Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah undang-undang Indonesia mengenai kekerasan seksual, meliputi pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum. Undang-undang ini ini diusulkan pada tanggal 26 Januari 2016, dengan nama awal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS atau RUU P-KS). RUU TPKS disahkan menjadi Undang-Undang pada 12 April 2022.[1]
Nama panjang | Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual |
---|---|
Akronim | UU TPKS |
Disahkan oleh | Dewan Perwakilan Rakyat |
Tanggal mulai berlaku | 9 Mei 2022 |
Sejarah legislatif
Perancang dan pengusung RUU ini adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL).[2] Ketua Komnas Perempuan, Azriana, menyampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada tanggal 7 September 2015 bahwa setidaknya ada 15 macam kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia, yaitu tindak perkosaan, intimidasi bernuansa seksual (termasuk ancaman atau percobaan perkosaan), pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, kontrasepsi/sterilisasi paksa, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, dan kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. 13 di antaranya belum diatur dalam undang-undang.[3] Menurut Komnas Perempuan, hukum pidana Indonesia mengenai pemerkosaan terbatas pada penetrasi penis ke vagina, prosedur pembuktiannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkesan masih membebani korban, pelecehan seksual hanya diatur dalam pasal tentang perlakuan tidak menyenangkan, dan UU Hukum Pidana maupun UU Kesehatan menekankan pada larangan aborsi tanpa melihat konteks pemaksaan aborsi sehingga perempuan dipidanakan dalam tindak aborsi. Komnas Perempuan menilai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Tambahan 2015-2019.[4] Gisella Tani Pratiwi dari Yayasan Pulih dalam FPL mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privat, sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, harus ada saksi mata dan bukti sehingga banyak proses hukum kasus kekerasan seksual yang tidak bisa dilanjutkan. Selain itu, masyarakat masih menyalahkan korban ataupun membenarkan perilaku kejahatan seksual. Venny Siregar dari LBH APIK mengatakan bahwa "ketika proses hukum berjalan ya proses hukum saja yang dilihat. Tapi bagaimana korban mendapatkan trauma seumur hidup itu tidak mendapatkan jaminan, restitusi (ganti rugi) tidak ada kompensasi tidak ada, ini yang diperjuangkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan seksual." FPL mendorong agar RUU Penghapusan kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas DPR 2016.[5]
RUU ini diusulkan pada tanggal 26 Januari 2016.[6] Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik RUU PKS ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) pada 13 Mei 2016.[7] RUU PKS dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2016 pada 6 Juni 2016.[8] RUU ini ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020 pada tanggal 2 Juli 2020. Usulan penarikan ini sebelumnya diajukan oleh Komisi VIII. Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan karena terbentur mengenai definisi kekerasan seksual dan aturan pemidanaan.[9] Menurut anggota Komisi VIII dari fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka, keputusan mengeluarkan RUU ini dari Prolegnas bukan pernyataan Komisi VIII, karena tidak ada rapat untuk memutuskan itu, dan itu merupakan pernyataan pribadi Marwan Dasopang. Menurut Diah, meski dikeluarkan dari Prolegnas 2020, RUU PKS akan masuk Prolegnas 2021 yang akan dibahas oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg).[10]
Isi
Ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang dijelaskan dalam RUU ini, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pembudakan seksual dan penyiksaan seksual.[11] RUU PKS tidak hanya mengatur tentang hukum acara dan sanksi pidana mengenai kekerasan seksual, tetapi lebih banyak mengatur tentang manfaat bagi korban kekerasan seksual. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Veny Octarini Siregar, RUU PKS mencakup mulai dari pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum. RUU PKS termasuk dalam undang-undang khusus atau lex specialis. Sistem peradilannya akan dibuat seperti peradilan anak. Korban dapat memilih untuk bertemu atau tidak bertemu dengan pelaku, dan korban ditempatkan di ruangan khusus dalam persidangan. RUU ini juga mengatur peran masyarakat, seperti tindakan yang dilakukan oleh RT atau RW. RUU ini membebankan pelaku untuk membayar restitusi yang bukan sebagai ganti rugi terhadap korban, tetapi untuk menanggung biaya pemulihan korban.[12]
Reaksi
