Warok
Warok (aksara Jawa: ꦮꦫꦺꦴꦏ꧀) adalah tokoh masyarakat dan tokoh seni di Ponorogo. Warok merupakan sebutan lelaki yang memiliki sifat kesatria, berbudi pekerti luhur, dan memiliki wibawa tinggi di kalangan masyarakat. Warok juga memiliki peranan penting dalam kesenian, kebudayaan, sosial, bahkan politik di Ponorogo.[1]
Etimologi
Kata "warok" berasal dari bahasa Jawa, yaitu wewarah yang bermakna 'pengajaran'.[2] Warok merupakan wong kang sugih wewarah, yang artinya ialah seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.
Sejarah
Pada akhir era Majapahit, warok turut terlibat dalam situasi politik ketika perpindahan kekuasaan dan teritorial dari daerah Wengker yang dikuasai oleh Ki Ageng Kutu jatuh ke tangan Raden Bathara Katong.[4][1] Para warok yang saat itu setia kepada penguasa Wengker mulai memindahkan loyalitasnya kepada Raden Bathara Katong, putra Brawijaya V dan penguasa baru di Ponorogo.[4][5] Ki Ageng Kutu atau Demang Suryongalam merupakan kerabat dari Kerajaan Majapahit dan ia memiliki tiga orang anak, yaitu Niken Gandini, Suryolono (Warok Suromenggolo), dan Suryodoko (Warok Surohandoko).[6] Dalam masa pemerintahan Ki Ageng Kutu, Wengker dibagi menjadi tiga bagian: Ki Ageng Hanggolono diberi tugas untuk memimpin daerah bagian barat, Warok Surogentho dan Warok Singokobro memimpin daerah bagian timur, dan Warok Suromenggolo memimpin daerah bagian selatan.[6]
Seiring terjadinya konflik yang berkepanjangan dan pertempuran antara Ki Ageng Kutu dan Raden Bathara Katong, kekuatan pasukan Ki Ageng Kutu mulai melemah. Kemenangan Raden Bathara Katong dan pasukannya atas Ki Ageng Kutu dan pasukan warok membuat para pasukan warok tidak lagi melakukan perlawanan, serta menyambut dan menyatakan dukungan terhadap pemerintahan baru.[1] Dalam masa peralihan ke pemerintahan Raden Bathara Katong, Warok Suromenggolo ditetapkan sebagai Demang Kertosari dan menjadi pengawal pribadi Raden Bathara Katong ketika menjadi adipati, sedangkan Warok Surohandoko menggantikan Ki Ageng Kutu menjadi Demang Surukubeng (sekarang menjadi Desa Kutu di Jetis, Ponorogo), Warok Guno Seco menjadi Kepala Desa Siman, Warok Tromejo di Gunung Loreng, Slahung.[1] Akan tetapi, ada dua warok yang tidak patuh terhadap pemerintahan yang baru, yaitu Warok Surogentho dan Warok Singokobro di sekitar Bukit Klotok, mereka berdua menjadi berandal yang menentang pemerintahan Raden Bathara Katong.[1]
Selain mempunyai pengaruh dalam kesenian dan budaya, peran warok dalam dunia politik tampak sebagai stabilisator dengan melakukan afiliasi penguasa dan mengikuti siapa yang sedang berkuasa.[4] Pada masa selanjutnya, khususnya pada pasca-kemerdekaan, peran warok masih dapat ditemui karena memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam kesenian, sosial, vote-getter, dan pengerahan massa di komunitas atau lingkungannya.[4][7] Pada tahun 1950-an, muncul banyak grup-grup kesenian Reog yang bernaung di LEKRA, sebuah organisasi kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia.[8] Untuk mencegah grup-grup kesenian Reog dipakai sebagai propaganda oleh PKI, para tokoh Islam mendirikan KRIS (Kesenian Reog Islam) dan CAKRA (Cabang Kesenian Reog Islam), sedangkan para tokoh Nasionalis mendirikan BREN (Barisan Reog Nasional) dan BRP (Barisan Reog Ponorogo).[8] Setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI, para warok yang bernaung di organisasi di bawah PKI dibunuh.[7]
