Rumbia (Metroxylon sagu) atau disebut juga (pohon) sagu adalah nama sejenis palma penghasil tepung sagu. Nama-nama lainnya di berbagai daerah di Sumatra dan Sulawesi adalah rumbieu, rembie, rembi, rembiau, rambia, hambia, humbia, lumbia, rombia, rumpia . Di Maluku dikenal sebagai ripia, lipia, lepia, lapia, lapaia, hula atau huda. Di Jawa, ambulung, bulung, (am)bulu, tembulu (Jw.), bhulung (Md.), dan ki ray (Sd.).[4]:323 Di Banda, pohonnya disebut dengan romiho, sementara tepungnya disebut sangyera. Di Makassar pohonnya disebut rambiya dan tepungnya disebut palehu.[5] Di negara-negara tetangga dikenal sebagai balau (Sarawak), lumbia, lăbi (Filipina), thagu bin (Burma), sa kuu (Kamboja), dan sa khu (Thailand),[6][7] dan Sago Palm (Ingg.).

Rumbia
Kebun rumbia.
Darmaga, Bogor.
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Monokotil
Klad: Komelinid
Ordo: Arecales
Famili: Arecaceae
Genus: Metroxylon
Spesies:
M. sagu
Nama binomial
Metroxylon sagu
Sinonim
  • Metroxylon hermaphroditum Hassk.
  • Metroxylon micracanthum Mart.
  • Metroxylon sago K.D.Koenig
  • Sagus inermis Roxb.
  • Sagus rumphii Willd.

Selengkapnya: PoWO[3]

Etimologi

Metroxylon berasal dari bahasa Yunani: metra yang berarti 'rahim', mengacu kepada inti batang atau empulur (pith); dan xulon atau xylon yang berarti kayu.[8] Sementara itu kata penunjuk jenisnya, sagu berasal dari bahasa Jawa dan memiliki arti pati yang terkandung dalam batang palma.[7]:8

Pemerian

 
Habitus

Pohon palma yang merumpun, dengan akar rimpang yang panjang dan bercabang-cabang. Batang berbentuk silinder tidak bercabang dengan diameter 50–90 cm, batang bebas daun dapat mencapai tinggi 16–20 m pada saat masa panen. Daun-daun besar, majemuk menyirip, panjang hingga 7 m, dengan panjang anak daun lk. 1,5 m; bertangkai panjang dan berpelepah.

Sebagaimana gebang, rumbia berbunga dan berbuah sekali (monocarpic) dan sudah itu mati. Karangan bunga bentuk tongkol, panjang hingga 5 m. Berumah satu (monoesis), bunga rumbia berbau kurang enak. Pohon sagu yang masih muda mempunyai kulit yang lebih tipis dibandingkan sagu dewasa. Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur atau isi sagu yang mengandung serat-serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3–5 cm.[9]

Ekologi dan penyebaran

 
Belukar rumbia

Rumbia menyukai tumbuh di rawa-rawa air tawar, aliran sungai dan tanah bencah lainnya, di lingkungan hutan-hutan dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Pada wilayah-wilayah yang sesuai, rumbia dapat membentuk kebun atau hutan sagu yang luas.

Diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua, sejak lama rumbia telah menyebar ke seluruh kepulauan Nusantara, yakni pulau-pulau Sunda Besar, Sumatra, Semenanjung Malaya, dan tak terkecuali di Filipina, kemungkinan karena dibawa oleh peradaban manusia. Kini rumbia telah meliar kembali di banyak tempat.

Kegunaan

 
Mengekstrak pati sagu dari batang yang dihancurkan
 
Atap terbuat dari daun muda rumbia kering
 
Buah rumbia

Dari empulur batangnya dihasilkan tepung sagu, yang merupakan sumber karbohidrat penting bagi warga kepulauan di bagian timur Nusantara. Pelbagai rupa makanan pokok dan kue-kue diperbuat orang dari tepung sagu ini. Sagu dipanen tatkala kuncup bunga (mayang) telah keluar, namun belum mekar sepenuhnya. Umur panenan ini bervariasi menurut jenis kultivarnya, yang tercepat kira-kira pada usia 6 tahun.

