Pehkulon, Papar, Kediri

desa di Kabupaten Kediri, Jawa Timur
Revisi sejak 12 Juni 2023 05.57 oleh AABot (bicara | kontrib) (fix)


Pehkulon adalah sebuah desa di kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Terdiri dari dua dusun, Pehkulon sendiri dan Kemiri yang terletak di sebelah selatannya.

Pehkulon
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenKediri
KecamatanPapar
Kode pos
64153
Kode Kemendagri35.06.14.2004 Edit nilai pada Wikidata
Luas-
Jumlah penduduk2.583
Kepadatan-
Peta
PetaKoordinat: 7°43′52″S 112°4′41″E / 7.73111°S 112.07806°E / -7.73111; 112.07806

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Kondisi Sosial Politik

Pedang peperangan terus mengoyak ketenangan pulau Jawa setelah mangkatnya Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1645 M.[1] Pemerintahan pulau Jawa di selimuti oleh perebutan kekuasaan dan intrik yang berkepanjangan seiring dengan mulai menguatnya pengaruh VOC Belanda di pusat kekuasaan Jawa.

Pemberontakan demi pemberontakan, mulai Trunojoyo yang berpusat di Kediri pada antara tahun 1674-1680 M[2] dan di lanjutkan pemberontakan Untung Suropati antara tahun 1684-1706 M[3], dalam pada itu pada tahun 1703 sepeninggal Sri Susuhunan Amangkurat II, terjadi perang suksesi Jawa II (1704-1708), yaitu perang perebutan kekuasaan Kartasura antara Amangkurat III (Sunan Mas) dengan pamannya yaitu, Pangeran Puger yang menyebabkan perebutan kekuasaan antar Pangeran Mataram yang melahirkan Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran menyebabkan penduduk Mataram sangat merasakan penderitaan akibat perang yang berkepanjangan, perang antar saudara dan musuh yang justru malah memporak porandakan kehidupan mereka. Pada tahun 1733 Pakubuwana II mengadakan perbaikan perjanjian dengan VOC dengan membayar 10.000 real setiap tahun selama dua puluh dua tahun untuk menutup tunggakan dan bunganya, 15.600 real setiap tahun untuk menbiayai garnisun VOC di Kartasura 1000 Koyan (1.700 metrik ton) beras setiap tahun selama lima puluh tahun. Hal ini berlangsung sampai putusnya hubungannya dengan VOC pada tahun 1741. Hal tersebut menyebabkan perpindahan penduduk secara besar-besaran guna melepaskan diri dari beban yang berat tersebut.[4]

Sementara itu pasca perjanjian Giyanti[5] Raden Prawirosentiko salah seorang bangsawan Surakarta yang menjadi kakak ipar Sultan Hamengkubuwono I di angkat oleh Sultan sebagai Bupati Wedana di Madiun, dengan nama baru Ronggo Prawirodirjo menggantikan bupati wedono Mangkudipuro.[6] Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan.

Pada tahun (1797-1810) cucunya yang bernama Ronggo Prawirodirjo III menjabat Bupati Madiun ke 16 beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta, atas kehendak Belanda di Kertosono (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR Maduretno. Beliau mempunyai penasehat keagamaan yang bernama Kyai Bilawi yang merupakan putra dari Kyai Muhammad bin Umar Banjarsari Madiun. Kyai Bilawi ini juga di makamkan di Pemakaman Giripurno Gunung Bancak, Magetan.

Pada tanggal 1 Januari tahun 1800 VOC dibubarkan dan kekuasaan atau kendali atas daerah-daerah jajahan diambil oleh Pemerintah Belanda, keadaan Kerajaan Jawa diperparah akibat pergantian VOC ke tangan pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1808 M Hindia Belanda membuat jalan raya dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Besuki) tujuannya sebagai pos pertahanan untuk menghadapi Inggris. Selain itu Pemerintahan Hindia Belanda juga menjadikan para Bupati di pesisir Jawa sebagai pegawai negeri dengan mendapatkan gaji tetap dari pemerintah Hindia Belanda (1808 M). Pada tahun 1811 M Hindia Belanda tidak mau membayar uang sewa lagi atas daerah pesisir kepada Kerajaan. Hal inilah yang menjadi kerisauan kerajaan karena pendapatannya akan berkurang. Alasan Hindia Belanda melakukan kebijakan ini agar dapat menutupi kerugian dan hutang VOC yang besar pada pemerintahan Kerajaan Belanda dan mengefisienkan administrasi pemerintahan.

