Penyakit mulut dan kuku
Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. |
Penyakit mulut dan kuku (biasa disingkat PMK; bahasa Inggris: foot-and-mouth disease, disingkat FMD) adalah penyakit hewan yang sangat menular akibat infeksi virus penyakit mulut dan kuku (FMDV). Penyakit ini dicirikan oleh luka (berupa lepuh dan/atau erosi) di bagian mulut dan kuku pada hewan berkuku belah, seperti sapi dan babi. Di tingkat nasional dan internasional, PMK merupakan penyakit hewan lintas batas yang penting karena memiliki dampak ekonomi yang signifikan dan bersifat sangat menular. Rentang spesies inang yang luas, dosis infeksius yang rendah, kemampuan virus bertahan di lingkungan, serta eksresi virus oleh hewan sebelum munculnya tanda klinis merupakan hal-hal yang menyebabkan PMK mampu menyebar dengan cepat dan luas.
Penyakit mulut dan kuku | |
---|---|
Erosi pada lidah akibat infeksi virus PMK | |
Informasi umum | |
Nama lain | Foot-and-mouth disease, aphthae epizootica, aphthous fever |
Spesialisasi | Penyakit menular, kedokteran hewan |
Penderita | Terutama pada hewan berkuku belah |
Penyebab | Virus PMK |
Aspek klinis | |
Gejala dan tanda | Kulit melepuh (membentuk vesikel) dan mengelupas di bagian mulut, hidung, sela kuku, dan puting |
Awal muncul | 2–14 hari setelah terpapar virus |
Durasi | hingga 2 pekan |
Diagnosis | Identifikasi agen: RT-PCR, isolasi virus, ELISA antigen, atau CFT; uji serologis: uji netralisasi virus dan ELISA. |
Kondisi serupa | Stomatitis vesikuler, penyakit vesikuler babi, exanthema vesikuler pada babi, dan infeksi Senecavirus A |
Tata laksana | |
Pencegahan | Vaksinasi |
Perawatan | Terapi simtomatif dan suportif |
Hewan rentan
Secara umum, hewan berkuku belah (terutama dalam ordo Artiodactyla) merupakan inang alami virus ini. Sapi, kerbau, babi, kambing, dan domba merupakan hewan domestik yang rentan terinfeksi. Di Afrika, kerbau afrika merupakan hewan yang berperan sebagai reservoir. Satwa liar juga rentan terhadap infeksi virus, seperti rusa (misalnya rusa bagal,[1] rusa sika, dan kijang),[2] antelop, babi liar, jerapah, yak, serta unta baktria, llama, dan alpaka. Selain hewan berkuku belah, virus PMK juga dapat menginfeksi anjing, landak susu, beruang, gajah, armadillo, kanguru, nutria, dan kapibara.[3]
Tanda klinis
Masa inkubasi pada sapi berlangsung 2–14 hari, pada domba 1–12 hari (mayoritas 2–8 hari), dan pada babi biasanya dua hari atau lebih.[4][a] Hewan yang terinfeksi FMDV menunjukkan tanda klinis yang bervariasi mulai dari ringan hingga berat, tergantung pada spesies hewan, umur hewan, kekebalan hewan, serotipe virus, serta jumlah paparan virus. Faktor-faktor tersebut juga memengaruhi cepat atau lambatnya masa inkubasi. Babi yang dipelihara secara intensif dan sapi menunjukkan manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan domba dan kambing.[6]
Ciri khas penyakit ini adalah munculnya lepuh (vesikel) dan/atau erosi kulit di bagian hidung, lidah, bibir, di dalam rongga mulut (baik di gusi, langit-langit, maupun pipi bagian dalam), di sela kuku dan lingkaran kuku, serta di puting susu hewan betina. Setelah kulit melepuh, hewan menjadi lemas dan enggan bergerak atau makan. Biasanya, bagian tubuh yang melepuh akan pulih dalam tujuh hari, tetapi komplikasi (misalnya akibat infeksi bakteri) dapat memperpanjang kondisi buruk.[6] Sebagai contoh, luka di kaki lebih rentan terhadap infeksi bakteri yang dapat berujung pada kepincangan kronis, sementara infeksi bakteri di puting susu dapat mengakibatkan mastitis.[7]
