Keling

Kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 8 Januari 2023 09.14 oleh Raden Salman (bicara | kontrib) (Perubahan Data dan Isi)

Kerajaan Kalingga (bahasa Jawa: ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦭꦶꦔ꧀ꦒ) atau Kerajaan Ho-ling (Hanzi: 訶陵; Hēlíng atau 闍婆; Dūpó dalam sumber-sumber berita Tiongkok) adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang pertama muncul di pantai utara Jawa Tengah pada abad ke-6 Masehi, bersamaan dengan Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Kerajaan Keling

Ho-ling
594–695
Peta kerajaan Keling
Peta kerajaan Keling
Ibu kotaTidak diketahui, diperkirakan antara Pekalongan dan Jepara
Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno, Sanskerta
Agama
Hindu dan Buddha
PemerintahanMonarki
Raja atau Ratu 
• 594-605
Wasumurti
• 605-632
Wasugeni
• 632-652
Wasudewa
• 652
Wasukawi
• 632-648
Kiratasingha
• 648-674
Kartikeyasingha
• 674-695
Ratu Shima
Sejarah 
• Didirikan
594
• Runtuh
695
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Tarumanagara
krjKerajaan
Medang
Sekarang bagian dari Indonesia
Catatan sejarah berdasarkan naskah-naskah dan catatan perdagangan Tiongkok.
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Historiografi

Temuan arkeologis dan catatan sejarah dari kerajaan ini langka, dan lokasi persis ibu kota kerajaan tidak diketahui. Diperkirakan ada di suatu daerah antara Pekalongan dan Jepara saat ini. Sebuah tempat bernama Kecamatan Keling ditemukan di pantai utara Kabupaten Jepara, namun beberapa temuan arkeologis di dekat Kabupaten Pekalongan dan Batang menunjukkan bahwa Kabupaten Pekalongan adalah pelabuhan kuno, nama Pekalongan mungkin merupakan nama yang diubah dari Pe-Kaling-an. Kalingga ada antara abad ke-6 dan ke-7, dan itu adalah salah satu kerajaan Hindu-Buddha paling awal yang didirikan di Jawa Tengah.[1]

Sejarah

Sumber lokal

Carita Parahyangan

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Ratu Shima, bernama Parwati, menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Rahyang Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Dikisahkan Ratu Shima memiliki cucu bernama Sannaha yang menikah dengan raja Galuh ketiga, yaitu Bratasenawa. Sannaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Rakryan Sanjaya yang kelak menjadi raja dan menggabungkan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Setelah Ratu Shima meninggal pada tahun 732 M, Rakryan Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kalingga Selatan yang kemudian disebut Mataram, dan kemudian mendirikan dinasti baru bernama wangsa Sanjaya.

Kekuasaan di Sunda-Galuh diserahkan kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakryan Panaraban. Kemudian Rakryan Sanjaya menikahi Sudiwara putri Rakryan Dewasingha, raja Kalingga Utara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

Nama Ho-ling diperkirakan muncul pada abad ke-5 (kemudian disebut Keling) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari catatan dari Tiongkok. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Kedatuan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan, bersama Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya.[2]

Kisah lokal

Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah mengenai seorang ratu legendaris yang menjunjung tinggi prinsip 'keadilan' dan 'kebenaran' dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak tegas kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang tegas yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri.

Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemasyhuran rakyat Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada seorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman potong kaki.[3]

Berita Tiongkok

Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman dinasti Tang dan catatan I-Tsing, seorang biksu Buddha yang berkelana lewat laut ke India melalui jalur sutra.

Catatan dari zaman Dinasti Tang

Catatan pada zaman Dinasti Tang, memberikan keterangan tentang keberadaan Ho-ling sebagai berikut.

  • Ho-ling atau Jawa terletak di seberang lautan selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Bali) dan di sebelah barat terletak Sumatra.[4]
  • Ibu kota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
  • Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
  • Penduduk Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa.
  • Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.

Catatan dari berita Tiongkok ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh penguasa perempuan yang disebut Hsi-mo (Ratu Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Ho-ling sangat aman dan tentram.

