Ular lanang

spesies ular berbisa
Revisi sejak 15 September 2009 11.46 oleh Kembangraps (bicara | kontrib) (memindahkan Ular Anang ke Ular anang: bukan nama diri)
Ular Anang
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Subordo:
Famili:
Genus:
Ophiophagus
Spesies:
O. hannah
Nama binomial
Ophiophagus hannah
Wilayah sebaran (warna merah)

Ular anang atau ular lanang (Ophiophagus hannah) adalah ular berbisa terpanjang di dunia dengan panjang tubuh keseluruhan mencapai sekitar 5,7 m.[1] [2] Akan tetapi panjang hewan dewasa pada umumnya hanya sekitar 3 – 4,5 m saja.[3] Ular ini ditakuti orang karena bisanya yang mematikan dan sifat-sifatnya yang terkenal agresif, meskipun banyak catatan yang menunjukkan perilaku yang sebaliknya.

Ular anang juga dikenal dengan beberapa nama lokal seperti oray totog (Sd.), ular tedung abu, tedung selor (Kal.) dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut king cobra atau hamadryad.

Pengenalan

Ular yang bertubuh panjang dan ramping. Sebuah laporan dari Singapura mencatat seekor ular anang sepanjang hampir 4,8 m memiliki berat tubuh hingga 12 kg.[4] Ular jantan cenderung lebih panjang dan besar jika dibandingkan dengan yang betina.

 
Susunan perisai (sisik-sisik besar) di kepala ular anang

Coklat kekuningan, coklat zaitun, sampai keabu-abuan di bagian atas (dorsal) tubuh, dengan bagian kepala yang cenderung berwarna lebih terang. Sisik-sisik bertepi gelap atau kehitaman, nampak jelas di bagian kepala. Sisik-sisik bawah tubuh (ventral) berwarna keabu-abuan atau kecoklatan, kecuali dada dan leher berwarna kuning cerah atau krem dengan pola belang hitam tak teratur, yang nampak jelas apabila ular ini mengangkat dan membentangkan lehernya. Ular yang masih kecil berwarna lebih gelap atau kehitaman, dengan bintik-bintik putih atau kuning yang membentuk belang (garis) melintang, belang ini masih nampak samar-samar pada sebagian individu dewasa. Anak ular ini berkepala hitam dengan empat garis putih melintang di atasnya.[3][5]

Kepalanya besar dengan moncong yang relatif pendek dan tumpul. Di belakang perisai parietal (ubun-ubun), yang pada ular lain biasanya berupa sisik-sisik kecil, pada ular anang ditempati oleh sepasang perisai oksipital yang besar. Perisai labial (bibir) atas 7 buah, no-3 dan -4 menyentuh mata. Pupil mata bundar dan besar. Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 15 deret di tengah badan. Sisik-sisik ventral (perut) 215–262 buah, sisik anal tunggal, sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 80–120 buah; yang sebelah depan tunggal dan di bagian belakang berpasangan.[3]

Jenis yang serupa

Ular-sapi besar (Zaocys carinatus) memiliki bentuk tubuh dan warna yang mirip ular anang. Di lapangan, kedua macam ular ini mudah terkelirukan, kecuali apabila ular anang tengah menegakkan lehernya.

Penyebaran, habitat dan kebiasaan

Ular anang menyebar mulai dari India di barat, Bhutan, Bangladesh, Burma, Kamboja, Cina selatan, Laos, Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya, Kepulauan Andaman, Indonesia dan Filipina. Di Indonesia ular ini ditemukan di Sumatra, Kep. Mentawai, Kep. Riau, Bangka, Borneo, Jawa, Bali, dan Sulawesi.[6]

Ular anang didapati mulai dari dekat pantai hingga ketinggian sekurang-kurangnya 1.800 m dpl. Ular ini menghuni aneka habitat, mulai dari hutan dataran rendah, rawa-rawa, wilayah semak belukar, hutan pegunungan, lahan pertanian, ladang tua, perkebunan, persawahan, dan lingkungan pemukiman. Ular yang lincah dan gesit ini biasa bersembunyi di bawah lindungan semak yang padat, lubang-lubang di akar atau batang pohon, lubang tanah, di bawah tumpukan batu, atau di rekahan karang.[2]

Mangsa

Sebagaimana namanya (Ophiophagus berarti pemakan ular), mangsa utamanya adalah jenis-jenis ular yang berukuran relatif besar, seperti sanca (Python) atau ular tikus (Ptyas).[2] Juga memangsa ular-ular yang berbisa lainnya dan kadal berukuran besar seperti halnya biawak. Ular anang yang dikurung mau juga memakan daging atau tikus mati yang ditaruh di kandang ular atau digosokkan ke tubuh ular agar berbau seperti ular.[7] Setelah menelan mangsa yang besar, ular anang dapat hidup beberapa bulan lamanya tanpa makan lagi. Ini dikarenakan laju metabolismenya berlangsung lambat.[1]