Pati yang terdapat dalam empulur sagu sering digunakan sebagai bahan makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia, seperti Maluku, Papua, Riau dan Sulawesi karena mengandung karbohidrat yang tinggi. Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin, dan pada kosentrasi yang sama pati sagu mempunyai viskositas tinggi dibandingkan dengan larutan pati dari serelia lainnya.[10] Sagu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan yang antara lain dapat diolah menjadi bahan makanan seperti mutiara sagu, kue kering, mie, biskuit, dan kerupuk.[11]

Batang pohon sagu digunakan sebagai tempat penyimpanan pati selama masa pertumbuhan, sehingga semakin berat dan panjang batang sagu semakin banyak pati yang terkandung di dalamnya. Pada umur panen 10–12 tahun, berat batang sagu dapat mencapai 1,2 ton.[12] Berat kulit batang sagu sekitar 17-25%, sedangkan berat empulurnya sekitar 75-83% dari berat batang. Pada umur 3-5 tahun, empulur batang sagu hanya sedikit mengandung pati, akan tetapi pada umur 11 tahun empulur sagu mengandung 15-20% pati.

Daun tua dari pohon yang masih muda merupakan bahan atap yang baik; pada masa lalu bahkan rumbia dibudidayakan (dalam kebon-kebon kiray) di sekitar Bogor dan Banten untuk menghasilkan atap rumbia ini. Dari helai-helai daun ini pun dapat dihasilkan semacam tikar yang disebut kajang. Daun-daunnya yang masih kuncup (janur) dari beberapa jenisnya dahulu digunakan pula sebagai daun rokok, sebagaimana pucuk nipah.[4] Kulit batang bagian luar yang keras (ruyung) digunakan sebagai bahan bangunan.[9]

Umbutnya, dan juga buahnya yang seperti salak, dimakan orang. Buah ini memiliki rasa sepat, sehingga untuk menghilangkan kelatnya itu buah rumbia biasa direndam dulu beberapa hari di lumpur atau di air laut sebelum dikonsumsi.[4] Tempayak dari sejenis kumbang, yang biasa hidup di batang dan umbut rumbia yang mati, disukai orang -dari Jawa hingga Papua- sebagai sumber protein dan lemak yang gurih dan lezat.[4]

Rebusan akarnya mengandung beberapa senyawa aktif seperti flavanoid, alkaloid, saponin dan tanin, sehingga berpotensi memiliki daya anti-mikroba.[13][14] Sementara itu, karena umumnya hutan-hutan atau kebun sagu -khususnya di Papua- dipertahankan sebagai sumber pangan lokal, maka hutan-hutan itu juga berpotensi sebagai penyerap karbon.[15]

Persyaratan tumbuh dan penyebaran

Tanaman sagu akan tumbuh dengan baik dan mendapatkan hasil pati yang banyak jika dalam pengelolaan budidaya sagu dilakukan pemeliharaan tanaman sagu dan tata kelola air. Sebagai upaya untuk meningkatkan potensi tanaman sagu, utamanya dalam hal produktivitas, maka pengetahuan akan tindakan budidaya tersebut meliputi pengadaan bahan tanaman, persiapan tanam, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama penyakit tanaman, panen dan pengelolahan pascapanen.[11] Pertumbuhan tanaman sagu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor internal, dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhui dari dalam tanaman, yaitu kondisi genetis tanaman sagu dan Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan sekitar, seperti intensitas cahaya matahari, curah hujan, ketersediaan air, suhu dan kelembaban udara. Tanaman sagu dapat tumbuh pada berbagai kondisi hidrologi dari yang terendam sepanjang masa sampai lahan yang tidak terendam air. Tanaman sagu memerlukan cahaya matahari dalam intensitas yang cukup, apabila ternaungi kadar pati di dalam batang sagu akan rendah.[16]

Lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman sagu antara lain yaitu lahan pasang surut. Lahan pasang surut terdiri dari beberapa jenis lahan diantaranya lahan gambut. Luas lahan pasang surut yang direklamasi mencakup luas lahan gambut yang ikut direklamasi pula, sehingga penting untuk mengetahui luas dan penyebaran lahan pasang surut yang baik yang sudah direklamasi maupun belum. Luas kawasan pasang surut sekitar 24, 71 juta hektar, dari jumlah tersebut 9,46 juta hektar dinyatakan cocok untuk pertanian, serta 3,60 juta hektar yang telah direklamasi.[17] Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah bewarna cokelat dan bereaksi agak masam. Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu. Pada tanah-tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah, pertumbuhan tanaman sagu kurang baik. Selain itu, pertumbuhan tanaman sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama fosfat, kalium, dan magnesium. Akar napas sagu yang terendam terus menerus akan menghambat pertumbuhan tanaman sagu, sehingga pembentukan pati dalam batang juga terhambat.[9]

Tanaman sagu yang dilakukan dengan perawatan, pemberian pupuk, pengendalian hama dan penyakit, dan pengaturan jarak tanam berhubungan erat dengan kerapatan. Semakin rapat tanaman, persaingan untuk mendapatkan faktor tumbuh anakan tanaman semakin kecil. Kerapatan tanaman mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman, karena keefisienan penggunaan cahaya matahari, sehingga jarak tanam yang optimal menentukan besarnya produksi tanaman per satuan luas areal.[18]

 
Pohon Sagu Tumbuh dengan Baik pada Lahan Basah

Pertumbuhan tanaman sagu pada umumnya tumbuh di lahan basah, dimana pada lahan basah pertumbuhan sagu akan lebih baik, karena sagu membutuhkan kebutuhan air yang banyak. Akan tetapi sagu juga bisa tumbuh di lahan kering namun tergantung pada varietas yang akan digunakan. Sehingga tentunya dalam hal budidaya akan ada perbedaan baik di lahan basah maupun lahan kering. Menurut Suryana (2007), dikenal dua jenis sagu, yaitu Metroxylon sp dan Arenga sp. Metroxylon sp umumnya tumbuh pada daerah rawa dan lahan marginal sedangkan Arenga sp tumbuh pada daerah kering dan lahan kritis.Sagu merupakan tanaman monokotil dari famili palmae.[19]

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan bibit sagu. Faktor lingkungan tersebut diantaranya yaitu kelembaban, intensitas cahaya, dan suhu. Bintoro et.al (2010) menyatakan bahwa sagu tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu 25 ℃ dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyinaran matahari sekurang-kurangnya 900 J/cm−2/hari. Faktor lingkungan yang terpenuhi dalam inkubasi untuk syarat tumbuh yaitu kondisi kelembaban dan intensitas cahaya. Kelembaban dalam ruang inkubasi pada pagi hari 96%, siang hari 77%, dan sore hari 66%. Kondisi kelembaban tersebut cukup memenuhi kebutuhan bibit sagu. Bibit sagu juga mendapatkan intensitas sinar matahari 991 J/ cm−2/ hari. Intensitas tesebut sesuai dengan rata-rata minimal yaitu 900 J/ cm−2/ hari. Kondisi suhu belum terpenuhi, karena suhu yang didapatkan hanya 28,86-34,7℃. Suhu terendah terjadi pada saat pagi hari yaitu 28,87℃. Pada siang hari suhu mengalami kenaikan menjadi 33,90℃. Suhu tertinggi terjadi pada sore hari yaitu 34,70 ℃ . Namun, suhu tersebut belum ideal, karena suhu yang dibutuhkan bibit sagu yaitu 25℃.[20]