Situasi politik yang tidak menentu di perparah dengan adanya perang Diponegoro yang meliputi sebagian besar wilayah kerajaan Mataram di Jawa seperti Semarang, Kedu, Bagelan, Tegal, Pati, Pekalongan, Pacitan, Banyumas, Rembang, Bojonegoro, dan Kediri. Peperangan yang terjadi antara tahun 1825-1830 ini menelan korban tidak kurang 15000 tentara dan menghabiskan biaya lebih dari 20 Juta Gulden. Sementara pada penduduk pribumi hampir 200.000 ribu hilang atau meninggal.[7]

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan. Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditas ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.

Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditas ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.[8]

Pabrik gula mulai banyak didirikan untuk mendukung kebijakan ekonomi tersebut di daerah-daerah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pabrik-pabrik gula yang berproduksi khususnya di Pulau Jawa. Selain itu, banyaknya tenaga kerja dari penduduk sekitar dan bahan baku tebu yang diambil dari lahan perkebunan penduduk sekitar pabrik dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat serta mendorong majunya perekonomian di daerah tersebut. Namun, dampak langsung dari pendirian pabrik tersebut kebutuhan akan persediaan kayu yang cukup besar, sehingga menyebabkan hutan lenyap, lahan yang sedianya subur dan dipergunakan untuk menghasilkan beras, ditanami tebu dan banyak buruh yang diambil dari penduduk sekitar dipekerjakan secara paksa.[9] Pendirian pabrik ini menyebar di seluruh pelosok pulau Jawa termasuk di daerah Kediri, ada pabrik gula Meritjan yang didirikan pada tahun 1809, dan pabrik gula Minggiran pada tahun 1831.[10]

Pada tahun 1835 M wilayah mancanagara (diluar karesidenan Surakarta dan Yogyakarta) dijadikan pemerintah Hindia Belanda sebagai lahan tanam paksa yang berlangsung hampir 40 tahun. Lahan rakyat yang diwajibkan untuk tanam paksa hanya 1/5 dari miliknya tapi pada prateknya 1/2 lebih lahan digunakan. Lahan rakyat itu ditanami produk-produk pertanian yang mempunyai harga jual tinggi. Sejak saat itu diperkenalkan produk pertanian yang baru di Jawa. Diantaranya adalah tebu, nila dan lada.

Tanam paksa berakhir sejak dibuatnya UU Agraria tahun 1870M. Sejak saat itulah muncul privatisasi dan liberalisasi di Hindia Belanda. Para petani tidak lagi diwajibkan bercocok tanam secara paksa tetapi mulai menjadi buruh kontrak ataupun menyewakan lahan tanahnya bagi perusahaan swasta asing. Buruh kontrak tersebut dipekerjakan pada perkebunan dan pabrik milik perusahaan asing. Sejak saat itu diperkenalkan produk perkebunan yang baru di Jawa. Dan sejak saat itulah kapitalisasi dan industrialisasi hadir di Pulau Jawa.[11]

Kesenjangan sosial antara golongan priyayi (bangsawan-red) dengan rakyat semakin besar. Sebaliknya pada tahun 1840 M perdagangan dan pelayaran Orang Jawa mulai marak kembali karena pemerintah Hindia Belanda mulai memberikan keluasaan. Dibuktikan dengan adanya pelayaran Orang Jawa yang naik haji ke Mekah meningkat drastis sejak separuh kedua abad ke 19M. Golongan yang naik haji terutama adalah golongan pedagang karena meningkatnya perekonomian terutama perdagangan pada paruh abad ke-19M.

B. Awal Kedatangan

Pada saat itu, sekitar paruh abad 18 M, sebuah rombongan yang terdiri dari keluarga prajurit prajurit Mataram yang telah lelah karena harus di paksa berperang melawan saudaranya sendiri, dengan di pimpin oleh seorang pemuda mantan prajurit Mataram yang cakap, yang berasal dari Bagelen Purworejo Jawa Tengah yang juga berasal dari keturunan Demak melakukan perjalanan ke arah timur, mencari tempat baru untuk meneruskan kehidupannya sempat tersedak oleh peperangan, dengan penuh harapan mereka menemukan suatu daerah yang masih belum berpenghuni.

Daerah tersebut arah timur Desa Minggiran, terbentang daerah yang luas memanjang, agak becek dan berair, karena di aliri tiga sungai, sebelah utara paling besar, sungai Srinjing atau mereka sebut Kali Pancar Dermo yang mengalir dari timur lurus bermuara ke sungai Berantas, kemudian yang tengah di sebut sungai Toyoaning atau Kali Lanang, yang mengalir dari daerah Kayen Kidul dan Mukuh dan yang paling selatan Sungai Patusan yang berasal dari Mbolo Kalipang dan sekitarnya. daerah tersebut terhampar, menantang mereka dan memberi harapan baru bagi kehidupan yang akan datang.