Ular anang berburu dengan mengandalkan penglihatan dan penciumannya. Sebagaimana ular-ular pada umumnya, ular anang membaui udara dengan menggunakan lidahnya yang bercabang, yang menangkap partikel-partikel bau di udara dan membawanya ke reseptor khusus di langit-langit mulutnya. Reseptor yang sensitif terhadap bau ini disebut organ Jacobson.[1] Jika tercium bau mangsanya, ular ini akan menggetarkan lidahnya dan menariknya keluar masuk untuk memperkirakan arah dan letak mangsanya itu. Matanya yang tajam (ular anang dapat melihat mangsanya dari jarak sejauh 100 m), indera perasa getaran di tubuhnya yang melata di tanah, dan naluri serta kecerdasannya sangat membantu untuk menemukan mangsanya.[8] Ular ini dapat bergerak cepat di atas tanah dan memanjat pohon dengan sama baiknya. Mangsanya, jika perlu, dikejarnya hingga di atas pohon.[9]

Ular anang berburu baik pada siang maupun malam, akan tetapi jarang terlihat aktif di malam hari. Kebanyakan herpetologis menganggapnya sebagai hewan diurnal.[1] Sebagaimana ular kobra yang lain, apabila merasa terancam dan tersudut ular anang akan menegakkan lehernya serta mengembangkan tulang rusuknya sehingga kurang lebih sepertiga bagian muka tubuhnya berdiri tegak dan memipih serupa spatula.[7] Sekaligus, posisi ini akan menampakkan warna kuning dan coret hitam di dadanya, sebagai peringatan bagi musuhnya. Melihat postur tubuhnya ini dan gerakannya yang gesit tangkas, orang umumnya merasa takut dan menganggapnya sebagai ular yang agresif serta berbahaya, yang dapat menyerang setiap saat. Pandangan ini, menurut para herpetolog, terlalu dilebih-lebihkan dan hanya benar sebagian. [3]

Kebanyakan ular anang, seperti umumnya hewan, takut terhadap manusia dan berusaha menghindarinya. Ular ini juga tidak seketika menyerang manusia yang ditemuinya, tanpa ada provokasi sebelumnya. Kenyataan bahwa ular ini cukup banyak yang ditemui di sekitar permukiman manusia, sementara jarang orang yang tergigit olehnya, menunjukkan bahwa ular anang tak seagresif seperti yang disangka.[3][9][7] Walaupun demikian, kewaspadaan tinggi tetap diperlukan apabila menghadapi ular ini. Ular anang dikenal sebagai ular yang amat berbisa, yang gigitannya dapat membunuh manusia. Seperti juga ular-ular lainnya, temperamen ular ini sukar diduga. Beberapa individunya bisa jadi lebih agresif daripada yang lainnya.[3] Demikian pula, pada masa-masa tertentu seperti pada saat menjaga telur-telurnya, ular ini dapat berubah menjadi lebih sensitif dan agresif. Telah dilaporkan adanya serangan-serangan ular anang terhadap orang yang melintas terlalu dekat ke sarangnya.[7]

Perbiakan

Ular anang bertelur sekitar 20–50 butir, yang diletakkannya di dalam sebuah sarang penetasan terbuat dari timbunan serasah dedaunan.[3][2][7] Sarang ini terdiri dari dua ruangan, di mana ruang yang bawah digunakan untuk meletakkan telur dan ruang yang atas dihuni oleh induk betina yang menjaga telur-telur itu hingga menetas.[3][9][7] Di India, ular ini bertelur sekitar bulan April hingga Juli. Telur-telurnya berukuran sekitar 59 x 34 mm, yang sedikit bertambah besar dan berat selama masa inkubasi. Telur-telur ini menetas setelah 71–80 hari, dan anak-anak ular yang keluar memiliki panjang tubuh antara 50–52 cm.[7]

Bisa ular anang

Bisa ular anang terutama tersusun dari protein dan polipeptida, yang dihasilkan dari kelenjar ludah yang telah berubah fungsi, yang terletak di belakang mata. Tatkala menggigit mangsanya, bisa ini tersalur melalui taring sepanjang sekitar 8–10 mm yang menancap di daging mangsanya. Meskipun racun ini dianggap tak sekuat bisa beberapa ular yang lain, ular anang sanggup mengeluarkan jumlah bisa yang jauh lebih besar dari ular-ular lainnya.[10] Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa satu kali gigitan ular ini dapat mengeluarkan sejumlah bisa yang cukup untuk membunuh 10 orang.[7] Beruntunglah bahwa kebanyakan gigitan ular ini pada manusia hanya memasukkan bisa dalam jumlah yang tidak fatal.[11][12]

