Dukun
- "Untuk kegunaan lain dari dukun, lihat pula perdukunan".
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een medicijnman van Sabiroet Mentawai-eilanden TMnr 10006664.jpg|jmpl|ka|Dukun (=8|issue=2|pages=328–338|doi=10.15294/komunitas.v8i2.4461|issn=2460-7320}}</ref>
Di samping peran signifikannya, keberadaan dukun sering kali menjadi kontroversi.[1] Berdasarkan hasil penelitian tentang fenomena dukun yang dilakukan di Madura, dapat diketahui bahwa melalui dukun adalah salah satu strategi yang digunakan untuk mendapatkan kedudukan sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat. Penggunaan kekuatan yang berasal dari sumber gaib sebagai cara terpenting maupun sebagai cara alternatif untuk mencapai keinginan dan tujuan pribadi secara seketika, yang mana agama tidak menjanjikan keinstanan tersebut, telah ada di Madura sejak bertahun-tahun lalu. Hal-hal pribadi yang diinginkan melalui perantara kekuatan gaib itu meliputi keinginan meningkatkan kedudukan sosial, mencapai kuota dan target bisnis, kemajuan karier, kesuksesan pendidikan, kesehatan, hingga asmara. Beberapa orang Madura mengidentifikasikan diri sebagai Muslim dan mengamalkan ajaran serta kepercayaan agama, tetapi pada saat yang sama melibatkan diri dengan aktivitas yang berhubungan dengan alam gaib yang tidak diperbolehkan/dibenarkan dalam agama dan kepercayaan tersebut.[2]
Dukun dan perdukunan merupakan suatu dilema. Pada satu sisi dipandang sebagai profesi dan aktivitas yang “kotor”, tetapi pada sisi yang lain setidaknya memainkan peran dinamis dalam sistem sosial, budaya, dan hubungan politik, dalam terminologi yang oleh sosiologis Perancis, Pierre Bourdieu, sebut sebagai cultural capital, yang diakumulasikan untuk mendominasi masyarakat. Istilah dukun yang populer di daerah pedesaan itu pada perkembangannya menjadi jarang digunakan. Sebagai gantinya digunakan kata yang lebih halus atau yang lebih mengindikasikan orientasi keagamaan seperti Ki atau Aki, Abah, Haji, Kyai, atau Ustaz, agar secara konsensus sosial tidak berbahaya, sehingga dapat mengganggu aktivitas atau kebutuhan mereka.[2]
Kemajuan peradaban yang salah satunya diukur dengan keikutsertaan sebuah bangsa pada modernisasi yang berdasarkan rasionalitas, menyebabkan cara hidup tradisional yang dipandang sebagai sebuah kemandegan, harus ditinggalkan. Termasuk di dalam cara hidup tradisional adalah praktik dukun dalam membantu proses melahirkan. Tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan di Indonesia memberikan kesadaran untuk lebih meningkatkan upaya kesehatan ibu, antara lain dengan cara menempatkan tenaga bidan di setiap desa, yang sedikit demi sedikit mulai menggeser peran dukun.[3]
Cultural Capital
Secara keseluruhan, kemampuan gaib yang dimiliki di antara para dukun sesuai dengan konsep Pierre Bourdieu tentang cultural capital, yaitu karena kemampuan tersebut diturunkan atau dipelajari dalam rentang waktu tertentu. Konsisten dengan konsep tersebut, kurang tersedianya lapangan pekerjaan, kurangnya capital atau “modal” (seperti pendidikan, keahlian, atau jaringan), kebutuhan akan sumber ekonomi, faktor budaya, serta tingkat kompetisi dalam tatanan sosial dan politik, adalah apa yang merupakan ‘field’ dari dukun. Sementara kemampuan menyediakan jasa gaib sehingga menjadikannya sebagai pekerjaan utama merupakan ‘habitus’ dari kegiatan perdukunan. Habitus dijelaskan sebagai suatu ingatan atau sejarah yang terlupakan, yang muncul sebagai respon atas ketidakpastian keadaan dan kondisi kompetitif pada ‘field’ yang memaksa dilakukannya strategi bertahan meski dengan segala konsekuensi dan konsensus yang ada, termasuk apabila strategi tersebut bertentangan dengan norma, nilai, serta sistem kepercayaan yang dianut. Di Indonesia, pemahaman mengenai ajaran agama diajarkan dari lingkung keluarga, sehingga pengetahuan apapun yang ada hubungannya dengan agama telah tertanam sejak masa anak-anak. Namun demikian, selain hal-hal agama, terdapat pula kebudayaan di Nusantara yang berada di luar konteks ajaran agama, yang dapat diketahui anak-anak, dan secara sadar atau tidak terselip ke dalam benak mereka. Selama waktu kebersamaan mereka dengan orang tua, anak-anak mampu menyerap berbagai perilaku dan dogma yang berlaku di masyarakat. Oleh sebab itu dalam mental anak-anak, tidak hanya ajaran agama yang melekat, tetapi termasuk juga unsur-unsur adat di luar ajaran agama. Berdasarkan hal itu, menurut hasil penelitian Bourdie, terlepas dari apakah orang-orang di Nusantara ingat atau tidak, terkadang masih tersimpan kepercayaan animisme, dinamisme, serta pada hal-hal mistis, dan tetap menjaganya dalam perbuatan mereka, di samping menjalankan ajaran agama yang telah dianut.[4]
Referensi
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama:0
- ^ a b Haryanto, Bangun Sentosa D. (2015-12-31). "The Dukuns of Madura: Their Types and Sources of Magical Ability in Perspective of Clifford Geertz and Pierre Bourdieu". Hubs-Asia (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 107–118. ISSN 2406-9183.
- ^ Prabowo, Dhanu Priyo (2013-12-30). "Marginalisasi Profesi Dukun Bayi dalam Puisi "NiniNini Dukun Bayi" Karya Iman Budhi Santosa". ATAVISME. 16 (2): 195–203. doi:10.24257/atavisme.v16i2.93.195-203. ISSN 2503-5215.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama:1