Wong Agung Wilis
Wong Agung Wilis, terlahir dengan nama Pangeran Putra (lahir di Blambangan kira-kira pada 1680-an hingga 1720-an – meninggal di Bali tahun 1780) adalah penguasa Blambangan terakhir pada periode 1763 hingga 1768 Ia memimpin pasukan dalam perlawanan melawan VOC di Blambangan pada periode 1767 hingga 1768.
Kehidupan Awal
Keluarga
Mas Sirna adalah putra dari Pangeran Mas Purba alias Prabu Danureja, penguasa Blambangan tahun 1697-1736.
Ibunya adalah seorang putri dari Puri Kabakaba salah satu vasal Kerajaan Mengwi, Bali.
Ibu Mas Sirna bukanlah permaisuri dari Pangeran Danureja. Pernikahan keduanya terjadi karena motif politik agar kerjasama antara Blambangan dan Bali dapat terjalin kuat untuk mengatasi ancaman dari luar daerah.
Permaisuri Pangeran Danureja sendiri adalah putri dari pahlawan Untung Surapati. Pernikahan Pangeran Danureja dengan permaisuri hanya dianugerahi seorang putra bernama Mas Noyang (Pangeran Danuningrat) yang nantinya akan mewarisi takhta Blambangan.[1]
Pada saat dewasa ia hijrah ke Bali, ikut pamannya yang bernama Ki Gusti Ngurah Ketut Kaba-Kaba.[2][3]
Tidak ada riwayat mengenai dengan siapa ia menikah, tetapi ia memiliki enam orang putra yakni Serutadi, Kencling, Tunjung, Berud, Dalem Puger Mas Surawijaya dan Mas Ayu Prabu.[1]
Kembali Ke Blambangan
Kerajaan Blambangan adalah sebuah kerajaan di ujung timur Pulau Jawa yang dalam pelaksanaan pemerintahannya banyak dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan di Bali.
Dalam masa itu, sepeninggal Pangeran Danuraja, kedua putranya (beda ibu) menjadi penerus pemerintahan. Mas Sepuh alias Mas Noyang menjadi raja Blambangan bergelar Pangeran Danuningrat (1736-1763) sedangkan Pangeran Putra menjadi patih bergelar Pangeran Agung Wilis.
Jabatan patih ini tidak terlalu lama dia emban karena terjadi konflik internal dalam kerajaan.
Seorang punggawa istana yang juga sepupu dari Pangeran Danuningrat bernama Mas Bagus Tepasana menyebar isu bahwa Pangeran Agung Wilis akan mengkudeta Pangeran Danuningrat sebagai penguasa Blambangan.[4]
Keluarga kerajaan mempercayai ini sehingga Pangeran Agung Wilis dipecat dari jabatannya dari dan kedudukannya digantikan oleh Sutajiwa yang merupakan putra mahkota Pangeran Danuningrat.[2] Sejak itu Pangeran Agung Wilis dijuluki sebagai Mas Sirna Wibawa.
Pangeran Agung Wilis lalu pergi mengembara hingga mencapai Pantai Lampon, Desa Sanggar, Gunung Dogong dan Gunung Tumpangpitu yang mana daerah-daerah ini pada masa kini berada dalam wilayah Kecamatan Pesanggaran.
Meskipun telah dipecat Pangeran Agung Wilis tetap menghargai kakaknya, Pangeran Danuningrat sebagai penguasa Blambangan.
Pangeran Danuningrat pernah meminta kepada Pangeran Agung Wilis kembali untuk menumpas perompak Bugis di daerah bernama Bang Pakem.[1]
Perlawanan terhadap VOC
Karena kesuburan dan kekayaan Blambangan telah diketahui oleh VOC sebelum mereka menguasainya, maka sebenarnya VOC telah memiliki rencana untuk menguasai Blambangan namun rencana ini terkendala oleh beberapa faktor seperti Blambangan jauh dari pusat pemerintahan dan ikatan pernikahan politik yang terjadi di antara Blambangan dan Bali membuat hubungan mereka menjadi kuat.[5] Namun akhirnya sikap ascribed status VOC yang meyakini secara sepihak bahwa Blambangan telah dikuasai oleh mereka melatarbelakangi perlawanan terhadap VOC di Blambangan.