Tanda klinis lain yang sering ditemukan yakni demam (sekitar 40 °C), depresi, hipersalivasi (keluarnya air liur secara berlebihan), penurunan nafsu makan, berat badan, dan produksi susu, serta hambatan pertumbuhan. Miositis juga bisa terjadi pada bagian tubuh lainnya. Rasa nyeri pada bagian mulut dapat menyebabkan sapi menunjukkan perilaku mengunyah dan menggeretakkan giginya. Lesi kaki pada sapi dan domba biasanya parah hingga mereka sulit berdiri dan dapat menyebabkan kuku mereka terlepas, sedangkan lesi vesikel pada kambing dan domba sering kali berukuran kecil dan hilang dengan cepat. Umumnya, tanda klinis pada hewan dewasa akan menghilang dalam 2–3 pekan dan sebagian di antara hewan terinfeksi akan menjadi pembawa virus dan mengalami infeksi persisten.[8] Biasanya, sapi menjadi pembawa virus dalam jangka waktu tidak lebih dari enam bulan. Meskipun demikian, terdapat laporan bahwa sapi dapat membawa virus selama tiga tahun.[3] Hewan-hewan yang terinfeksi secara kronis mengalami penurunan produksi susu; rata-rata sebanyak 80%. Tingkat kematian pada hewan dewasa relatif rendah (1–5%), tetapi pada sapi, domba, dan babi berusia muda cukup tinggi (hingga 20%). Kematian tersebut dapat terjadi, bahkan sebelum munculnya lepuh, akibat miokarditis multifokal.[6][7][9]
Penyebab
Virologi
Penyakit mulut dan kuku disebabkan oleh virus penyakit mulut dan kuku (FMDV) yang termasuk dalam famili Picornaviridae dan genus Aphthovirus. Virus ini tidak beramplop dan memiliki asam nukleat berupa RNA rantai tunggal dan terdiri atas tujuh serotipe, yaitu A, O, C, Asia1, SAT1 (Southern African Territories 1), SAT2, dan SAT3; masing-masing serotipe berbeda secara imunologis dan tidak memberikan perlindungan silang, artinya hewan yang kebal terhadap salah satu serotipe tidak kebal terhadap infeksi serotipe lainnya.[3][6]
Penularan
Pada populasi yang rentan, tingkat penyebaran penyakit ini mencapai 100%.[7] Sumber virus yakni sekresi dan ekskresi dari hewan terinfeksi (baik yang sedang dalam masa inkubasi maupun hewan yang telah menunjukkan tanda klinis). Partikel virus ditemukan pada udara yang dihembuskan hewan terinfeksi, air liur, air susu, urine, tinja, semen, cairan dari vesikel, hingga cairan amnion dari janin domba teraborsi. Virus disebarkan ke lingkungan dalam jumlah tertinggi pada saat vesikel robek dan saat kemunculan sebagian besar tanda klinis. Ruminansia terinfeksi dapat menghembuskan 120 ribu dosis infeksius (TCID50) ke udara, sementara babi hingga 400 juta dosis infeksius per hari sehingga babi dinilai sebagai spesies penguat penularan penyakit.[10] Produk hewan, seperti daging dan kulit, masih mengandung virus jika tidak diberi perlakuan teknis yang tepat. Setelah dikeluarkan dari tubuh hewan, virus dapat menempel ke berbagai benda, termasuk manusia, dan terbawa ke mana-mana. Air dan udara juga dapat menyebarkan virus ke lokasi lain.[11] Secara berturut-turut risiko tertinggi sampai terendah dalam penularan PMK yakni kontak langsung dengan hewan terinfeksi, terpapar produk hewan yang mengandung virus, terpapar benda-benda terkontaminasi virus, dan terbawa angin.[5]
