Raden Patah

pendiri dan sultan pertama Demak
Revisi sejak 29 April 2023 03.10 oleh Daeng Hanif (bicara | kontrib) (Jangan memutar balikan sejarah, Raden Fatah itu Sayid, wikipedia kenapa kok sepertinya tidak begitu suka dengan yg berbau Sayid dan Melayu?)

Raden Patah alias Jin Bun (Jawa : ꦫꦢꦺꦤ꧀ꦦꦠꦃ, Hanzi : 靳文, Pinyin : Jìn Wén) bergelar Panembahan Jimbun (lahir: Palembang, 1455; wafat: Demak, 1518) adalah pendiri dan sultan Demak pertama yang memerintah tahun 1500-1518.

Raden Fatah
( Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah )
Berkas:Illustration of Raden Patah.jpg
Ilustrasi imajiner Raden Patah
Sultan Demak ke-1
Masa jabatan
1478–1518
Sebelum
Pendahulu
Jabatan Baru
Pengganti
Pati Unus
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Hasan

1455
Meninggal1518
AgamaIslam
Pasangan
  • Dewi Murthasimah binti Sunan Ampel
  • Solekha binti Pangeran Wironegoro
  • Putri dari Randu Sanga
Anak
Pernikahan dengan Dewi Murthasimah :
Pernikahan dengan Solekha :
Pernikahan dengan Putri dari Randu Sanga :
  • Raden Kanduruwan
Orang tua
DenominasiSunni
Dikenal sebagaiWali Songo
Pemimpin Muslim
PendahuluMaulana Ahmad Jumadil Qubro
PenerusSultan Trenggana

Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia adalah keturunan Tionghoa dan memiliki nama kecil Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya saja yang berdarah Tionghoa. Jin Bun memiliki arti orang yang kuat.[1]

Menurut sejarawan Belanda yaitu Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M. C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po (Pate Rodin senior). Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental dijuluki Pate Rodin, mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504). Putra atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), membangun keunggulan Demak atas Jawa.

Nama dan gelar

Nama

Nama Raden Fatah memiliki banyak nama, diantaranya Praba atau Raden Bagus Kasan (Hasan), yang memiliki nama Tionghoa Jin Bun (Hanzi: 靳文, Pinyin: Jìn Wén) sehingga disebut juga Senapati Jimbun[2] atau Panembahan Jimbun,[3] bergelar Sultan Shah Alam Akbar al-Fatah (1455–1518).

Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tionghoa. Jin Bun artinya orang kuat.[1]

Gelar

Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat Banjar disebut Sultan Surya Alam.

Asal usul

Terdapat berbagai versi tentang asal usul pendiri Kerajaan Demak.

Bapak Raden Patah bernama Sultan Abu Abdullah/Syarif Abdullah Umdatuddin (Wan Bo/Raja Champa) bin Ali Alam Azmakhtan bin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Husein Jamadil Kubra) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Al-Syekh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin Isa Al-Rumi bin Muhammad Naqib bin Ali Uraidhi bin Jakfar Asshodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Hussein bin Sayyidatina Fatimah binti Muhammad Rasulullah SAW., Sedangkan ibunya bernama Nyai Condrowati binti Brawijaya V. Bukti ini berdasarkan dari catatan para Ulama dan Habaib diantaranya Sayyid Bahruddin Ba'alawi, Habib Muhsin Al-haddar dan Al-Habib Hadi bin Abdullah Al-Haddar. Bukti kesayyidan Raden Patah :

  1. Dinikahkan dengan Syarifah Asyiqah binti Sunan Ampel. Dalam perspektif fiqih Munakahat dan Kafa'ah Syarifah maka seorang Syarifah hanya pantas dan boleh menikahi seorang Sayyid.
  2. Gelar keislaman Raden Patah dalam Serat Pranitiradya disebut sebagai Sultan Shah Alam Akbar. Secara antropologi (kebiasaan/kelaziman) penggelaran & pemargaan menunjukkan beliau sebagai Sayyid keluarga Azmatkhan. Gelar Sultan dimasa lalu hanya bisa didapatkan bilamana mendapat izin, pengakuan dan pengesahan internasional dari Syarif Mekkah.
  3. Dalam catatan silsilah keluarga Syekh Ahmad Mutamakin jalur Kajen, nama lelulur Raden Patah ditulis sebagai Raden Patah Sayyid Ali Akbar.
  4. Sanad Riwayat dari Raden Haji Ahmad Dimyati dari KH. Abdul Haq bahwa gelar Raden berarti Ruhuddin yang bermakna Ruhnya Agama. Sanad Riwayat dari Haji Ahmad Dimyati dari KH. Huban Zen bahwa gelar Raden berarti Rahadiyan yang bermakna lemah lembut dan Dermawan. Sanad Riwayat dari Raden Haji Ahmad Dimyati didapat dari KH. Amang Syihabuddin yang beliau terima dari KH. Aceng Mu'man Mansur Cimasuk bahwa gelar Raden berarti Sayyid dan yang bergelar Raden itu berkerabat atau satu nasab dengan Sunan Gunung Jati. Kesimpulan, Gelar Raden berarti pertama secara Nasab harus masuk jalur Sayyid, kedua harus menjadi penghidup Agama dan ketiga harus memiliki sifat lemah lembut dan Dermawan. Menurut Kitab Al Faatawi bahwa Raden Patah diangkat menjadi Sultan oleh Sunan Gunung Jati.

Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?), putra (atau bawahan) mantan perdana menteri Tiongkok (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur. Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang (Aria Suganda?).

Berdirinya Kesultanan Demak

Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi Adipati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen (Husain). Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.

Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.

Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya (diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.

Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan Tionghoa untuk Bintoro).

Konflik Demak dan Majapahit

Versi Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.

Versi Kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Tionghoa muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.

Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah Demak yg menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V, tetapi adalah Prabu Girindrawardhana. Kemudian pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya V, Kekuasaan Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VI. Perang antar Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VI bukan pada masa Raden Fatah dan Prabu Brawijaya V.[4]

Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.

Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.

Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.

Pemerintahan

Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.

Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.

Tome Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.

Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Tiongkok yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber Portugis ataupun sumber Tiongkok, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur dalam pertempuran ini.

Keluarga Raden Fatah

Menurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah Syarifah Asyiqah yang merupakan putri bungsu Sunan Ampel melahirkan Pati Unus dan Sultan Trenggana.

Istri kedua ialah Solekha melahirkan Raden Kikin alias Surowiyoto, Ratu Mas Nyawa, Ratu Pembayun dan Dewi Ratih.

Istri yang ketiga seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada masa pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.

Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Putra Mahkota Pangeran Surowiyoto dan adik ipar dari Pati Unus Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta.

Pangeran Surowiyoto alias Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai Lasem. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.

Kronik Tiongkok hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan Tung-ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.

Dalam Suma Oriental, Tomé Pires menulis bahwa Pate Rodin memiliki putra yang juga bernama Pate Rodim, dan menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih tua usianya daripada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.

Dalam budaya populer

Kutipan

  1. ^ a b (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 89. ISBN 9798451163. ISBN 978-979-8451-16-4
  2. ^ menurut Babad Tanah Jawi
  3. ^ menurut Serat Kanda
  4. ^ MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo. (Amanah, Surabaya, tth). Hal. 50.

Referensi

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Kertabhumi
Sultan Demak
1475—1518
Diteruskan oleh:
Pati Unus