Djaelani Naro, yang lebih populer dengan nama HJ. Naro atau John Naro (3 Januari 1929 – 28 Oktober 2000) adalah seorang mantan jaksa yang kemudian menjadi politisi Indonesia.

Djaelani Naro
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung
Masa jabatan
Maret 1988 – Maret 1998
PresidenSoeharto
Ketua DewanSudomo
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat
Masa jabatan
1 Oktober 1977 – 23 Maret 1978
PresidenSoeharto
Ketua MPR/DPRAdam Malik
Masa jabatan
1 Oktober 1972 – 1 Oktober 1977
PresidenSoeharto
Ketua MPR/DPRIdham Chalid
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
Masa jabatan
1971 – 1 Oktober 1972
PresidenSoeharto
Ketua DPRGRAchmad Sjaichu
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan ke-2
Masa jabatan
1978 – 1989
Informasi pribadi
Lahir
Djaelani Naro

(1929-01-03)3 Januari 1929
Palembang, Sumatera Selatan, Hindia Belanda
Meninggal28 Oktober 2000(2000-10-28) (umur 71)
Jakarta
KebangsaanIndonesia
Partai politikParmusi (1968–1973)
Partai Persatuan Pembangunan (1973–1999)
Partai Persatuan (1999–2000)
Suami/istriAndalia Tirtaamidjaja
AnakMuhammad Husein
Nandalia Herlanggawati
Wulan Sari
PekerjaanPolitisi
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPR/MPR selama dua periode, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru.[1]

Kehidupan awal

Naro lahir di Palembang, Sumatera Selatan, sebagai anak dari Haji Datoek Naro, mantan pegawai Departemen Pertanian yang berasal dari Solok, Sumatera Barat.[2]

Semasa mudanya, ia menjadi anggota Tentara Pelajar di Sumatera Selatan. Setelah pengakuan Indonesia, ia berangkat ke Yogyakarta untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada. Akhirnya, dia tidak menyelesaikan studinya dan pergi ke Jakarta untuk belajar hukum di Universitas Indonesia. Ia juga bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Jakarta (GMD) dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia.[2]

Pendidikan

Awal karier

Setelah meraih gelarnya, Naro melamar kerja di Kejaksaan Negeri. Setelah beberapa tahun, ia menjadi Kepala Kantor Pengadilan Tinggi Jakarta dan Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar pada tahun 1962.[2]

Karier politik

Parmusi

Naro masuk Parmusi pada tahun 1968, pada saat pembentukan partai. Ia menjadi salah satu ketua urusan partai, mewakili Jamiatul al-Washliyah. Ia menjadi ketua umum partai setelah bekerja sama dengan Imron Kadir untuk mengambil alih kepemimpinan partai dari Djarnawi Hadikusuma. Setelah menjadi orang nomor satu di partai itu, ia mengeluarkan Djarnawi dari partai. Pemerintah menanggapi pada tahun 1970 dengan menurunkan Naro dari ketua menjadi wakil ketua dan menempatkan H.M.S. Mintaredja di kursi ketua partai.[2]

Tiga tahun kemudian, Parmusi bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan, dan H.M.S. Mintaredja menjadi ketua pertama partai. Naro mengikuti jejak Mintaredja, dan menjadi salah satu petinggi partai.[2]

Partai Persatuan Pembangunan

 
Naro berfoto sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Naro berada di urutan kedua dari kiri.

Konflik internal dengan Nahdlatul Ulama

Tahun-tahun pertama partai ini diwarnai oleh konflik internal antara bekas parpol yang sempat melebur ke dalam partai. Naro dan lainnya yang berasal dari Parmusi, menyebut dirinya sebagai Fraksi Muslimin Indonesia (MI) di Partai Persatuan Pembangunan.[3] Belakangan, MI menjadi salah satu fraksi terbesar di partai yang kerap berselisih dengan NU (Nahdlatul Ulama).[4]

Peluang Naro menjadi ketua umum partai semakin besar setelah Fraksi NU dari PPP walk out pada Sidang Umum MPR 1978. Setelah keluar, Mintaredja digusur sebagai ketua PPP oleh pemerintah melalui manipulasi politik yang dirancang oleh Ali Murtopo, dan pemerintah menggantinya dengan Naro. Tanpa rapat atau muktamar, Naro mendeklarasikan dirinya sebagai ketua PPP dengan dukungan pemerintah.[5]