Virus PMK masuk ke dalam tubuh hewan peka melalui saluran pernapasan, pencernaan, atau melalui kulit dan membran mukosa yang terluka. Masuknya virus terjadi saat hewan peka mengalami kontak langsung dengan hewan terinfeksi (terutama melalui aerosol) atau dengan benda-benda terkontaminasi (seperti pakaian, sepatu, dan kendaraan). Untuk menimbulkan infeksi, rute pernapasan memerlukan lebih sedikit partikel virus dibandingkan rute oral. Hal ini berlaku untuk semua spesies hewan. Ruminansia lebih sering terinfeksi melalui rute pernapasan, sedangkan babi sering terinfeksi melalui rute oral ketika mereka diberi pakan sampah dapur yang mengandung partikel virus. Untuk terinfeksi melalui rute pernapasan, babi memerlukan sekitar 80 kali lebih banyak virus PMK dibandingkan ruminansia sehingga keberadaan virus di udara belum tentu mengakibatkan infeksi pada babi.[10] Anak sapi yang menyusu pada induknya serta inseminasi buatan menggunakan semen terkontaminasi juga menjadi rute transimisi penyakit.[3] [5]
Penyakit mulut dan kuku tidak menular ke manusia. Meskipun demikian, manusia dapat membawa partikel virus dalam saluran pernapasannya selama 24–48 jam. Untuk mencegah tersebarnya virus, personel yang bekerja pada lembaga penelitian PMK perlu melakukan swakarantina selama 3–5 hari. Selama masa wabah penyakit, masa karantina ini dapat dipersingkat menjadi semalaman setelah personel tersebut mandi secara menyeluruh, berganti pakaian, dan menggunakan ekspektoran.[4] Sebuah artikel ilmiah yang dipublikasikan pada 1997 menyatakan bahwa virus PMK telah diisolasi dari lebih dari 40 orang; serotipe O menjadi serotipe yang paling banyak diisolasi, yang diikuti oleh serotipe C, dan paling jarang serotipe A.[12]
Patogenesis
Setelah masuk ke dalam tubuh hewan, baik melalui saluran pernapasan maupun saluran pencernaan, virus akan bereplikasi di jaringan limfoid, terutama di saluran pernapasan bagian atas, dan kemudian masuk ke peredaran darah lalu bersirkulasi selama 3–5 hari. Virus dapat dideteksi pada orofaring antara satu dan tiga hari sebelum masuk ke dalam darah dan sebelum kemunculan tanda klinis. Melalui aliran darah, virus kemudian tersebar dan bereplikasi di jaringan epitel predileksinya, seperti lidah, sela kuku, puting hewan betina, dan otot jantung pada hewan muda, sehingga terbentuk vesikel. Virus diekskresikan hewan terinfeksi sejak dua hari sebelum tanda klinis terlihat (virus pada susu dideteksi empat hari sebelum tanda klinis) dan ekskresi virus dalam jumlah besar berhenti pada 4–5 hari setelah vesikel muncul. Luka kulit biasanya sembuh dalam sepuluh hari, tetapi infeksi sekunder mengakibatkan hewan pulih lebih lama.[13]
Partikel virus masih ditemukan di daerah orofaring ruminansia sampai 28 hari pascainfeksi dan sekitar 50% ruminansia dapat mengalami infeksi persisten meskipun mereka telah memiliki kekebalan terhadap virus PMK. Hewan-hewan yang di orofaringnya masih ditemukan virus setelah 28 hari pascainfeksi disebut sebagai hewan pembawa penyakit. Kerbau afrika tercatat menjadi pembawa hingga selama lima tahun, sapi sampai tiga tahun, dan ruminansia kecil sampai sembilan bulan, sementara babi tidak dianggap sebagai pembawa virus yang persisten. Pada hewan-hewan pembawa, ekskresi virus bersifat intermiten (tidak tetap) dan jumlahnya menurun seiring dengan waktu. Meskipun demikian, secara epidemiologis, peran hewan-hewan pembawa tersebut dalam menularkan penyakit dinilai tidak jelas, kecuali kerbau-afrika pembawa yang diduga berperan dalam wabah PMK di Zimbabwe pada tahun 1989 dan 1991.[5][14]
Diagnosis
Diagnosis banding