Di sebelah Selatan agak ke Timur mereka menemukan sebuah wilayah dengan banyak tanaman Kemiri. Ada sebuah situs yang di percaya peninggalan Kerajaan Kediri, situs peninggalan Dewi Sekartaji Kediri ini mereka sebut situs Nyai Rondo Kuning yang sekarang setelah berpenghuni terletak sebelah utara dari pemukiman penduduk. Mereka berpencar ke arah timur sampai batas Desa Semambung, daerah yang sekarang di sebut Gondang dan Jeblok. Untuk menandai wilayah baru mereka ini pemimpin mereka yang bernama samaran Joyo Rejo mendirikan satu lingga (Batu Persagi panjang) sebagai titik penanda wilayah yang akhirnya disebut situs Watu Jagak.

Semua wilayah tersebut masuk wilayah Kampung besar yang mereka beri nama Kreco dengan tulisan Kleco karena banyaknya hewan berjenis siput yang bernama kreco yang ada disekitar sungai-sungai yang tersebut di atas. Desa Kreco atau Kleco ini berkembang pesat karena kesuburan tempatnya, dan segera menarik para pendatang untuk ikut brmukim di perkampungan baru tersebut. Para pendatang lebih memilih wilayah sebelah timur karena lebih kering dan relatif lebih aman dari banjir.

Mereka mulai membuat jalan disebelah selatan situs Watu Jagak. Jalan utama ini membentang dari sebelah timur wilayah yang sekarang menjadi lokasi Masjid Ar-Rosyad ke arah barat sampai batas perempatan jalan rumah Pak Sumiran (almarhum mbah Randung) yang sekarang di buat jalan Paving Block. Kemudian jalan selanjutnya adalah selatan sungai Kali Lanang yang membentang dari arah depan rumah Pak Jogo Tirto (Mantan) ke timur arah Mushola at-Taubat. Penduduk menempati wilayah-wilayah sekitar jalan utama desa tersebut.

Setelah tata letak Perkampungan selesai, mbah Joyorejo berkenan untuk kembali ke daerah asalnya, masyarakat mengharapkan seorang pemimpin pengganti mbah Joyorejo dan beliau memilih salah seorang dari daerah Logujek Papar yang bernama Bulawi.[12]

MASA PEMERINTAHAN DESA KRECO

(Sebelum Menjadi Pehkulon-Pehwetan)

A. Masa Perintisan Desa dan Perkampungan (Babad Desa)

Tidak ada sumber tertulis atau peninggalan yang otentik selain dari sumber cerita lisan para sesepuh Desa bagaimana awal terbentuknya perkampungan atau Desa Pehkulon. Hanya seperti yang di ceritakan pada masa awal kedatangan bahwa ada sekelompok orang dari Mataram yang datang di pimpin oleh seorang yang bernama Joyo Rejo yang konon berasal dari Bagelen Purworejo atau menurut cerita yang lain berasal dari Demak.[13] Prakiraan tahun kedatangannya hanya berdasarkan perkiraan masa-masa sebelum mbah Bulawi yaitu sekitar paruh pertama dari tahun 1700 an.

Bagelen sebagai daerah pertanian paling produktif karena wilayahnya yang dilewati empat sungai besar menjadikannya sebagai wilayah tanah pemasukan pajak untuk kas keraton sebagai gaji untuk para pejabat keraton sejak zaman Sultan Agung.[14] Bagelen yang dekat pusat kerajaan Mataram juga mempunyai prajurit-prajurit yang cakap yang sejak zaman Kesultanan Demak telah ikut andil sebagai salah satu pasukan utama.[15] Penduduknya terkenal sebagai para petani ahli yang menguasai berbagai teknik pertanian. Pasca perjanjian Giyanti pada tahun 1755 wilayah ini menjadi wilayah yang tumpang tindih antara wilayah kesunanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta yang kesemuanya menerapkan beban pajak yang sangat memberatkan rakyat.[16] Karena himpitan beban pajak serta ketidak stabilan politik pasca perjanjian Giyanti di daerah Bagelen tersebut sangat memungkinkan terjadi perpindahan penduduk yang cukup besar ke luar daerah.

Dengan latar belakang seperti ini kemungkinan kedatangan para penduduk awal yang di pimpin oleh mbah Joyo rejo sangat besar terjadi setelah perjanjian Giyanti tahun 1755. Latar belakang militer serta kemampuan teknik pertanian yang sudah cukup baik sangat memungkinkan mereka untuk mengatur dan mengolah tanah baru yang mereka buka.