Setelah Naro menjadi ketua umum, ia menetralkan vokalisme Fraksi NU di dalam partai. Naro memastikan bahwa tidak ada anggota partai yang memiliki sumber kekuatan independen, dan secara efektif memusatkan semua saluran patronase untuk dirinya sendiri. Pukulan terhadap Fraksi NU oleh Naro semakin besar karena permusuhan pemerintah dan militer terhadap anggota NU, terutama pengusaha kecil dan pedagang yang mendukung NU.[6] Pemerintah mengubah dukungannya kepada Muhammadiyah, organisasi Islam yang lebih modern.[7]

Puncak permusuhan Naro terhadap NU memuncak pada pemilihan umum legislatif Indonesia 1982. Saat pembentukan caleg sementara pemilu legislatif tahun 1981, Naro mengurangi proporsi caleg PPP dari fraksi NU, dan menempatkan nama-nama fraksi NU jauh di bawah daftar, begitu rendah sehingga tidak mungkin mereka masuk terpilih.[6] Kejadian ini memperparah konflik antara Fraksi MI dengan Fraksi NU, dan pada tahun 1984, setelah muktamar pertama partai, NU secara resmi mundur dari partai PPP.[8]

Muktamar Pertama Partai Persatuan Pembangunan

Muktamar pertama partai yang mengesahkan Naro sebagai ketua, diwarnai dengan konflik, bahkan sebelum muktamar digelar. Dalam persiapannya, Naro membentuk panitia muktamar tanpa berkonsultasi dengan ketua umum partai, Idham Chalid, menyebabkan panitia tersebut menjadi tidak sah dan tidak diakui oleh jajaran partai.[4]

Penerimaan Pancasila

Pada 1980-an, Soeharto mendorong partai politik untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya ideologi, menciptakan konsep asas tunggal. Konsep ini pertama kali disampaikan pada pidato Soeharto di rapat ABRI 27 Maret 1980 dan pada HUT Kopassus pada 16 April 1980. Konsep tersebut secara resmi disampaikan pada tahun 1983, dan disahkan menjadi undang-undang pada tahun 1985. Semua partai politik dan ormas harus memegang Pancasila sebagai ideologi dan satu-satunya prinsip, mengesampingkan ideologi lain yang dipegang sebelumnya.[9]

Meski Naro didukung oleh pemerintah dan pihaknya menerima prinsip tunggal, Naro menolak konsep tersebut. Ia menolak perubahan lambang partai, dari Ka'bah menjadi bintang. Penolakan ini digunakan oleh faksi Soedardji, oposisi internal pemerintahan Naro, untuk mendelegitimasi dia. Soedardji gagal menggulingkan Naro dari ketuanya, dan Soedardji membentuk Dewan Pimpinan Pusat yang baru, menyebabkan dualisme di dalam partai.[4] Soedardji menuntut Naro mengadakan muktamar luar biasa untuk mengakhiri konflik di partai.[2]

Calon Wakil Presiden

 
Sidang umum Dewan Perwakilan Rakyat tahun 1987.

Sebagai ketua umum PPP, Naro dicalonkan sebagai calon wakil presiden untuk masa jabatan kelima Soeharto. Naro tampaknya didukung oleh dukungan pribadi angkatan bersenjata. Penantangnya adalah Sudharmono, yang dicalonkan Golkar, dan didukung secara resmi oleh ABRI, Utusan Daerah, dan Partai Demokrasi Indonesia. Para pendukung Sudharmono membujuknya untuk mundur dari pencalonan, agar Sudharmono diangkat sebagai wakil presiden oleh Soeharto, dan sidang MPR bisa selesai tepat waktu.[10]

Soeharto mengintervensi pembahasan calon wakil presiden dengan mengatakan bahwa "calon yang memperkirakan dirinya tidak akan memperoleh suara mayoritas untuk pemilu harus mundur". B.M. Diah menjelaskan, pernyataan Soeharto mengharapkan pengunduran diri calon tersebut "memberi lebih banyak ruang bagi mereka yang pasti terpilih dengan suara terbanyak".[11] Namun, Naro tetap bersikeras untuk mencalonkan diri, dengan alasan bahwa Soeharto tidak memberinya isyarat untuk mundur.[12]