Diagnosis banding untuk PMK adalah stomatitis vesikuler, penyakit vesikuler babi, exanthema vesikuler pada babi, dan infeksi Senecavirus A. Keempat penyakit ini tidak bisa dibedakan secara klinis dengan PMK. Penyakit-penyakit lain yang memiliki tanda klinis serupa di antaranya penyakit sampar sapi, diare ganas sapi, rhinotrakeitis sapi infeksius, penyakit lidah biru, penyakit hemoragik epizotik, mamilitis sapi, stomatitis papular sapi, orf, demam kataral malignan, dan penyebab noninfeksius seperti trauma atau melepuh akibat zat kimia.[15]
Pengujian laboratorium
Epitel atau cairan dari vesikel, baik yang belum robek atau sudah robek, merupakan spesimen yang baik untuk mendiagnosis penyakit ini. Darah atau cairan esofagus-faringeal merupakan alternatif lainnya. Identifikasi agen dilakukan dengan reaksi berantai polimerase transkripsi-balik (RT-PCR), isolasi virus, deteksi antigen dengan ELISA, atau uji fiksasi komplemen (CFT). Sementara itu, uji serologis dilakukan dengan uji netralisasi virus dan ELISA.[16] Antibodi mulai dapat dideteksi oleh ELISA pada 3–5 hari setelah kemunculan tanda klinis dan berada dalam konsentrasi tinggi pada 5–9 hari setelah kemunculan tanda klinis.[13] Ruminansia memiliki titer antibodi yang dapat dideteksi hingga beberapa tahun pascainfeksi, sedangkan antibodi pada babi hanya dapat dideteksi setelah beberapa bulan. Tubuh hewan membentuk antibodi baik terhadap protein struktural maupun nonstruktural virus.[5]
Pencegahan dan penanganan
Vaksinasi
Pemberian vaksin dapat melindungi hewan dari infeksi virus PMK. Namun, perlindungan vaksin terhadap salah satu serotipe virus tidak melindungi dari serotipe lainnya. Oleh karena itu, serotipe virus PMK yang terdapat di suatu wilayah perlu diketahui sebelum vaksinasi diterapkan di wilayah tersebut. Jenis vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktif. Vaksin aktif yang mengandung virus-yang-dilemahkan tidak diperbolehkan karena ada kemungkinan timbulnya virulensi dan penggunaan vaksin aktif dapat menyulitkan deteksi infeksi virus pada hewan yang telah divaksin.[17]
Disinfeksi
Virus PMK rentan terhadap pH rendah dan pH tinggi. Disinfektan yang bersifat asam atau basa efektif untuk menonaktifkan virus ini.
Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk hewan yang menderita PMK. Meskipun demikian, terapi suportif diberikan di negara yang endemik.[7]
Persebaran
Penyakit mulut dan kuku merupakan salah satu penyakit hewan yang statusnya di suatu negara ditetapkan secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH). Terdapat empat status bebas PMK, yaitu (1) negara bebas PMK tanpa menerapkan vaksinasi; (2) negara bebas PMK dengan menerapkan vaksinasi; (3) negara dengan zona bebas PMK tanpa menerapkan vaksinasi; dan (4) negara dengan zona bebas PMK dengan menerapkan vaksinasi.[18] Amerika Utara, Amerika Tengah, Eropa Barat kontinental, Australia, dan Selandia Baru secara umum bebas dari PMK. Penyakit ini bersifat endemis di beberapa bagian Asia serta sebagian besar Afrika dan Timur Tengah.[19] Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), khususnya Komisi Eropa untuk Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku (EuFMD), setiap tiga bulan menerbitkan laporan situasi global PMK.[20]
Indonesia