Media tumbuh juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit sagu. Media yang dipakai berupa tanah gambut. Secara alami status hara tanah gambut tergolong rendah, baik hara makro maupun mikro. Kandungan unsur hara gambut sangat ditentukan oleh lingkungan pembentukannya. Gambut memiliki pH yang sangat rendah yaitu <3,50-5,25. Media tumbuh masuk kategori masam. Namun, gambut mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air jauh lebih tinggi dibandingkan media tumbuh lain karena komposisi bahan organik yang dominan menyebabkan gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi. Gambut mampu mengandung air mencapai 300-3.000% dari bobot keringnya, lebih besar dari tanah mineral yang hanya mampu mengandung air sekitar 20-35% dari bobot keringnya.[20]

Pertumbuhan bibit sagu dipengaruhi oleh tingkat serangan OPT (organisme pengganggu tanaman). Serangan OPT yang dijumpai pada pembibitan berupa penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Cercosphora sp. Daun yang terserang akan memperlihatkan gejala bercak kecoklatan, kemudian daun menjadi kering dan berlubang-lubang. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan dua teknik yaitu kimia dan teknis. Pengendalian kimia dengan penyemprotan Furadan 3G dan pengendalian secara kultur teknis dengan memisahkan tanaman yang terjangkit.[20]

Sagu diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua dan telah lama menyebar di nusantara. Luas areal sagu yang terdapat di Indonesia diperkirakan lebih dari satu juta Ha. Bintoro, (1999) menyatakan bahwa perkiraan sebaran sagu di Indonesia meliputi Irian Jaya, Maluku, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa.[21] Flach (1983) menambahkan bahwa sagu yang baik pertumbuhannya terutama ditemukan di Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Pasifik Selatan yang meliputi areal 2,2 juta Ha.[22] Rumbia menyukai tumbuh di rawa-rawa air tawar, aliran sungai dan tanah bencah lainnya, di lingkungan hutan-hutan dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Pada wilayah-wilayah yang sesuai, rumbia dapat membentuk kebun atau hutan sagu yang luas.

Kecepatan Tumbuh dan Produksi

Penentuan pola tata air harus dirancang sedemikian rupa sehingga tujuan pengelolaan air baik untuk kebutuhan tanaman, maupun sebagai sarana lalu lintas dapat dicapai. Komponen tata air ini meliputi: saluran; air, pintu-pintu pengendali air serta tanggul dan jalan. Menurut Darwis (1992) sistem pembuatan drainase, kanal dan pintu air, demikian baiknya sehingga permukaan air tanah dapat diatur tingginya.[23] Tata saluran air terdiri atas saluran induk atau saluran primer, saluran penghubung atau saluran sekunder, dan saluran pengering areal atau saluran tersier.[24] Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman penghasil karbohidrat terbesar di Indonesia. Potensi produksi pati kering sagu 20 40 ton/ha/tahun.[25]

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi sagu antara lain:

  1. Benih diadakan secara vegetatif yaitu dari anakan yang tumbuh pada pokok yang sehat. Anakan yang dijadikan bibit berumur minimal 6 bulan atau berbobot sekitar 2–3 kg. Persemaian bibit dilakukan selama kurang lebih 3-4 bulan (sampai memiliki 2-3 daun) sebelum pertanaman ke lapangan untuk memberikan persentase tumbuh bibit yang tinggi.

  1. Bibit ditanam di lubang tanaman yang telah disiapkan pada jarak 8m x 8m x 8m atau 9m x 9m x 9m tergantung dari jenis sagu yang ditanam. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm. Bagian pangkal bibit dimasukkan ke dalam lubang kemudian di sekeliling bibit ditutup kembali dengan tanah hasil galian lubang tanam, top soil dimasukkan terlebih dahulu kemudian diikuti sub soil. Tanah di sekeliling bibit agak dipadatkan agar bibit dapat berdiri kokoh dan tegak.

  1. Pemeliharaan yang akan dilakukan agar pertumbuhan sagu maksimal adalah: (1) inventarisasi pokok dan penyisipan dilakukan sampai umur satu tahun, (2) pengendalian gulma di piringan pokok (circle weeding) dengan frekuensi 3 bulan sekali, (3) pengendalian hama penyakit sesuai keperluan, (4) pemupukan disesuaikan dengan umur dan (5) penjarangan apabila sudah diperlukan.