Peran mbah Joyo Rejo dalam proses babad dan penataan desa adalah sebagai pemimpin sementara mereka. Setelah dirasa cukup beliau dikatakan kembali atau pergi lagi dari wilayah baru ini, dan mengangkat seorang pengganti yang sangat mungkin berasal dari kerabat atau daerah yang sama dengan beliau, Bagelen.[17] Nama Joyo Rejo jelas merupakan nama panggilan yang bukan merupakan nama asli dari beliau. Nama ini terdiri dari dua suku kata “Joyo” yang berarti kemenangan dan “Rejo” yang berarti ramai. Ini mengandung unsur harapan yang berkaitan erat sebagai tugas seorang tetua yang membuka lahan permukiman baru. Nama Joyo Rejo merupakan perwakilan dari semua harapan dan doa bagi para penduduk yang baru menempati desa tersebut.[18] Bisa jadi nama ini diberikan oleh generasi setelahnya sebagai nama samaran dan memberi penanda. Hal ini menarik karena nama asli lurah desa pertama (Bulawi) bisa diketahui sementara justru nama pendahulunya cukup Joyo Rejo. Asumsi penulis beliau adalah orang penting yang menyembunyikan identitas aslinya karena faktor politik.

Tugu berbentuk persagi panjang dari batu yang dikenal oleh orang-orang sebagai situs Watu Jagak sangat berkaitan erat dengan awal mula pembukaan wilayah perkampungan ini. Ada berbagai kemungkinan apa dan bagaimana fungsi dari watu jagak ini. Kemungkinan pertama watu jagak ini di buat oleh mbah Joyo sebagai penanda Desa atau semacam prasasti. Kemungkinan kedua watu jagak ini sudah ada sebelum orang-orang datang yang mungkin peninggalan purba atau peninggalan masa Hindu yang memang banyak berada di wilayah Kediri yang kemudian di alih fungsikan sebagai tugu penanda desa. Hal ini memerlukan penelitian arkeologis lebih lanjut. Tetapi jelas menurut semua orang Watu Jagak ini bukan merupakan kuburan atau makam dari mbah Joyo Rejo.

B. Masa Pemerintahan Mbah Bulawi (1762-1802 M)[19]

Tidak ada keterangan tertulis dari masa ini kecuali hanya cerita lisan bahwa beliau berasal dari Logujek Papar Kediri, yang di tahbiskan menjadi pemimpin Desa untuk menggantikan Mbah Joyo Rejo. Dari asumsi ini, melihat analisis Rickfles bahwa terjadi gelombang perpindahan penduduk besar-besaran dari Jawa tengah karena tekanan ekonomi akibat kebijakan politik[20], bisa jadi beliau berasal dari keluarga prajurit Mataram yang desersi atau lari mengungsi ke wilayah-wilayah yang relatif lebih aman dan subur seperti tepian sungai Brantas. Wilayah Papar mungkin menjadi wilayah lebih dahulu di datangi oleh para pendatang tersebut di banding wilayah sebelah selatan. Dari kelompok-kelompok awal pendatang baru dari Mataram ini, yang tinggal sepanjang tepian sungai Brantas sebelah timur, dimungkinkan berasal dari kelompok-kelompok yang sama yaitu mereka yang lari dari tekanan politik atau ekonomi dari daerah Mataram. Dari jaringan inilah yang memungkinkan terjadinya penunjukkan mbah Bulawi oleh mbah Joyo sebagai pemimpin Desa sebagai pengganti beliau. Nama Bulawi bisa jadi berasal dari Baidhowi nama seorang tokoh agama perintis agama Islam yang ada di Bagelen.[21]

Penunjukkan mbah Bulawi sebagai pemimpin Desa pada saat itu mengisyaratkan bahwa para penduduk pendatang tersebut belum ada yang siap atau memang terdiri dari kalangan masyarakat yang memerlukan pimpinan orang yang cukup kuat secara pribadi selain yang pasti berasal dari keturunan yang lebih tinggi derajat sosialnya sebagaimana tradisi kepemimpinan pada saat itu. Dan mbah Bulawi dianggap sosok yang tepat untuk di jadikan pemimpin mereka di mungkinkan karena berasal dari jaringan yang sama dan jelas telah dikenal dengan baik sebelumnya oleh mereka.

