1996) [Research completed January 1995]. "Chapter 1: Historical Setting". Dalam Metz, Helen Chapin. A Country Study: Turkey. Country Studies (edisi ke-5th). Washington, D.C.: Federal Research Division of the Library of Congress. ISBN 978-0-8444-0864-4. OCLC 33898522. Diakses tanggal 2009-04-22.
- Karateke, Hakan T. (2005). "Who is the Next Ottoman Sultan? Attempts to Change the Rule of Succession during the Nineteenth Century". Dalam Weismann, Itzchak; Zachs, Fruma. Ottoman Reform and Muslim Regeneration: Studies in Honour of Butrus Abu-Manneb. London: I. B. Tauris. ISBN 9781850437574. OCLC 60416792. Diakses tanggal 2009-05-02.
- Peirce, Leslie P. (1993). The Imperial Harem: Women and Sovereignty in the Ottoman Empire. New York: Oxford University Press US. ISBN 9780195086775. OCLC 243767445. Diakses tanggal 2009-04-19.
- Quataert, Donald (2005). The Ottoman Empire, 1700–1922 (edisi ke-2nd). Cambridge University Press. ISBN 9780521839105. OCLC 59280221. Diakses tanggal 2009-04-18.
- Stavrides, Theoharis (2001). The Sultan of Vezirs: The Life and Times of the Ottoman Grand Vezir Mahmud Pasha Angelović (1453–1474). Leiden: Brill Publishers. ISBN 978-90-04-12106-5. OCLC 46640850. Diakses tanggal 2009-04-18.