Kiai

Orang jawa pakar di islam
(Dialihkan dari Kyai)

Kiai atau Kyai (kadang-kadang juga ejaan arkaisnya Kijahi/Kyahi), merupakan istilah atau gelar dalam kebudayaan suku bangsa Jawa, untuk tokoh agama atau orang yang memimpin pondok pesantren. Istri seorang kyai atau pemuka pondok pesantren disebut nyai.[1] Kedua gelar tersebut yang menyandang tidak hanya para tokoh terkemuka. Sudah menjadi kebiasaan bagi para bangsawan Jawa untuk memberikan gelar "kyai" dan "nyai" kepada benda-benda yang dianggap keramat. Istana-istana Jawa pada umumnya memiliki benda pusaka yang sangat dihormati layaknya orang yang sakti. Jenis bendanya bermacam-macam, termasuk senjata, alat musik, dan kereta kuda.[2]

Etimologi sunting

Secara etimologis, kata "kyai" dan "nyai" sudah lama dikenal dalam bahasa Jawa Kuno yang kemudian dua istilah tersebut telah mengalami pergeseran dalam segi bahasa dan makna. Dalam bahasa Jawa Kuno kyai berasal dari kata ki yayi sedangkan nyai berasal dari kata ni yayi. Berdasarkan Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh P.J. Zoetmulder, ki adalah kata sandang bagi laki-laki sedangkan yayi berarti adik. Sebaliknya ni merupakan kata sandang bagi perempuan. Dengan demikian ki yayi dan ni yayi masing-masing secara harfiah berarti "adik laki-laki" dan "adik perempuan". Ini terutama merujuk kepada status terhormat sebagai kerabat raja.[3]

Jawa sunting

Kiai atau Kyai bagi pemahaman Jawa adalah sebutan untuk "yang dituakan ataupun dihormati" baik berupa orang, ataupun barang. Selain Kiai, bisa juga digunakan sebutan Nyai untuk yang perempuan. Kiai bisa digunakan untuk menyebut:

  1. Ulama atau tokoh, contoh: Kiai Haji Ahmad Dahlan, Kiai Haji Hasyim Asy'ari
  2. Pusaka, contoh: keris Kiai Joko Piturun, gamelan Kiai Gunturmadu
  3. Hewan, contoh: kerbau Kiai Slamet, kuda Kiai Gentayu
  4. Makhluk halus, contoh: Kiai Sapujagad (penunggu Gunung Merapi)
  5. Orang yang sudah meninggal (meskipun berusia muda).[butuh rujukan] Bisa dilihat di nisan pada kompleks makam masyarakat Jawa.

Banjar/Kalimantan sunting

Kiai bagi masyarakat Banjar dan Kalimantan adalah gelar bagi kepala distrik[4] (di Jawa disebut wedana), bukan ulama. Adapun untuk ulama disebut Tuan misalnya Tuan Guru, Tuan Penghulu, Tuan Khatib.[5] Gelar ini berasal dari nama jabatan menteri pada Kerajaan Banjar. Pemerintah Hindia Belanda lalu mengalihkan nama ini untuk nama jabatan kepala distrik untuk wilayah Kalimantan. Contohnya ialah Kiai Masdhulhak, seorang kiai yang meninggal dalam pemberontakan Hariang, Banua Lawas, Tabalong, tahun 1937.

Lihat pula sunting

Pranala luar sunting

  1. ^ Djamas, Nurhayati. 2008. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jakarta: PT Raja Grafinda Persada
  2. ^ Graaf, H.J de. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: PT Pustaka Graftipers
  3. ^ P.J. Zoetmulder, S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  4. ^ "Constitutional division of the Netherlands Indies, 1909". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-12. Diakses tanggal 2011-07-24. 
  5. ^ Hamka (2020-04-24). 1001 Soal Kehidupan (dalam bahasa Melayu). Gema Insani. ISBN 978-602-250-729-1.