Pada tahun 1767, sekembalinya dari Bali. Wong Agung Wilis diangkat menjadi penguasa Blambangan oleh VOC.[6][2] Ia membiarkan dirinya diangkat oleh VOC karena telah merencanakan siasat untuk menarik simpati VOC dan jika pasukan telah terhimpun maka akan dilakukan perlawanan. Ia memanfaatkan jabatannya ini untuk menjalin hubungan dengan para bekel (kepala desa) agar perannya dalam hal ini dirahasiakan dan memerintahkan agar pasukan segera dihimpun, serta memerintahkan agar penyerangan ke loji-loji Belanda dilakukan secara bertahap.[2] Ia juga kerap melakukan penyamaran sebagai pemburu untuk mendistribusikan sejumlah uang dan senjata-senjata buatan Inggris kepada para pasukannya.[7]
Pada 30 September 1767 ia mulai menghimpun kekuatan untuk melawan VOC yang mulai menduduki Blambangan. Silsilah keturunan yang dimilikinya mempermudah dalam penghimpunan kekuatan ini.[8] Ia mendapat bantuan kekuatan dari orang-orang Inggris (yang memang bersaing dengan VOC dalam hal perdagangan di Jawa), orang Tiongkok, orang Madura dan orang Bugis yang tinggal di Blambangan.[7] Ia juga mendapat dukungan dari Bupati Malayakusuma (cucu Untung Surapati) dari Malang[3] dan dari Kerajaan Mengwi, dimana kerajaan tersebut mengutus perwakilannya yaitu Purbakara dan Mas Ularan.[4]
Perang Wilis
Pada Oktober 1767, Wong Agung Wilis mengumpulkan pasukannya di Ulupampang. Disana ia membagi wilayah pertempuran menjadi dua bagian. Sebagian dipimpin oleh Mas Rempeg (Pangeran Jagapati) dan sebagian lagi dipimpin oleh Wong Agung Wilis sendiri.[4]
Pihak VOC mendengar penghimpunan pasukan ini. Maka dari itu VOC melakukan beberapa langkah untuk meredam perlawanan. Gubernur Pantai Timur Jawa, Johannes Vos mengirim surat pada 20 Oktober 1767 kepada Cakradiningrat V (penguasa Madura) yang berisi permintaan bala bantuan pasukan ke Blambangan. Lalu datanglah 1000 orang dari laskar Madura-Bangkalan, 200 orang Madura, 500 orang Probolinggo dan sejumlah tentara Eropa ke Blambangan dengan menempuh jalur darat.[2] Sebelumnya, pada Maret 1767 dilakukan ekspedisi pertama pasukan gabungan VOC ke Blambangan. Selain menambah pasukan, VOC juga melakukan politik pecah belah (devide et impera) di Blambangan dengan membagi Blambangan menjadi dua bagian yakni Blambangan Timur yang dipimpin Bupati Mas Bagus Anom dan Patih Sutanegara dan Blambangan Barat yang dipimpin Bupati Mas Uno bersama Patih Wasengsari. Tujuan dari pemecahan ini adalah untuk mempermudah VOC untuk menangkap Wong Agung Wilis beserta pengikutnya dengan bantuan orang-orang pribumi.[7] Persiapan lain yang dilakukan VOC adalah mengamankan Selat Bali dari pengaruh Inggris dan Bali yang mendukung perlawanan Wong Agung Wilis.
