Singamangaraja (Surat Batak: ᯘᯪᯝᯔᯝᯒᯐ) adalah bentuk penguasa dalam masyarakat Batak yang berada di atas namun tidak mencampuri otonomi penguasa huta, horja, dan bius[a] Singamangaraja bertindak dalam penyelesaian persengketaan, penghentian peperangan, membuat perdamaian, dan pembebasan orang-orang terpasung.[1] Singamangaraja tidak membentuk huta, horja, bius maupun mengangkat penguasanya. Berbeda dengan penguasa pada umumnya, para Singamangaraja tidak menaklukkan daerah apa pun.[2]

Sejarah

Dinasti Singamangaraja dimulai dari garis keturunan kedelapan dari Si Raja Batak. Singamangaraja I adalah Raja Manghuntal Sinambela. Masyarakat Batak umumnya percaya bahwa Singamangaraja adalah dewata yang terlihat dan sesembahan yang dapat diketahui.

Wakil Singamangaraja

Dalam menjalankan tugasnya, para Singamangaraja memiliki beberapa wakil, yaitu Raja Parbaringin di Toba, Raja Naopat di Silindung, dan Raja Parmalim.[3]

Raja Parbaringin

Raja Parbaringin memiliki kedudukan yang tinggi dalam sebuah bius. Raja Parbaringin memiliki wewenang mengenai adat, pembagian tanah, melaksanakan upacara tahunan Mangase Taon. Pada musim kemarau, Raja Parbaringin pun berhak untuk meminta hujan atas nama Si Singamangaraja.

Raja Naopat

Raja Naopat terdiri dari empat kekuasaan yang mewakili Singamangaraja di Silindung, yaitu Bagot Sinta di Hutatoruan, Rangke Tua di Sitompul, Raja Ilamula (Orang Kaya Lela Muda) di Hutabarat, dan Baginda Mulana (Baginda Maulana) di Sipoholon.

Raja Parmalim

Raja Parmalim adalah orang yang ditunjuk untuk mengurus soal-soal keagamaan. Selain itu, Singamangaraja juga memiliki jurubicara (bahasa Batak Toba: panuturi), yaitu seorang Panonggak dan Puntapioloan.[4].

Daftar Singamangaraja

Singamangaraja I

Singamangaraja I bernama Raja Manghuntal Sinambela.

Singamangaraja II

Singamangaraja II bernama Ompu Raja Tinaruan Sinambela, ia adalah putra kandung Si Singamangaraja I. Dalam masa pemerintahannya, Singamangaraja II pernah membuat sumur bagi penduduk Laguboti yang dilanda kemarau panjang. Sumur tersebut dikenal sebagai Sumur Si Singamangaraja. Dari perkawinannya dengan boru Situmorang, Singamangaraja II mempunyai putra yang diberi nama Raja Itubungna.

Singamangaraja III

Singamangaraja III bernama Raja Itubungna Sinambela, ia adalah putra kandung Si Singamangaraja II. Ia dikandung selama 18 bulan oleh ibunya, boru Situmorang. Raja Itubungna diangkat sebagai Singamangaraja III setelah Singamangaraja II menghilang. Singamangaraja III dinobatkan di Bakkara. Singamangaraja III memperistri boru Situmorang yang berasal dari Urat, Samosir. Dalam masa pemerintahannya, Singamangaraja III menetapkan beberapa hukum baru, di antaranya:

  1. Pembukaan perkampungan baru hanya boleh dilakukan setelah disetujui oleh Raja Parbaringin.
  2. Tanah kosong boleh digunakan atas izin pemerintah.
  3. Seseorang yang datang ke suatu kampung berhak atas kepemilikan rumah yang didirikannya sepanjang ia menjadi penduduk kampung tersebut. Apabila ia hendak pindah, rumah tersebut tidak boleh dijual selain kepada raja kampung tersebut. Penyerahan rumah tersebut kepada raja kampung dinamai sebagai pisopiso, sementara pemberian uang dari raja kampung kepada pemilik rumah dinamai sebagai ulosulos.
  4. Seorang pembunuh harus mengadakan perjamuan kepada keluarga terbunuh dengan menghadirkan pula raja-raja dan penduduk setempat. Dalam perjamuan tersebut, seekor kerbau dipotong. Pembunuh harus meminta maaf kepada keluarga terbunuh dan menanggung segala kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya. Singamangaraja III tidak menghendaki nyawa ditebus dengan nyawa.
  5. Jika seorang istri pergi meninggalkan suaminya secara tidak sah, maka orang tua istri tersebut harus mengganti rugi mahar yang pernah diberikan oleh suami yang ditinggalkan sebanyak dua kali lipat. Seorang suami yang meninggalkan istri tidak berhak meminta kembali mahar yang pernah diberikannya, malahan ia diwajibkan membayar biaya yang diperlukan untuk perceraiannya.
  6. Jika seorang kepala keluarga meninggal dan hanya memilliki anak perempuan maka 1/3 hartanya diberikan kepada ahli warisnya, sementara 2/3 lagi diberikan kepada anaknya.
  7. Seorang pencuri wajib mengganti rugi barang curiannya sebanyak tiga kali lipat kepada pemilik barang. Ia boleh membayarnya dengan tenaga apabila tidak mempunyai uang. Orang yang mencuri makanan karena kelaparan tidak dihukum tetapi diwajibkan mengusahakan penyelesaian dengan pemillik makanan.

Singamangaraja III mendirikan balai di beberapa wilayah, salah satunya di wilayah yang kini bernama Simalungun. Balai di Simalungun ini bertingkat tiga, tingkat tertinggi untuk Singamangaraja III, tingkat kedua untuk para Raja Parbaringin, dan tingkat terendah untuk hadirin yang menurut Si Singamangaraja perlu hadir. Singamangaraja III memiliki putra yang bernama Sorimangaraja. Tidak lama setelah kelahiran Sorimangaraja, Singamangaraja III pun menghilang.

Singamangaraja IV

Singamangaraja IV bernama Sorimangaraja Sinambela. Ia diangkat menjadi Singamangaraja mengantikan ayahnya yang menghilang. Singamangaraja IV jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Jenazahnya tidak menghilang seperti para Singamangaraja pendahulunya. Singamangaraja IV mempunyai seorang putra yang bernama Pallongos.

Singamangaraja V

Singamangaraja VI

Singamangaraja VII

Singamangaraja VIII

Singamangaraja IX

Singamangaraja X

Singamangaraja XI

Singamangaraja XII

Catatan

  1. ^ Huta adalah, horja adalah, bius adalah.

Referensi

  1. ^ Tobing 1957, hlm. 9.
  2. ^ Tobing 1957, hlm. 12.
  3. ^ Tobing 1957, hlm. 9—10.
  4. ^ Tobing 1957, hlm. 12—13.

Daftar pustaka

  • L. Tobing, Adniel (Mei 1957). Sedjarah Si Singamangaradja I–XII: Radja Jang Sakti, Pahlawan Jang Gagah Perkasa. Medan: Firman Sihombing.