Anak Wungsu
Anak Wungsu adalah raja Bali yang memerintah sekitar tahun 1025-1077 M dengan pusat pemerintahan di Tampak Siring. Ia merupakan adik termuda Airlangga dan Marakata Pangkaja yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa Bali.[1] Daerah kekuasaan Anak Wungsu terbentang dari utara ke selatan. Kerajaan berada dalam keadaan aman dan tenteram.
Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Permaisurinya dikenal dengan nama Batari Mandul. Pemerintahan Anak Wungsu meninggalkan 28 prasasti singkat, antara lain ditemukan di Goa Gajah, Gunung Kawi (Tampak Siring), Gunung Panulisan dan Sangsit.
Kehidupan awal
Anak Wungsu merupakan anak bungsu dari Raja Dharmodayana (Udayana) dari Dinasti Warmadewa dari perkawinannya dengan Sri Gunapriya Dharmapatni, putri Dinasti Isyana.[2][3] Selain Anak Wungsu, Udayana memiliki dua orang putra lainnya yaitu Airlangga sang putra sulung yang kemudian menjadi raja di Jawa (Kahuripan) dan Marakata Pangkaja.
Setelah Raja Udayana mangkat, Marakata menggantikannya sebagai Raja Bali. Masa pemerintahaan Marakata Pangkaja bersamaan dengan masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur.[4] Airlangga bertahta di Jawa menggantikan mertuanya, Raja Dharmawangsa Teguh, yang digulingkan oleh musuh-musuhnya. Sedangkan adik-adik Airlangga kemudian meneruskan tahta orang tuanya menjadi raja-raja di Bali. Airlangga yang memerintah di Jawa tetap menjaga hubungan dengan Bali sebagai tanah kelahirannya.[2]
Setelah Marakata mangkat, Anak Wungsu menggantikannya sebagai Raja Bali.
Masa pemerintahan
Raja Anak Wungsu dikenal sebagai raja yang penuh belas kasihan terhadap rakyatnya. Beliau dalam menjalankan pemerintahannya senantiasa memikirkan kesempurnaan dunia yang dikuasainya. Beliau juga berhasil mewujudkan negara yang aman, damai dan sejahtera.
Saat itu penganut agama Hindu dapat hidup berdampingan dengan agama Buddha. Anak Wungsu sempat pula membangun sebuah kompleks percandian di Gunung Kawi (sebelah selatan Istana Tampaksiring)[3][5] yang merupakan peninggalan terbesar di Bali. Atas perannya yang gemilang itu, Anak Wungsu kemudian dianggap rakyatnya sebagai penjelmaan Dewa Hari (Dewa Kebaikan).
Pada masa pemerintahannya, kerajaan Bali dan keadaan negeri saat itu sangatlah aman dan tenteram. Rakyat hidup dengan bercocok tanam, seperti padi gaga, kelapa, enau, pinang, bambu, dan kemiri. Selain itu, rakyat juga memelihara binatang seperti kerbau, kambing, lembu, babi, bebek, kuda, ayam, dan anjing.
Anak Wungsu tidak memiliki anak dari permaisurinya dan meninggal pada tahun 1077 M. Jasadnya didharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring.
Lihat pula
Referensi
- ^ Pringle, Robert. (2004) A Short History of Bali: Indonesia's Hindu Realm. Crows Nest, NSW: Allan & Unwin ISBN 1-86508-863-3.
- ^ a b Hanna, Willard A. (2004). Bali Chronicles. Singapore: Periplus. hlm. 24. ISBN 0-7946-0272-X.
- ^ a b Cœdès, George (1968). The Indianized states of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 9780824803681.
- ^ "History of Bali". Lonely Planet. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-11. Diakses tanggal 26 Maret 2013.
- ^ wonderfulbali.com. "Tampaksiring, Valley of the Kings - Gunung Kawi". Diakses tanggal 20 Desember 2007.
Daftar pustaka
- C.C. Berg (1927). De middeljavaansche historische traditie. Santpoort.
- A.J. Bernet Kempers (1991). Monumental Bali; Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments. Berkeley & Singapore. ISBN 0-945971-16-8.
- Creese, Helen (1991). "Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 147.
- Nordholt, Henk Schulte (1980). "Macht, mensen en middelen; Patronen en dynamiek in de Balische politiek ca. 1700-1840". Doctoraalscriptie. Amsterdam.
- Nordholt, Henk Schulte (1996). The Spell of Power; A History of Balinese Politics. Leiden. ISBN 90-6718-090-4.
- Wiener, Margaret J. (1995). Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London. ISBN 0-226-88580-1.
Didahului oleh: Marakata Pangkaja |
Penguasa Bali 1049-1077 M |
Diteruskan oleh: Śri Maharaja Walaprabhu |