Perlawanan ini dimulai saat Wong Agung Wilis sebagai penguasa Blambangan mengabaikan perintah untuk menghadap Gubernur Johannes Vos untuk meberikan laporan tentang pendirian benteng di Banyualit dan menentang kehadiran VOC di Blambangan.[9] Maka seketika itu keluarlah perintah penangkapan Wong Agung Wilis yang dikomandoi oleh seorang komandan VOC bernama Adrianus van Rijke. Pada 2 Maret 1768, saat akan memulai operasi penangkapan Wong Agung Wilis, van Rijke bersama pasukannya malah dikepung oleh pasukan Wong Agung Wilis di Benteng Banyualit. VOC dibuat pusing kembali dengan membelotnya penguasa boneka kembar Blambangan, Mas Anom dan Mas Weka dari VOC dan bergabung pada pihak Wong Agung Wilis.[4]
Pengepungan di Benteng Banyualit ini tidak bertahan lama karena kalahnya persenjataan pasukan Wong Agung Wilis yang hanya senjata-senjata lama buatan Inggris sedangkan pasukan VOC menggunakan meriam. Sebab lain Gagalnya perebutan Benteng Banyualit disebabkan oleh datangnya bala bantuan pasukan untuk VOC yang dipimpin oleh komandan J.E. Corp Everard A. Groen. Pasukan Wong Agung Wilis dapat dipukul mundur ke Ulupampang oleh pasukan VOC pimpinan Groen. Pada 13 Mei 1768 VOC berhasil merebut Ulupampang dan menahan para pedagang Tiongkok dan Bugis yang membantu perlawanan Wong Agung Wilis. Pasukan Wong Agung Wilis yang kehilangan sumber logistik mundur lagi hingga ke Kutha Lateng.[9] Pertempuran kemudian terjadi di sana pada 18 Mei 1768 dan perlawanan ini secara total dapat dipatahkan oleh VOC. Kutha Lateng dibakar rata dan Wong Agung Wilis berhasil melarikan diri ke Blimbingsari.
Akhir Perlawanan dan Kematian
Setelah perlawanan ini bisa dipatahkan oleh VOC, Mas Weka lalu memberitahukan tempat persembunyian Wong Agung Wilis di Blimbingsari. Mas Weka memberitahukan hal ini dengan tujuan agar memperoleh pengampunan dari VOC dan bisa kembali menjadi penguasa Blambangan.
Akibat pengkhianatan Mas Weka ini Wong Agung Wilis berhasil ditangkap dan diasingkan. Semula VOC merencanakan untuk mengasingkan Wong Agung Wilis ke Tanjung Harapan Baik, Afrika Selatan. Namun dikarenakan pertimbangan biaya yang mahal akhirnya Wong Agung Wilis beserta sekitar 22 pengkutnya termasuk Mas Weka, Mas Anom, Prabu Djaka dan Bupati Ngantang (daerah di dekat Gunung Kelud) dikirim ke Pulau Banda, Maluku.[2]
Namun berkat bantuan para pengikutnya dan masyarakat Pulau Banda yang bersimpati kepada Wong Agung Wilis, ia akhirnya bisa lolos dari Penjara Rosingain (tempatnya diasingkan) dan lari ke Pulau Seram dan kemudian berlayar ke Bali. Sesampainya di Bali, ia tidak melanjutkan perjuangan. Meskipun keturunan-keturunan dan pengikut-pengikutnya (Seperti Pangeran Jagapati yang terkenal pada Perang Puputan Bayu pada tahun 1771-1773) tetap berjuang melawan VOC walau tidak berhasil. Ia meninggal di Mengwi pada 1780 karena usia yang sangat lanjut.[4]
Referensi
- Wong Agung Wilis, Pahlawan Blambangan (1767-1780). Disusun oleh: Drs. Moh. Hadi Sundoro, Drs. Edy Burhan Arifin, S.U, Drs. Hasan Basri, Drs. Samsubur dan H. Slamet Utomo. Registrasi Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyuwangi 0448 notasi Dewey 920.
- (Inggris) Kehidupan Awal Wong Agung Wilis
- ^ a b c Arifin, Winarsih Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Penerbit Bentara
- ^ a b c d e f Samsubur. 2006. Kerajaan Blambangan. Banyuwangi.
- ^ a b C. Lekkerker. 1923. Balambangan Indisch Gids II.
- ^ a b c d e Basri, Hasan (Ed). 2006. Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit. 3 Pejuang Dari Blambangan. Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi
- ^ Soetrisno, Is. 1976. Selayang Pandang Blambangan. Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi
- ^ Ali, Hasan. 2002. Sekilas Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi. Banyuwangi
- ^ a b c JKJ. De Jonge. 1883. De Opkomst Van Het Nederlandsch Gesah Over-Java, ML van Deventer
- ^ Frederick, William dan Soeri Soeroto. 1982. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum Dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Penerbit LP3ES
- ^ a b Sudjana, I Made. 2001. Nagari Tawang Madu Laresan Sejarah. Kuta Bali