Ulos

kain tradisional Batak
Revisi sejak 15 April 2024 13.49 oleh Kris Simbolon (bicara | kontrib) (Pranala luar: obslete wordpress; will be enriched and refined later)

Ulos adalah salah satu jenis kain khas masyarakat Batak, Sumatera Utara. Dari bahasa asalnya, "ulos" berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Melayu, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.

Ulos yang dipakai penari Si Gale Gale.
Jenis-jenis ulos
Pemberian ulos pada suatu acara gerejawi.

Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, tetapi kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk suvenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.

Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.

Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

Arti Ulos

 
Pengrajin ulos di Desa Huta Raja sedang menenun.

Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak. Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita, ulos selalu menjadi bagian adat yang selalu diikutsertakan.

Menurut pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang batak dahulu memilih hidup di dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.

Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya dikelilingi dengan pepohonan bambu. Di mana memiliki kegunaan bukan hanya sebagai pagar untuk menjaga serangan musuh saja, tetapi juga menahan terjangan angin yang dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.

Ada 3 hal yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia, yaitu: Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan yang setiap saat didambakan.

Ada 3 “sumber kehangatan” yang diyakini moyang orang batak yaitu: matahari, api dan ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat dinyalakan setiap saat, tetapi tidak praktis digunakan untuk menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus dijaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.

Ulos pun menjadi barang yang penting dan dibutuhkan semua orang kapan saja dan di mana saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang dituangkan dalam aturan adat, antara lain:

  • Ulos hanya diberikan kepada kerabat yang di bawah kita. Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak), hula-hula kepada boru, dll.
  • Ulos yang diberikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan diberi ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).

Sedangkan menurut penggunaanya antara lain:

  • Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
  • Sihadanghononhon (diletakan di bahu) digunakan ulos Sirara, sumbat, bolean, mangiring dan lainnya.
  • Sitalitalihononhon (pengikat kepala) digunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa dan lain-lain.

Saat ini kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh pada saat tidur ataupun saat beraktivitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk memberi kehangatan bagi tubuh pada saat berada dalam udara yang sangat dingin. Namun, Ulos sudah menjadi pelambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya batak.

Hal ini juga menjadi tantangan bagi budaya batak pada masa depan, karena cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akankah anak-anak kita memandang ulos seperti memandang “kain pada umumnya”, bahkan lebih parahnya setelah kain tersebut digunakan dalam acara adat yang melelahkan kemudian ulos tersebut tersimpan rapat dalam lemari saja.

Sangat berbeda “rasanya” dengan menggunakan setelan jas yang modis dan ingin menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat.

Jangan-jangan yang terbayang dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang tergolek dalam lemari adalah acara adat yang melelahkan, rumit adatnya, pusing karena tidak mengerti bahasa batak, malu karena tidak paham martutur (menempatkan diri dalam pertalian darah atau keturunan).

Akan sangat banyak tantangan masa depan yang akan menghimpit “niat maradat” bagi generasi muda masa depan. Seperti masalah keuangan, penggunaan waktu, perkembangan pola pikir praktis, berkurangnya “rajaparhata” (orang yang mengetahui adat dan dapat memandu kegiatan adat dari awal hingga akhir).

Jenis, makna dan fungsi

Ulos Antakantak

Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).

Ulos Bintang Maratur

Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak Toba, beberapa di antaranya yakni:

  • Kepada anak yang memasuki rumah baru. Memiliki rumah baru (milik Sendiri) adalah merupakan suatu kebanggaan terbesar bagi masyarakat Batak Toba. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru dianggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya. Tingginya penghargaan kepada orang yang telah berhasil membangun dan memiliki rumah baru adalah karena keberhasilan tersebut dianggap merupakan suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa yang disertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru adalah merupakan situasi yang sangat menggembirakan, oleh karena itu ulos ini akan diberikan kepada orang yang sedang berada dalam suasana bergembira. Orang batak yang tinggal dan menetap di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara umum adalah sama, tetapi pada hal-hal tertentu adakalanya memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian Ulos Bintang Maratur khusus di daerah Silindung diberikan kepada orang yang sedang bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.
  • Secara khusus di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan yang diberikan oleh pihak hulahula kepada anaknya. Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu diiringi kelahiran anak yang selanjutnya, kemudian ulos ini juga diberikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat baptisan di gereja dan juga bisa dipakai sebagai selendang.

Ulos Bolean

Ulos ini biasanya dipakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.

Ulos Mangiring

Ulos ini dipakai sebagai selendang, Talitali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai Simbol besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak diiringi kelahiran anak yang seterusnya, Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai Parompa (alat gendong) untuk anak.

Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu

Ulos ini dipakai sebagai Talitali dan Selendang.

Ulos Pinuncaan

Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos. Kegunaannya antara lain:

  • Dipakai dalam berbagai keperluan acara-acara dukacita maupun sukacita, dalam acara adat ulos ini dipakai/disandang oleh Raja-raja Adat.
  • Dipakai oleh Rakyat Biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat dipakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).
  • Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok istri dari golongan hulahula), ulos ini juga dipakai/dililit sebagai kain/hohophohop oleh keluarga hasuhuton (tuan rumah).
  • Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan. Ulos Passamot diberikan oleh Orang tua pengantin perempuan (Hulahula) kepada kedua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.

Ulos Ragi Hotang

Ulos ini diberikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang disebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin perempuan telah menyetujui putrinya dipersunting atau diperistri oleh laki-laki yang telah disebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian ulos ini selalu disertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung tersebut dipakai dan dibawa untuk kegiatan-kegiatan adat.

Ulos Ragi Huting

Ulos ini sekarang sudah Jarang dipakai, konon pada zaman dulu sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (Hobahoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang beradat.

Ulos Sibolang Rasta Pamontari

Ulos ini dipakai untuk keperluan duka dan sukacita, tetapi pada zaman sekarang, Ulos Sibolang bisa dikatakan sebagai simbol dukacita, yang di pakai sebagai Ulos Saput (orang dewasa yang meninggal tetapi belum punya cucu), dan dipakai juga sebagai Ulos Tujung untuk Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri dan kepada perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Apabila pada peristiwa dukacita ulos ini dipergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga dekat dari orang yang meninggal.

Ulos Si Bunga Umbasang dan Ulos Simpar

Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan dipakai sebagai Selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang meramaikan) .

Ulos Sitolu Tuho

Ulos ini difungsikan atau dipakai sebagai ikat kepala atau selendang.

Ulos Suri-suri Ganjang

Ulos ini dipakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunanan musik Batak) dan juga dipergunakan oleh pihak Hulahula (orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu disebut juga Ulos gabegabe (berkat).

Ulos Simarinjam sisi

Dipakai dan difungsikan sebagai kain, dan juga dilengkapi dengan Ulos Pinunca yang disandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani (mendahului di depan). Yang memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.

Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan

Pada zaman dahulu dipakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari golongan keluarga kaya, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan disaput (diselimutkan, dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos lainnya yang disebut Ragi Pakko karena memang warnanya hitam seperti Pakko.

Ulos Tumtuman

Dipakai sebagai talitali yang bermotif dan dipakai oleh anak yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).

Ulos Tutur-Tutur

Ulos ini dipakai sebagai talitali (ikat kepala) dan sebagai Handehande (selendang) yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya).

Lihat juga

  • Uis – tradisi pertenunan khas suku Karo
  • Sortali – Pakaian tradisional suku Batak yang dikenakan pada kepala pengantin wanita.

Pranala luar