Di Indonesia, PMK pertama kali dilaporkan kasusnya di Malang pada tahun 1887 akibat impor sapi dari Belanda. Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah Indonesia, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi; beberapa kali mengakibatkan wabah. Program vaksinasi massal dimulai pada tahun 1974 sehingga pada periode 1980–1982 tidak ada lagi kasus PMK. Wabah PMK kembali terjadi di Blora, Jawa Tengah pada 1983. Namun, wabah ini dapat dikendalikan dengan vaksinasi. Indonesia mendeklarasikan diri bebas dari PMK pada 1986. Status bebas ini diakui secara internasional oleh OIE pada tahun 1990.[21][22][23]
Pada bulan Mei 2022, wabah PMK dilaporkan di Jawa Timur. Sebanyak 1.247 ternak di Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto terserang penyakit ini.[24][25]
Dampak
Selain menimbulkan kerugian ekonomi secara langsung karena kematian hewan, berkurangnya produksi susu, dan menurunnya tingkat pertumbuhan hewan,[26] wabah PMK juga memengaruhi perekonomian secara tidak langsung karena pengendalian penyakit juga memerlukan biaya. Karena PMK mudah menyebar, suatu negara yang dinyatakan tertular PMK akan mengalami hambatan dalam perdagangan internasional, terutama dalam perdagangan hewan dan produk hewan yang dapat membawa virus PMK. Wabah PMK juga memengaruhi kondisi sosioekonomi orang-orang yang terdampak oleh pembatasan lalu lintas hewan dan produk hewan. Saat PMK mewabah di Britania Raya pada 2001, sekitar 6,2 juta hewan dipotong untuk mencegah penularan virus. Wabah di Jepang pada 2010 mengakibatkan 290 ribu hewan terpaksa dipotong, sementara di Korea Selatan sebanyak 3,47 juta hewan dipotong pada 2010 hingga 2011.[27] Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2013 menyatakan bahwa secara global, kerugian ekonomi akibat penurunan produksi dan biaya vaksinasi PMK yaitu sebesar 6,5 hingga 21 miliar dolar setiap tahun.[28]
Catatan
Referensi
Catatan kaki
- ^ Rhyan, Jack; McCollum, Matthew; Gidlewski, Thomas; Shalev, Moshe; Ward, Gordon; Donahue, Brenda; Arzt, Jonathan; Stenfeldt, Carolina; Mohamed, Fawzi (2020). "Foot-and-Mouth Disease in Experimentally Infected Mule Deer (Odocoileus hemionus)". Journal of Wildlife Diseases. 56 (1): 93–104. ISSN 1943-3700. PMID 31329525.
- ^ Gibbs, E.P.J.; Herniman, K.A.J.; Lawman, M.J.P. (1975). "Studies with foot-and-mouth disease virus in British deer (muntjac and sika)". Journal of Comparative Pathology. 85 (3): 361–366. doi:10.1016/0021-9975(75)90022-5.
- ^ a b c d OIE 2021a, hlm. 1.
- ^ a b OIE 2021a, hlm. 2.
- ^ a b c d e EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Tiga: Infeksi, Ekskresi dan Transmisi" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 9 September 2022.
- ^ a b c d "Foot and mouth disease". OIE. Diakses tanggal 6 Mei 2022.
- ^ a b c d Belsham, Graham J.; Botner, Anette; Lohse, Louise (Juli 2021). "Foot-and-Mouth Disease in Animals". MSD Veterinary Manual. Diakses tanggal 8 Mei 2022.
- ^ Alexandersen, Soren; Zhang, Zhidong; Donaldson, Alex I. (2002). "Aspects of the persistence of foot-and-mouth disease virus in animals—the carrier problem". Microbes and Infection. 4 (10): 1099–1110. doi:10.1016/S1286-4579(02)01634-9.
- ^ OIE 2021a, hlm. 3.
- ^ a b Alexandersen, S; Zhang, Z; Donaldson, A.I; Garland, A.J.M (2003). "The Pathogenesis and Diagnosis of Foot-and-Mouth Disease". Journal of Comparative Pathology. 129 (1): 1–36. doi:10.1016/S0021-9975(03)00041-0.
- ^ OIE 2021a, hlm. 1-2.
- ^ Bauer, K. (1997). Kaaden, Oskar-Rüger; Czerny, Claus-Peter; Eichhorn, Werner, ed. Foot-and-mouth disease as zoonosis. Vienna: Springer Vienna. hlm. 95–97. doi:10.1007/978-3-7091-6534-8_9. ISBN 978-3-211-83014-7.
