Abdullah bin Ali al-Abbasi
Abdullah bin Ali al-Abbasi (bahasa Arab: عبد الله بن علي العباسي)[2] adalah seorang anggota Bani Abbasiyah, dan memiliki peran utama dalam kebangkitannya ke tampuk kekuasaan selama Revolusi Abbasiyah. Ketika menjabat sebagai gubernur Suriah, ia menegakkan kekuasaan Abbasiyah atas provinsi tersebut, melenyapkan sisa-sisa anggota keluarga Bani Umayyah dan menekan pemberontakan pendukung Bani Umayyah. Setelah kematian Abu al-Abbas As-Saffah, yang merupakan keponakannya dan khalifah pertama Abbasiyah, pada tahun 754, ia menuntut jabatan khalifah dalam melawan Abu Ja'far Al-Mansur, saudara laki-laki As-Saffah, tetapi berhasil dikalahkan dan dipenjarakan. Ia meninggal pada 764.
Abdullah bin Ali al-Abbasi | |
---|---|
Gubernur Suriah | |
Masa jabatan 750–754 | |
Penguasa monarki | As-Saffah |
Informasi pribadi | |
Meninggal | 764 |
Anak | Dua belas putra, termasuk Muhammad bin Abdullah dan Isa bin Abdullah |
Orang tua | Ali bin Abdullah bin Abbas |
Julukan | Abu Muhammad[1] |
Karier militer | |
Pertempuran/perang | Revolusi Abbasiyah |
Sunting kotak info • L • B |
Keluarga
Silsilahnya adalah Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.[2] Abdullah adalah putra dari Ali bin Abdullah bin Abbas, salah seorang ulama dari kalangan tabi'in dan ibunya berasal dari suku Bani al-Harasy.[3] Dengan demikian, ia termasuk dalam anggota keluarga Abbasiyah, dan paman dari Abu al-Abbas As-Saffah (berkuasa 750–754) dan Abu Ja'far Al-Mansur (berkuasa 754–775), dua khalifah pertama Abbasiyah.[4]
Peran dalam Revolusi Abbasiyah
Pada awal 749, di bawah pimpinan Abu Muslim al-Khurasani, pemberontakan anti-Umayyah yang dimulai di Khurasan telah terjadi di wilayah timur kekhalifahan, dan pasukan Khurasan pergi ke barat melintasi Persia ke perbatasan Irak. Pada bulan Oktober 749, As-Saffah diakui sebagai khalifah di Kufah, dan dengan cepat diterima oleh Abu Muslim dan orang-orang Kufah, sehingga mencegah keinginan pendukung Alawi (keturunan Ali bin Abi Thalib) untuk melakukan pemberontakan. Untuk memperkuat kontrol Abbasiyah, As-Saffah kemudian menunjuk anggota keluarganya sendiri untuk memimpin pasukan dengan saudaranya, Al-Mansur, yang kelak menjadi khalifah, dikirim untuk memimpin Pengepungan Wasith, sementara Abdullah dikirim untuk menghadapi khalifah Umayyah Marwan bin Muhammad (berkuasa 744–750) di Al-Jazirah.[5]
Alhasil, Abdullah memegang komando tertinggi dalam Pertempuran Zab yang kemudian pasukan Abbasiyah mengalahkan Marwan. Ia kemudian memimpin pengejaran Marwan dan pertama ke Suriah dengan merebut ibu kotanya, Damaskus, dan kemudian ke Palestina, yang memaksa Marwan untuk melarikan diri ke Mesir. Saudaranya, Shalih bin Ali mengikuti Marwan ke Mesir tempat dia ditangkap dan dieksekusi.[4][6]
Kegubernuran Suriah dan penumpasan pemberontakan
Abdullah adalah gubernur Abbasiyah pertama di Suriah dan membuktikan dirinya sebagai musuh bebuyutan Bani Umayyah serta sangat bersemangat membunuh sisa-sisa keluarga mereka. Menurut Karl Vilhelm Zetterstéen, seorang orientalis Swedia, "dia tidak memiliki cara untuk memusnahkan akar dan cabangnya. Selama tinggal di Palestina, Abdullah membunuh sekitar delapan puluh dari mereka sekaligus."[4] Begitu kejamnya pembunuhan ini, sehingga hanya satu anggota keluarga dari cucu Khalifah Hisyam bin Abdul-Malik, Abdurrahman bin Muawiyah, yang berhasil lolos dari pembunuhan dan melarikan diri ke Al-Andalus, tempat dia mendirikan pemerintahan baru dinasti Bani Umayyah.[7]