Produksi sagu terbesar pada Perkebunan Rakyat (PR) terjadi tahun 2015 yakni sebesar 277.129 ton sedangkan pada Perkebunan Swasta (PBS) produksi terbesar juga terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 146.817 ton. Luas areal penanaman sagu pada PR terbesar terjadi pada tahun 2015, yakni 176.215 ha sedangkan pada PBS luas areal konstan, yakni sebesar 20.200 ha. Sagu tidak ditanam pada Perkebeunan Negara (PBN). Produktivitas sagu terbesar pada PR terjadi pada tahun 2014 dengan nilai sebesar 4.404 kg/ha sedangkan pada PBS terjadi pada tahun 2015 dengan nilai sebesar 8.462 kg/ha. Volume ekspor sagu Indonesia secara umum menunjukkan tren positif sejak tahun 2010 hingga 2015, meski mengalami penurunan pada tahun 2011. Volume terbesar yakni 10.316 ton terjadi pada tahun 2015. Volume impor Indonesia mengalami fluktuasi dengan nilai terbesar yaitu 6.648 ton pada tahun 2011 dan nilai terkecil yaitu 8 ton pada tahun 2012.

 
Proses[pranala nonaktif permanen] Pemotongan Batang Sagu

Tanaman sagu bisa dipanen saat berumur 10-12 tahun. Panen sagu yang lama menyebabkan petani sagu memerlukan sumber pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga terjerat pada sistem ijon dengan menjual pohon sagu pada usia muda atau sebelum masa panen. Banyak masyarakat Desa Tanjung Peranap yang menebangi hutan dan bakau karena tidak adanya lapangan pekerjaan. Desa Tanjung Peranap terletak di daerah marjinal yaitu lahan gambut, penebangan hutan dan pembuatan kanal untuk mengangkut kayu hasil tebang dapat menyebabkan kebakaran hutan dan ketidak seimbangan ekosistem. Pengambilan bakau di sepanjang garis pantai dapat menyebabkan berkurangnya wilayah daratan karena abrasi. Pendapatan lain bisa didapatkan dengan mengoptimalisasikan penggunaan lahan sagu. Menurut Bintoro et al. (2017) kebun sagu dapat dikombinasikan dengan sistem mina sagu dan tumpang sari. Sistem mina sagu dapat dilakukan dengan membuat di lahan atau kolam terpal di antara tegakan pohon sagu. Selain sistem mina sagu, dapat juga dilakukan tumpang sari penanaman sayuran atau tanaman pangan diantara tegakan sagu. Sayuran yang dapat ditanam seperti jagung, cabai, kangkug, terung, buncis, timun, tomat bayam. Kegiatan mina sagu dan tumpang sari dilakukan agar meningkatkan penghasilan masyarakat pegiat tanaman sagu.[25]

Menurut Beets (1982) dibutuhkan teknik budidaya pertanian yang mampu meningkatkan efisiensi penggunaan lahan. Efisiensi penggunaan lahan usahatani yang lebih produktif antara lain dengan mengusahakan beberapa jenis tanaman pada sebidang lahan yang sama. Teknik penanaman yang dapat dilakukan yaitu tumpang sari (inter cropping), tanaman sela (alley cropping), dan tumpang gilir (relay cropping). Tanaman sela (alley cropping) berkontribusi untuk meningkatkan iklim mikro kondisi lahan pertanian yang subur dan dapat meningkatkan hasil panen, lebih efisien penggunaan sumber daya air dan peningkatan efisiensi penggunaan hara. kebutuhan input rendah pupuk, pestisida, dan tenaga kerja, tanaman lorong memiliki potensi untuk meningkatkan nilai ekonomi dari lahan yang subur. Pola tanam tumpang sari dapat mereduksi populasi hama pada tanaman pokok dengan tanaman lainnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian Setiawati dan Asandhi (2003) menunjukkan bahwa tumpangsari memberikan produktivitas total yang lebih tinggi (91-94%) daripada ditanam secara tunggal. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan sagu dan pertumbuhan terung sebagai tanaman sela.[25]

