Serangan disinformasi

strategi penipuan di internet untuk membingungkan pengguna internet
Revisi sejak 11 Desember 2024 14.07 oleh Herryz (bicara | kontrib) (Tindakan)

Serangan disinformasi (Inggris: Disinformation attact) adalah sebuah strategi penipuan melibatkan manipulasi media dan manipulasi internet dalam menyebarkan informasi palsu yang bertujuan untuk membingungkan, dan mempolarisasi masyarakat.[1][2]

Target

Berdasarkan data Komisi Eropa pada tahun 2018, serangan ini dapat mengancam nilai-nilai demokrasi dan dapat mengurangi ligitimasi suatu proses pemilihan.[3] Pihak-pihak yang sering mendapat serangan disinformasi yakni pemerintah, perusahaan, jurnalis, ilmuwan, aktivis, dan pihak swasta lainnya.[4]

Sangat penting adanya sebuah tindakan yang dapat mencegah tersebarnya sebuah disinformasi. Secara umum, program pendidikan sedang dikembangkan guna mengajari masyarakat agar dapat membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang palsu. Mesin teknologi di platform digital yang dapat menandai disinformasi juga diperlukan untuk menghentikan disinformasi.

Alat-alat digital seperti bot, algoritma, teknologi AI, dapat dijadikan oleh pada influencer sebegai media dalam menyebar disinformasi di berbagai media sosial yang banyak digunakan manusia seperti Twitter, Instagram, Facebook, Google, YouTube, dan lainnya.[5]

Tindakan

Pew Research Center dalam penelitiannya menemukan bahwa 50% penduduk Amerika Serikat berpendapat bahwa disinformasi yang berisi berita palsu lebih berbahaya jika dibandingkan dengan persoalan imigran ilegal, terorisme, dan tindakan kekerasan. Tentu ada daya dan upaya yang dilakukan masyarakat agar dapat terhindar dari disinformasi.[6]

Jessica Brandt, seorang direktur kebijakan di Brooking Institution berpendapat bahwa masyarakat dapat terlibat dalam organisasi "fact check" atau periksa fakta. Organisasi ini melakukan kampanye literasi media melalui penyuluhan dan memberi pemahaman kepada masyarakat bagaimana cara kerja sosial media. Jessica mengatakan bahwa kegiatan melalui organisai ini dapat membantu masyarakat terhindar dari informasi yang tidak benar.[6]

Di Indonesia, seorang staf dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) bernama Adi Syafitrah telah terlibat dalam kegiatan periksa fakta. Sejak 2019, ia telah melakukan 1.400 pemeriksaan tentang kebenaran sebuah informasi, video, foto, dan narasi palsu di sosial media. Adi menggunakan alat-alat yang tersedia di internet untuk dapat meneliti kebenaran sebuah informasi. Setelah kebenaran informasi ditemukan, MAFINDO akan menyampaikannya ke masyarakat berupa artikel.[6]

Referensi

  1. ^ Bennett, W Lance; Livingston, Steven (April 2018). "The disinformation order: Disruptive communication and the decline of democratic institutions". European Journal of Communication (dalam bahasa Inggris). 33 (2): 122–139. doi:10.1177/0267323118760317. ISSN 0267-3231. Diakses tanggal 9 Desember 2024. 
  2. ^ Fallis, Don (2015). "What Is Disinformation?". Library Trends (dalam bahasa Inggris). 63 (3): 401–426. doi:10.1353/lib.2015.0014. hdl:2142/89818 . ISSN 1559-0682. Diakses tanggal 10 Desember 2024. 
  3. ^ "Communication - Tackling online disinformation: a European approach". European Commission (dalam bahasa Inggris). 2018-04-26. Diakses tanggal 10 Desember 2024. 
  4. ^ "Disinformation attacks have arrived in the corporate sector. Are you ready?". PwC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 10 December 2024. 
  5. ^ Katyal, Sonia K. (2019). "Artificial Intelligence, Advertising, and Disinformation". Advertising & Society Quarterly (dalam bahasa Inggris). 20 (4). doi:10.1353/asr.2019.0026. ISSN 2475-1790. Diakses tanggal 10 Desember 2024. 
  6. ^ a b c Manna, Jimmy (23 Mei 2023). "Disinformasi, Bagaimana Cara Menanggulanginya?". www.voaindonesia.com. Diakses tanggal 11 Desember 2024.