Catatan I-Tsing

Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha. Di Ho-ling ada pendeta Tionghoa bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.

Daftar raja-raja

Belum ditemukan temuan berupa prasasti atau catatan sejarah sezaman mengenai keberadaan Kerajaan Kalingga secara pasti.

Daftar nama raja-raja Kalingga ini dapat ditemukan pada naskah-naskah seperti Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta.

Berikut daftar nama raja-raja yang diperkirakan pernah memerintah di Kerajaan Kalingga :

Tahun berkuasa Nama raja Keterangan
594-605 M Wasumurti Berkuasa selama 11 tahun. Memiliki dua orang anak, yaitu: Wasugeni dan Dewi Wasundari (menikah dengan Kiratasingha). Setelah ia wafat, takhta diteruskan oleh Wasugeni.
605-632 M Wasugeni Berkuasa selama 27 tahun. Ia menikah dengan Dewi Paramita, sebagai permaisuri. Dewi Paramita adalah putri raja dinasti Pallawa dari India. Mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu: Wasudewa dan Dewi Wasuwari (Ratu Shima), yang menikah dengan Kartikeyasingha. Setelah ia wafat, takhta diteruskan oleh Wasudewa.
632-652 M Wasudewa Berkuasa selama 20 tahun. Ia memerintah bersama dengan adiknya, Dewi Wasuwari. Ia memiliki seorang putra bernama Wasukawi. Setelah ia wafat, takhta diteruskan oleh Wasukawi.
652-??? M Wasukawi Berkuasa hanya sebentar karena usianya yang masih mudah. Kemudian, takhta digantikan Kiratasingha
632-648 M Kiratasingha Berkuasa selama 20 tahun. Ia adalah menantu Wasumurti dan merupakan ayah dari Kartikeyasingha, putra yang berasal dari istri Melayu. Kiratasingha diketahui adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Melayu yang mengungsi ke Jawa karena ekspansi dari Kedatuan Sriwijaya.
648-674 M Kartikeyasingha Berkuasa selama 26 tahun bersama istrinya, Ratu Shima. Ia merupakan menantu Wasugeni setelah menikahi Dewi Wasuwari (Ratu Shima). Kartikeyasingha dari pihak ibunya masih keturunan raja Kerajaan Melayu, karena ibunya adalah adik raja Melayu yang ditumpas oleh Sri Jayanasa dari Kedatuan Sriwijaya.
674-695 M Wasuwari (Ratu Shima) Berkuasa selama 21 tahun, menggantikan suaminya yang wafat. Ia memiliki dua orang anak, yaitu: Dewi Parwati dan Rakryan Dewasingha. Dewi Parwati kelak menikah dengan Rahyang Mandiminyak, yang menjadi raja kedua di Kerajaan Galuh. Kemudian memiliki anak bernama Dewi Sannaha. Kelak Dewi Sannaha menikah dengan Bratasenawa, raja ketiga Kerajaan Galuh.

Pembagian Kerajaan

Sebelum Ratu Shima wafat pada 695 M, wilayah Kalingga dibagi dua untuk kedua anaknya, yakni Parwati dan Rakryan Narayana. Parwati, yang diperistri Rahyang Mandiminyak dari Kerajaan Galuh, menguasai Kalingga Utara (Bhūmi Mātaram). Sedangkan Kalingga Selatan (Bhūmi Sambhāra) diserahkan kepada Rakryan Narayana.[5]

Keling Selatan

  • Rakryan Narayana (695-742 M), bergelar Prabu Iswarakesawalingga Jagatnata Bhuwanatala
  • Rakryan Dewasingha (742-760 M), bergelar Prabu Iswaralingga Jagatnata
  • Rakryan Limwana (760-789 M) bergelar Prabu Gajayanalingga Jagatnata