Pembunuhan yang sangat kejam dan kemenangan pasukan Khurasan segera menyulut pemberontakan suku-suku Suriah yang dipimpin oleh gubernur Jund Qinnasrin, Abu al-Ward bin al-Kautsar. Mereka bergabung dengan Abu Muhammad as-Sufyani, keturunan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan, yang ingin Kekhalifahan Umayyah berdiri kembali. Pemberontak pada awalnya berhasil mengalahkan pasukan Abbasiyah di dekat Qinnasrin yang dipimpin oleh saudara laki-laki Abdullah, Abdul Shamad bin Ali, tetapi Abdullah akhirnya memberikan kekalahan meyakinkan pada mereka di Marj al-Akhram pada akhir tahun 750. Abu al-Ward terbunuh di medan pertempuran, sementara Abu Muhammad melarikan diri ke gurun.[4][8] Tidak lama kemudian, keponakan Abu Muhammad, Al-Abbas bin Muhammad, bangkit di Aleppo, tetapi Al-Mansur yang ketika itu memerintah Al-Jazirah, segera mengirim pasukan untuk memadamkan pemberontakan Al-Abbas sebelum Abdullah tiba. Abdullah kemudian berbaris ke benteng perbatasan Sumaysat, tempat para pendukung Umayyah berkumpul di bawah kepemimpinan Ishaq bin Muslim al-Uqaili.[9] Dalam peristiwa tersebut, penyelesaian yang dirundingkan antara Ishaq dan Al-Mansur disepakati, dan banyak pemimpin pro-Umayyah kemudian diterima ke dalam jajaran Bani Abbasiyah.[10] Pemberontakan lainnya yang dipimpin oleh Aban bin Muawiyah, cucu dari Hisyam bin Abdul-Malik, meletus pada musim panas tahun 751 di dekat Sumaysat dan memaksa Abdullah menghentikan serangan ke wilayah Bizantium untuk menumpasnya. Pendukung Umayyah lainnya, Abdul Shamad bin Muhammad bin Al-Hajjaj, cucu Al-Hajjaj bin Yusuf, berhasil lolos dari kekalahan dan ditangkap hingga tahun 755.[11]
Menuntut kekhalifahan
Keturunan
Abdullah bin Ali tercatat memiliki dua belas putra, di antaranya adalah Muhammad bin Abdullah yang merupakan pengasuh Al-Mahdi. Ia menikah dengan Raithah binti Abi al-Abbas As-Saffah, lalu Raithah dengan Al-Mahdi. Abdullah bin Ali mempunyai banyak keturunan dan tidak ada yang terkenal kecuali keturunan dari putranya, Isa bin Abdullah, yang bernama Harun bin Al-Abbas bin Isa bin Abdullah bin Ali yang merupakan perawi hadis dan meninggal di Madinah pada tahun 275 H (888/89 M).[12] Keturunan lainnya adalah Abu Ali Muhammad bin Isa,[a] yang dipanggil al-Bayadhi,[13] juga merupakan seorang perawi hadis.[12] Ia dibunuh oleh Qaramitah pada tahun 294 H (907 M).[13]
Catatan
Referensi
- ^ Bahramian 2015.
- ^ a b Ibnu Syakir al-Ketbi. "Kitab Fawat al-Wafayat - Abdullah bin Ali al-Abbasi - Al-Maktaba al-Shamela". shamela.ws (dalam bahasa Arab). hlm. 192. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-10. Diakses tanggal 2023-07-08.
- ^ Mush'ab az-Zubairi. "Nasab Quraisy". islamport.com (dalam bahasa Arab). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-04. Diakses tanggal 2022-07-04.
- ^ a b c d Zetterstéen 1987, hlm. 22–23.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 125–128.
- ^ Grohmann & Kennedy 1995, hlm. 985.
- ^ Kennedy 2004, hlm. 128.
- ^ Cobb 2001, hlm. 46–48.
- ^ Cobb 2001, hlm. 48–49.
- ^ Kennedy 1986, hlm. 49–50.
- ^ Cobb 2001, hlm. 49.
- ^ a b Ibnu Hazm. "Jamharah Ansab Al-Arab". islamport.com (dalam bahasa Arab). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-04. Diakses tanggal 2022-07-04.
- ^ a b c (Arab) The Hadith Transmitters Encyclopedia - Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Abdullah bin Isa bin Abdullah bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas bin Abdul Muthalib Abu Ali al-Hasyimi al-Bayadhi Diarsipkan 2020-11-24 di Wayback Machine.
Sumber
- Cobb, Paul M. (2001). White Banners: Contention in ‘Abbāsid Syria, 750–880. Albany, NY: State University of New York Press. ISBN 0-7914-4880-0.
- Grohmann, Adolph; Kennedy, Hugh (1995). "Ṣāliḥ b. ʿAlī" . Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Lecomte, G. Encyclopaedia of Islam. Volume VIII: Ned–Sam (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 985. ISBN 978-90-04-09834-3.
- Kennedy, Hugh N. (1986). The Early Abbasid Caliphate: A Political History. London and Sydney: Croom Helm. ISBN 0-7099-3115-8.
- Kennedy, Hugh (2023). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-dua). Abingdon, Oxon and New York: Routledge. ISBN 978-0-367-36690-2.
- Zetterstéen, K.V. (1987). "ʿAbd Allāh b. ʿAlī". Dalam Houtsma, Martijn Theodoor. E.J. Brill's first encyclopaedia of Islam, 1913–1936, Volume I: A–Bābā Beg. Leiden: BRILL. hlm. 22–23. ISBN 90-04-08265-4.
Bacaan lanjutan
- Bahramian, Ali (2015). "ʿAbd Allāh b. ʿAlī" . Dalam Madelung, Wilferd; Daftary, Farhad. Encyclopaedia Islamica Online. Brill Online. ISSN 1875-9831.