- ^ a b EuFMD. "Kursus Pelatihan Investigasi PMK - Modul Dua: Patogenesis" (PDF). FAO Virtual Learning Centers. Diakses tanggal 8 September 2022.
- ^ Dawe, P.; Flanagan, F.; Madekurozwa, R.; Sorensen, K.; Anderson, E.; Foggin, C.; Ferris, N.; Knowles, N. (1994). "Natural transmission of foot-and-mouth disease virus from African buffalo (Syncerus caffer) to cattle in a wildlife area of Zimbabwe". Veterinary Record. 134 (10): 230–232. doi:10.1136/vr.134.10.230. ISSN 0042-4900.
- ^ OIE 2021a, hlm. 4.
- ^ OIE 2021a, hlm. 4-5.
- ^ OIE 2021a, hlm. 5-6.
- ^ "Foot and mouth disease: Map of FMD official status". World Organisation for Animal Health. Diakses tanggal 8 September 2022.
- ^ "Foot and mouth disease: Geographical distribution". World Organisation for Animal Health. Diakses tanggal 8 September 2022.
- ^ "Quarterly Reports". Food and Agriculture Organization of the United Nations. Diakses tanggal 8 September 2022.
- ^ "Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)". Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Oktober 2007.
- ^ Dirkeswan 2022, hlm. 1.
- ^ Adjid, R.M.A. (2020). "Penyakit Mulut dan Kuku: Penyakit Hewan Eksotik yang Harus Diwaspadai Masuknya ke Indonesia". Wartazoa. 30 (2): 61. doi:10.14334/wartazoa.v30i2.2490. ISSN 2354-6832.
- ^ "1.247 Ternak Sapi di Jatim Kena Wabah PMK, Kementan Terjunkan Tim dan Uji Lab". Kumparan. 6 Mei 2022. Diakses tanggal 6 Mei 2022.
- ^ "Wabah Penyakit Mulut dan Kuku Menyerang 1.247 Ternak di Jawa Timur". Kompas. 6 Mei 2022. Diakses tanggal 6 Mei 2022.
- ^ Bayissa, Berecha; Ayelet, Gelagay; Kyule, Moses; Jibril, Yasmin; Gelaye, Esayas (2011). "Study on seroprevalence, risk factors, and economic impact of foot-and-mouth disease in Borena pastoral and agro-pastoral system, southern Ethiopia". Tropical Animal Health and Production. 43 (4): 759–766. doi:10.1007/s11250-010-9728-6. ISSN 1573-7438.
- ^ Knight-Jones, T.J.D.; Rushton, J. (2013). "The economic impacts of foot and mouth disease – What are they, how big are they and where do they occur?". Preventive Veterinary Medicine. 112 (3-4): 161–173. doi:10.1016/j.prevetmed.2013.07.013. PMC 3989032 . PMID 23958457.
- ^ Knight-Jones, T.J.D.; Rushton, J. (2013). "The economic impacts of foot and mouth disease – What are they, how big are they and where do they occur?". Preventive Veterinary Medicine. 112 (3): 161–173. doi:10.1016/j.prevetmed.2013.07.013. ISSN 0167-5877.
Daftar pustaka
- Direktorat Kesehatan Hewan (2022), Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Seri Penyakit Mulut dan Kuku (edisi ke-3.1), Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
- Naipospos, T.S.P.; Suseno, P.P. (November 2017), Cost Benefit Analysis of Maintaining FMD Freedom Status in Indonesia (PDF), Report to the World Organisation for Animal Health.
- Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Januari 2021), Foot and Mouth Disease (PDF), OIE Technical Disease Cards, World Organisation for Animal Health.
- Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (19 Juli 2021), "Chapter 8.8 Infection with Foot and Mouth Disease Virus" (PDF), Terrestrial Animal Health Code, World Organisation for Animal Health.
- Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (2021), "Chapter 3.1.8. Foot and Mouth Disease (Infection with Foot and Mouth Disease Virus)" (PDF), Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals 2021, World Organisation for Animal Health.