Keling Utara

  • Dewi Parwati (695-709 M), bergelar Sri Maharani Parwati Tunggalpratiwi

Prahara Di Kalingga Utara

Parwati ratu Kalingga (Bhūmi Mātaram) yang beribukota di Pragawatipura, di sekitar Sungai Praga (Kali Progo) dan Sungai Elo (Kali Elo). Ketika Parwati mangkat, dia didharmakan di daerah barat ibukota Pragawatipura, tepatnya di tepi timur Sungai Luku Loh (Sanskerta: Luku Loh; bajak subur), diperkirakan Luku Loh nama kuno dari Sungai Luk Ulo. Pendharmaan itu disucikan oleh para keturunannya. Bertolak dari nama Parwati Tunggalpartiwi itulah pendharmaan itu kemudian disebut Kabhumian (Sanskerta: pṛthivī; ibu bumi) atau dalam bahasa Indonesia "Ibu Pertiwi" yang bermakna wilayah khusus Sang Bhumi.

Kabhumian tempat Sri Maharani Parwati Tunggalpartiwi didharmakan itulah yang menjadi pusat wilayah agung Mataram (Sanskerta: Mātaram; ibu) yang mendatangkan kemakmuran. Derah disekitar Kabhumian disebut Patanahan (kediamana sang bhumi). Kawasan berlimpah kesuburan yang membentang antara Sungai Luku Loh dan Sungai Praga yang sering dijadikan medan perang perebutan takhta diantara keturunan Parwati kemudian disebut dengan nama Bagelen (Sanskerta: Baga Loh; kandungan subur), dalam bahasa Sanskerta baga berarti kandungan dan loh berarti subur/melimpah Bagelen dapat diartikan sebagai warisan ibu yang subur.

Seiring mangkatnya Sang Bhumi (Parwati), terjadilah perebutan takhta. Rakryan Narayana yang telah diberi wilayah Kalingga Selatan (Bhūmi Sambhāra) ingin menguasai seluruh wilayah Kalingga. Dengan dukungan bala tentara dari Kerajaan Indraprahasta, Rakryan Narayana berhasil merebut takhta Kalingga Utara (Bhūmi Mātaram). Akhirnya ibukota Pragawatipura berhasil diduduki oleh Rakryan Narayana.

Sannaha (putri Parwati dengan Mandiminyak) dan Sanna (putra Mandiminyak dengan Pwahaci Rababu) meloloskan diri dari Pragawatipura. Mereka menyingkir ke kawasan antara Gunung Candrageni (Merapi) dan Gunung Candramuka (Merbabu). Atas pertolongan Maharesi Bhanu Mas, Sannaha yang sedang hamil tua diungsikan ke timur, ke kediaman Maharesi Bhanu Wangi, saudara kembar Maharesi Bhanu Mas. Di sana, di tanah timur itu, lahirlah putra Sanna dan Sannaha yang bernama Rakai Jambri alias Sanjaya, yang kelak mendirikan kerajaan Medang i Bhūmi Mātaram.[6]

Kutipan

  1. ^ Mengenal Kerajaan Kalingga[1]
  2. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5. 
  3. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37. 
  4. ^ Groeneveldt, W.P (2018). Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 17. ISBN 978-602-9402-92-6. 
  5. ^ Mamat Ruhimat. Transliterasi Teks dan Terjemahan Pustaka Rājya-Rājya i Bhumi Nusāntara. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga 2009.
  6. ^ Edi Suhardi Ekajati, Undang A. Darsa (1999). Jawa Barat, koleksi lima lembaga: Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Volume 5, T. E. Behrend. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9794613312. 

Referensi

  • Sudiono (2000). Peninggalan Prasejarah di Kabupaten Purworejo. Jakarta: Puslitkernas: Majalah Kalpataru Majalah Arkeologi 14 29-50. 
  • Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5. 
  • Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37. 
  • Ary Sulistyo (2008). Situs-situs Megalitik di Daerah Tenggara Gunung Slamet Purbalingga Jawa Tengah: Kajian Linguistik Fisik dan Karakteristik Situs. Universitas Indonesia Library (dalam bahasa Indonesia). 


Didahului oleh:
Tarumanagara
Kerajaan Hindu-Budha
594 - 782
Diteruskan oleh:
Medang