Pada masa pemerintahan Orde Baru, para warok yang berasal dari kelompok Islam dan nasionalis masih mempunyai pengaruh karena merupakan tokoh seni, tokoh masyarakat, dan sebagai vote-getter.[7][9] Golkar yang berkuasa pada saat itu, didukung oleh warok dan konco Reog dari belakang.[4][10] Pemerintah daerah saat itu mengakomodasi banyak warok untuk menduduki jabatan seperti menjadi kepala desa dan lurah.[4] Menurut Tobroni Turejo (Dewan Pembina Partai Golkar Ponorogo),[11] penempatan warok pada jabatan kepala desa dan lurah merupakan upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan daerah.[12]
Pada awal-awal era reformasi, warok dapat mencapai posisi di anggota dewan, sedangkan pada tahun 2000-an tidak ada lagi warok dalam anggota dewan.[12] Menurut seorang pengamat politik Fajar Pramono dalam bukunya Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah, meskipun para warok kini tidak memiliki pengaruh secara langsung dalam dunia politik di Ponorogo, para warok yang mendirikan organisasi yang struktural alih-alih budaya dan kultural, mereka secara institusional berhasil mengantarkan seorang kader menuju pemerintahan Ponorogo.[13]
Warok dalam seni Reog
Warok merupakan salah satu penari dalam seni Reog.[14] Kadang ia digambarkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang "menguasai ilmu" (ngèlmu) dalam pengertian Kejawen.
Ia juga sering berperan sebagai pemimpin lokal informal dengan banyak pengikut. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal/punggawa raja Klono Sewandono (warok muda) atau sesepuh dan guru (warok tua). Dalam pentas, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan, digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat.
Pada awalnya warok digambarkan sebagai sosok pengolah kanuragan. Untuk mencapai ilmu dan kesaktiannya, mereka tidak berhubungan dengan wanita, tetapi dengan anak laki-laki berumur 8–15 tahun yang acapkali disebut gemblakan. Seringkali para warok juga mengonsumsi minuman keras. Namun, saat ini warok telah mengalami perubahan paradigma.[15]
Lihat pula
Referensi
Catatan kaki
- ^ a b c d e Pramono 2006, hlm. 17.
- ^ Khoirurrosyidin 2014, hlm. 26.
- ^ "Ratusan Warok ziaroh makam Bathara Katong". Pemerintah Kabupaten Ponorogo. 10 September 2018. Diakses tanggal 31 Juli 2020.
- ^ a b c d e f Khoirurrosyidin 2014, hlm. 32.
- ^ Pramono 2006, hlm. 3.
- ^ a b Pramono 2006, hlm. 10.
- ^ a b c Achmadi 2013, hlm. 121.
- ^ a b Achmadi 2013, hlm. 120.
- ^ Khoirurrosyidin 2014, hlm. 32-33.
- ^ Pramono 2013, hlm. 228.
- ^ Khoirurrosyidin 2014, hlm. 34.
- ^ a b Khoirurrosyidin 2014, hlm. 33.
- ^ Pramono 2013, hlm. 228-229.
- ^ ditindb (17 Desember 2015). "Reog Ponorogo". kebudayaan.kemdikbud.go.id. Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemdikbud. Diakses tanggal 26 Desember 2019.
- ^ Krismawati, Nia Ulfia (14 November 2018). "Eksistensi Warok Dan Gemblak di tengah Masyarakat Muslim Ponorogo Tahun 1960-1980". 8. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. ISSN 2088-6330.
Daftar pustaka
- Pramono, Fajar (2006). Raden Bathoro Katong Bapak-e Wong Ponorogo (PDF). Ponorogo: Lembaga Penelitian Pemberdayaan Birokrasi dan Masyarakat Ponorogo. ISBN 979994029-X.
- Khoirurrosyidin (2014). "Dinamika Peran Warok dalam Politik Di Ponorogo" (PDF). Humanity. Malang: Lembaga Penelitian, Universitas Muhammadiyah Malang. 9 (2). ISSN 0216-8995.
- Achmadi, Asmoro (2013). "Pasang Surut Dominasi Islam terhadap Kesenian Reog Ponorogo" (PDF). Analisis. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. 13 (1). ISSN 2088-9046.
- Pramono, Fajar (2013). Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah (PDF). Surakarta: Adi Citra Cemerlang. ISBN 9786021772058.