Ketua Indonesian Feminist Lawyer Clubs (IFLC) Nur Setia Alam Prawiranegara mengatakan pembahasan RUU ini terhambat "karena RUU ini bukan menghasilkan uang banyak. Beda dengan RUU pemilu yang mungkin perputaran uangnya jelas." Selain itu, Anggota DPR Komisi VIII Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengakui belum adanya kesepahaman tentang RUU PKS antara legislator dan pengusung RUU PKS. Menurut Saras, sebagian pihak menganggap RUU PKS adalah peraturan yang membenarkan adanya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT),[11] serta ada pula yang menganggap bahwa RUU ini adalah titipan asing, meskipun perancang dan pengusung RUU ini adalah Komnas Perempuan dan FPL yang tidak lain adalah para pendamping korban kekerasan di Indonesia.[2]
Sebuah petisi di Change.org untuk mendesak DPR dan pemerintah untuk membahas RUU PKS telah ditandatangani oleh lebih dari 50 ribu netizen pada tanggal 6 Mei 2016.[13] Pada tanggal 8 Desember 2018, masyarakat dari berbagai aliansi melakukan pawai akbar yang menuntut pemerintah segera mengesahkan RUU PKS. Tagar #sahkanruupks sempat menjadi kiriman terpopuler di Twitter. Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy, mengganggap pengesahan RUU PKS sudah mendesak, terutama setelah korban-korban pelecehan seksual di Indonesia berani bersuara setelah munculnya gerakan Me Too.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengatakan bahwa masih banyak hal yang harus dipertimbangkan DPR, seperti hal pemeriksaan yang harus dikoordinasikan dengan polisi, penggunaan judul “Penghapusan Kekerasan Seksual” yang dapat memunculkan beragam tafsir, penggunaaan kata hasrat seksual yang bisa diartikan sebagai hasrat antara sesama jenis. Menurutnya, aturan yang ada saat ini sudah cukup untuk menangani tindakan kekerasan seksual.[6]
Dalam serangkaian unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada bulan September 2019 oleh mahasiswa, pelajar, dan jurnalis Indonesia, salah satu tuntutan demonstran adalah segera mengesahkan RUU PKS.[14][15] Selama unjuk rasa undang-undang sapu jagat Indonesia pada Juli 2020, pendemo juga menuntut pengesahan RUU PKS.[16][17]
Referensi
- ^ https://nasional.tempo.co/read/1581203/breaking-news-dpr-sahkan-ruu-tpks-jadi-undang-undang/full&view=ok[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b Hidayat Adhiningrat P (10 Desember 2018). "Masih Ada Anggota DPR yang Percaya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Titipan Asing". Gatra. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Tashandra, Nabilla (7 September 2015). Permana, Fidel Ali, ed. "Komnas Perempuan: 13 Kekerasan Seksual Belum Diatur dalam UU". Kompas.com. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Linggasari, Yohannie (8 November 2015). "Komnas Perempuan Dorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual". CNN Indonesia. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Lestari, Sri (26 November 2015). ""Jangan salahkan perempuan korban kekerasan seksual"". BBC Indonesia. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ a b Primastika, Widia (8 Desember 2018). "Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Segera Disahkan". Tirto. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Widianto, Satrio (13 Mei 2016). "Komnas Perempuan Serahkan Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual". Pikiran-Rakyat.com. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Ihsanuddin (6 Juni 2016). Wedhaswary, Inggried Dwi, ed. "RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas Prioritas 2016". Kompas.com. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Sari, Haryanti Puspa (2 Juli 2020). Erdianto, Kristian, ed. "16 RUU Resmi Ditarik dari Prolegnas Prioritas, Salah Satunya RUU PKS". Kompas.com. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Mazrieva, Eva (5 Juli 2020). "Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tak Jadi Prioritas 2020?". VOA Indonesia. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ a b "Sembilan Jenis Pelecehan Seksual yang Diajukan di RUU PKS". CNN Indonesia. 19 November 2018. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Gabrillin, Abba (24 November 2017). Asril, Sabrina, ed. "Apa Saja yang Diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?". Kompas.com. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Fikrie, Muammar (6 Mei 2016). "Beramai-ramai mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual". Beritagar.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-23. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.
- ^ Yasmin, Puti (2019-09-26). "Ini 7 Tuntutan Mahasiswa yang Demo di Depan DPR". detikcom. Diakses tanggal 2019-09-26.
- ^ Edi, Purnomo. Firdaus, Randy Ferdi, ed. "7 Tuntutan Ribuan Mahasiswa dalam Aksi #GejayanMemanggil". Merdeka.com. Diakses tanggal 2019-09-26.
- ^ "Gelombang Penolakan RUU Omnibus Law Disuarakan Mahasiswa Maluku Utara". Radio Republik Indonesia. 16 July 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-28. Diakses tanggal 11 September 2020.
- ^ "GMNI Tolak RUU Omnibuslaw". BeritaKotaAmbon.com. 3 September 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-09. Diakses tanggal 11 September 2020.