Rentang waktu yang lama yakni sekitar 40 tahun menurut tradisi lisan dari masa pemerintahan mbah Bulawi ini, menambah kemungkinan pertambahan penduduk yang semakin padat ditambah situasi politik dari pusat-pusat pemerintahan Jawa (Mataram) yang justru semakin tidak kondusif bagi rakyat. Sebagai Lurah beliau diberi tempat di sebelah selatan Kali Lanang (ketika masih belum disatukan dengan sungai Srinjing) di pekarangan yang sekarang menjadi rumah Mbokdhe Suparmi (Almarhumah) sampai timur batas pekarangan mbah Wiji.

Belum diketahui dengan pasti bagaimana keadaan pemerintahan pada saat itu, serta apakah beliau mempunyai keturunan serta siapa saja keturunannya.[22]

C. Masa Pemerintahan Mbah Prawiro Sentiko (1802-1847)

D. Masa Pemerintahan Mbah Wongso Semito (1847-1879)


[1] http://wiki-indonesia.club/wiki/Sultan_Agung_dari_Mataram, di akses tanggal 12 Pebruari 2014

[2] http://wiki-indonesia.club/wiki/Trunojoyo, di akses tanggal 12 Pebruari 2014

[3] http://wiki-indonesia.club/wiki/Untung_Suropati, di akses tanggal 12 Pebruari 2014

[4] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Mpdern, diterjemahkan Dharmono Hardjowidjono, (Gadjah Mada University Press, November 2007), h. 136.

[5] Pada Hari Kamis, 13 Pebruari 1755.

[6] Menurut catatan Gubernur Pesisir Jawa Bagian Utara, W.H. Van Ossenberch tanggal 13 Mei 1765.

[7] http://wiki-indonesia.club/wiki/Diponegoro, diakses tanggal 12 Desember 2014

[8] Wikipedia, culturstelseel, diakses 10 Desember 2014

[9] Kano, H., Husken, F. & Surjo, D. 1996. Di Bawah Asap Pabrik Gula. Bandung: Akatiga dan Gadjah Mada University Press, hlm. 50-51.

[10] Geillustreed Weekblad Voor Nederland en Kolonien – 10 Jan 1923, diakses dari blog.

[11] History of Java, h. 71-74

[12] Wawancara dengan mbah Mat Ya’kub (Mantan Kepala Dusun Pehkulon) 87 Tahun, pada hari Sabtu, 21 Desember 2013 yang menerima cerita ini dari Mbah Carik Mantan pada tahun 1957.

[13] Keterangan dari mbah Wo Mat Ya’kub, bahwa beliau memerintah selama 40 tahun. Keterangan tahun yang ada pada urutan Lurah ini sampai Lurah ke 8 yaitu mbah Sastrorejo Wolo adalah berdasarkan tahun menjabat yang di terangkan oleh mbah Wo Mat Ya’kub. Wawancara pada tanggal 21 Desember 2013.

[14] Terdapat dalam naskah no.1 dalam arsip sebelum Perjanjian Giyanti tentang pembagian wilayah kerajaan, struktur birokrasi, dan nama kesatuan prajurit Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma(1613-1645). S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-874. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010, h.1.

[15]Radix Penadi, Menemukan Kembali Jati Diri Bagelen dalam Rangka Mencari Hari Jadi Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembangan Budaya, 1993, h. 26-28.

[16]Antara lain pajak tanah, Takker turun, Kirjaji (Kirgaji), Pacumplang, Uang bekti, Pasumbang, Pajindralan, Peniti, Bijigar, Uborompo, Pakuning, Pairing,dan Pundutan. Dalam P.M.Laksono, Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih-Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985 h.79-80.

[17] Keterangan dari mbah Wo Mat Ya’kub.

[18] Sahid teguh widodo dkk, Nama Orang Jawa: Kepelbagaian Unsur dan Maknanya, Sari -International Journal of the Malay World and Civilisation 28 (2) 2010: 259-277.

[19] Keterangan dari mbah Wo Mat Ya’kub..

[20] Lihat M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Mpdern, h. 136.

[21]Kyai Baidhowi dikenal sebagai perintis agama Islam pertama di Bagelen yang mendirikan masjid pertama di Bagelen sebagai hadiah dari Sultan Mataram, tahun 1679 M, lihat Musafirul, Huda (2012) Perlawanan Raden Adipati Cokronegoro Terhadap Pasukan Pangeran Diponegoro Di Bagelen (1825-1830). S1 Thesis, Universitas Negeri Yogyakarta. H. 30.

[22] Mbah Wo Mat Ya’kub hanya mengatakan kemungkinan besar pak Sujak Ngalim adalah keturunan beliau tetapi kurang pasti. Pak Ihsan Rosyadi (putra pak Sujak Ngalim) ketika di konfirmasi oleh penulis juga tidak bisa memberikan kepastian tersebut.