Bisa ular ini bersifat neurotoksin, yakni menyerang sistem saraf korbannya, serta dengan cepat menimbulkan rasa sakit yang amat sangat, pandangan yang mengabur, vertigo, dan kelumpuhan otot. Pada saat-saat berikutnya, korban akan mengalami kegagalan sistem kardiovaskular, dan selanjutnya kematian dapat timbul akibat kelumpuhan sistem pernafasan.[10] Apabila bisa telah masuk dalam jumlah yang cukup, kematian hanya dapat dicegah dengan penanganan serta pemberian antivenin (antibisa) yang tepat dan cepat.[9]

Ular anang dan manusia

Meskipun ular anang memiliki bisa yang mematikan dan kehadirannya ditakuti banyak orang, ia sebenarnya adalah hewan pemalu yang sedapat-dapatnya menghindari pertemuan dengan manusia. [3][13]

Di wilayah sebarannya, masih ada beberapa jenis ular berbisa lainnya yang gigitannya lebih fatal dan lebih banyak memakan korban, di antaranya adalah ular kobra kaca-tunggal (Naja kaouthia), bandotan puspa (Vipera russelli), dan ular welang (Bungarus fasciatus).[14]

Di Burma, ular anang kerap digunakan dalam pertunjukan pawang ular perempuan. Wanita pawang ular itu biasanya memiliki tato yang dibuat menggunakan tinta bercampur bisa ular, yang diyakini akan melindungi dirinya dari ularnya itu. Di akhir pertunjukannya, secepat kilat si pawang akan mencium ubun-ubun ular berbisa yang tengah menegakkan leher dan tudungnya ini.[13]

Kini populasi ular anang di banyak tempat telah terganggu oleh kerusakan habitatnya, terutama oleh hilangnya hutan-hutan yang biasa dihuninya. Meskipun ular ini oleh IUCN belum dimasukkan ke dalam hewan yang terancam kepunahan, CITES telah memandang perlu untuk mengawasi perdagangannya dan memasukkannya ke dalam Apendiks II.[15]


Rujukan

  1. ^ a b c d Mehrtens, John (1987). Living Snakes of the World. New York: Sterling. ISBN 0806964618. 
  2. ^ a b c d David, P and G. Vogel. 1996. The Snakes of Sumatra. An annotated checklist and key with natural history. Edition Chimaira. Frankfurt. p.148-149. ISBN 3-930612-08-9
  3. ^ a b c d e f g h i Tweedie, M.W.F. 1983. The Snakes of Malaya. The Singapore National Printers. Singapore. p.38.
  4. ^ Burton, R.W. 1950. The record Hamadryad or King Cobra (Naja hannah Cantor) and length and weights of large specimens. J. Bombay Nat. Hist. Soc. 49:561-562.
  5. ^ Stuebing, R.B. & R.F. Inger. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Natural History Publications (Borneo). Kota Kinabalu. p. 199-201. ISBN 983-812-031-6
  6. ^ Ophiophagus hannah pada The Reptile Database
  7. ^ a b c d e f g h Daniel, J.C. 1992. The Book of Indian Reptiles. Bombay Nat. Hist. Soc. and Oxford Univ. Press. Bombay. pp. 115-117. ISBN 0-19-562168-9
  8. ^ Taylor, David (1997), King Cobra, diakses tanggal 9/8/2007 
  9. ^ a b c d Capula, Massimo (1989). Simon & Schuster's Guide to Reptiles and Amphibians of the World. New York: Simon & Schuster. ISBN 0671690981. 
  10. ^ a b Freiberg, Dr. Marcos (1984). The World of Venomous Animals. New Jersey: TFH. ISBN 0876665679. 
  11. ^ "Ophitoxaemia (venomous snake bite)". Diakses tanggal 9/5/2007. 
  12. ^ Sean Thomas. "Most Dangerous Snakes in the World". Diakses tanggal 9/5/2007. 
  13. ^ a b Coborn, John (October 1991). The Atlas of Snakes of the World. New Jersey: TFH Publications. hlm. 30,452. ISBN 978-0866227490. 
  14. ^ Miller, Harry (September 1970), "The Cobra, India's 'Good Snake", National Geographic, 20: 393–409 
  15. ^ "CITES List of animal species used in traditional medicine". Diakses tanggal 9/1/2007. 

Pranala luar

Templat:Link FA Templat:Link FA