Pada 10 Maret, menjelang pemilihan wakil presiden di MPR, tiga orang PPP bertemu dengan Soeharto. Keesokan paginya, Fraksi PPP mengirimkan surat kepada Ketua MPR yang menyatakan mundurnya pencalonan Naro sebagai Wakil Presiden. Surat itu dibacakan saat sidang MPR pemilihan wakil presiden.[12] Hal ini membuat Sudharmono menjadi satu-satunya calon wakil presiden, dan dilantik pada malam yang sama.[13]

Usai sidang, Naro ditanya wartawan soal mundurnya pencalonan wakil presiden. Naro mengklaim bahwa dia tidak mundur, dan membandingkan dirinya dengan petinju yang "dihentikan oleh promotor".[13]

Sebagai protes atas tekanan Soeharto kepada Naro, Sarwo Edhie Wibowo, mantan jenderal yang bersekutu dengan Soeharto, mundur dari kursi legislatif Itu adalah satu-satunya waktu dalam sejarah Orde Baru terjadi perbedaan pendapat tentang pemilihan wakil presiden serta mematahkan konsep Soeharto tentang "musyawarah untuk mencapai mufakat".[14]

Partai Persatuan

Setelah reformasi di Indonesia, Naro mendirikan partai baru pada 3 Januari 1999, Partai Persatuan. Ia mendirikannya setelah dikecewakan dengan hasil muktamar ketiga PPP. Partai Persatuan diisi dengan kader PPP yang keluar dari partai setelah reformasi.[15]

Kehidupan pribadi

 
Jailani Naro bersama istrinya.

Djaelani Naro menikah dengan seorang perempuan bernama Ida Andalia Tirtaamidjaja S.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pernikahan tersebut menghasilkan tiga orang anak, Muhammad Husein, Nandalia Herlanggawati, dan Wulan Sari.[2]

Wafat

Naro meninggal pada 28 Oktober 2000 dalam usia 71 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Kalibata, Jakarta. Beberapa pejabat dari era Orde Baru datang berduka di rumah duka. Diantaranya adalah Sudharmono, Emil Salim, dan Harmoko.[16]

Sebelum kematiannya, Naro dirawat secara intensif di Rumah Sakit Pelni di Petamburan.[16]

Referensi

  1. ^ "Pagi Ini Pemakaman Naro di Makam Pahlawan" Liputan6.com. 29-10-2000. Diakses 6-11-2014.
  2. ^ a b c d e f g PDAT (2004). "Apa dan Siapa: JAILANI Naro". Ahmad. Diakses tanggal 23 May 2019. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ Aziz 2006, hlm. 92–93
  4. ^ a b c Romli 2006, hlm. 64–67
  5. ^ Bruinessen 1994, hlm. 105
  6. ^ a b Bruinessen 1994, hlm. 108
  7. ^ Bruinessen 1994, hlm. 107
  8. ^ Bruinessen 1994, hlm. 109
  9. ^ Aziz 2006, hlm. 5
  10. ^ Pour 1993, hlm. 535
  11. ^ Pour 1993, hlm. 547
  12. ^ a b Pour 1993, hlm. 548
  13. ^ a b Pour 1993, hlm. 549
  14. ^ Sumardi, Edi (22 March 2016). "'Senjakala PPP, Partai Kakbah yang Terancam Jadi Paria'". Tribunnews.com. Diakses tanggal 24 May 2019. 
  15. ^ SEAsite (1999). "Nomor 34: PARTAI PERSATUAN (PP)". seasite.niu.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-25. Diakses tanggal 24 May 2019. 
  16. ^ a b Liputan 6 (29 October 2000). "Pagi Ini Pemakaman Naro di Makam Pahlawan". Liputan6.com. Diakses tanggal 24 May 2019. 

Bibliograpfi

  • Aziz, Abdul (2006), Politik Islam Politik: Pergulatan Ideologi PPP Menjadi Partai Islam [Politics of Islam: The Struggle of PPP to Become a Muslim Party], Yogyakarta: Tiara Wacana 
  • Romli, Lili (2006), Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam di Indonesia [Yes to Islam and Yes to Islamic Party: History of the Development of Islamic Party in Indonesia], Yogyakarta: Pustaka Pelajar 
  • Bruinessen, Martin van (1994), Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru [NU: Traditions, Power Relations, The Search for a New Discourse], Yogyakarta: LKiS Yogyakarta and Pustaka Pelajar, ISBN 9789798966033 
  • Pour, Julius (1993), Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan [Benny Moerdani: Profile of a Statesman], Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, ISBN 979-8313-03-8