Potensi di Indonesia

Potensi tanaman sagu di Indonesia cukup besar, diperkirakan sekitar 1.128 juta ha atau 51.3% dari luas areal sagu dunia, dengan daerah penyebaran utama adalah Maluku, Papua dan beberapa daerah lain seperti di Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Sebagian besar dalam bentuk hutan sagu, yaitu sekitar 1.067.590 ha atau 90,3% dan tanaman sagu yang dibudidayakan secara tradisional sekitar 114.000 ha atau 9,7%.[26]

Provinsi dengan jumlah produksi sagu dan luas lahan tanam terbesar di Indonesia pada PR selama tahun 2015 adalah Provinsi Riau yaitu dengan luas lahan sebesar 63.491 ha dengan produksi 219.215 ton. Begitu pula pada PBS, Provinsi Riau memiliki luas lahan tanam dan produksi sagu terbesar bahkan menjadi satu-satunya provinsi yang memiliki PBS sagu di Indonesia, luas lahan sebesar 20.200 ha dan produksi 146.817 ton.[27] Lahan sagu dunia seluas 2,5 juta Ha, terdapat di Indonesia seluas 1,25 juta Ha (50 %), dan dari luas tersebut 1,2 juta Ha terdapat di Papua dan Papua Barat.[28] Jawa Barat bukan salah satu provinsi penghasil sagu di Indonesia namun Jawa Barat mempunyai pabrik tepung sagu yang salah satunya berada di Tangkil, Cintamekar, Serangpanjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

 
Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau

Salah satu Kabupaten di Riau yang memiliki potensi sagu terbesar adalah Kepulauan Meranti. Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kepulauan Meranti, produksi sagu pertahunnya mencapai 205.051896 ton dengan jumlah lahan sebesar 39.000 hektar kebun masyarakat. Sebagian besar kebun rumbia di Meranti merupakan perkebunan rakyat yang dikelola secara turun temurun dan belum secara budidaya. Meranti bahkan memiliki lebih dari 300 kuliner berbahan dasar sagu. Tak salah jika produksi sagu di Kepulauan Meranti bisa menjadi yang terbaik di Indonesia bahkan dunia. Untuk pasar dalam negeri, pasar di Cirebon jadi andalan utama dari Meranti. Dari Kota Terasi tersebut, sagu Meranti didistribusikan ke daerah lainnya di Nusantara. Sagu dari Meranti pun sudah berhasil menembus pasar ekspor. Tercatat, Meranti mengekspor 32.000 ton sagu kebeberapa negara tetangga dari total produksi. Ekspor sagu itu baru mencapai 15 persen dari total produksi komoditas tersebut dan akan terus ditingkatkan. Pasar ekspor utama dari Sagu Meranti adalah Jepang, setidaknya 50 ton sagu terbang langsung ke Negeri Matahari Terbit tersebut.[29]

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Howara et al. pada tahun 2016 di Desa Alindau, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, komoditas sagu cukup membantu perekonomian masyarakat setempat meskipun masih kalah dnegan komoditas lain. Usahatani sagu di Desa Alindau saat ini tidak menjadi andalan pendapatan keluarga petani, hal ini disesbabkan karena alih fungsi lahan menjadi uasaha tani lain. Penebangan liar terhadap daun sagu yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk makanan ternak maupun dijual, menyebabkan pohon sagu tidak tumbuh dengan baik. Pendapatan responden yang diperoleh dari usahatani sagu rata-rata sebesar Rp 865.000,00. Pendapatan keluarga yang diperoleh dari usahatani lain, seperti kakao dan padi lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari usahatani sagu itu sendiri. Sagu yang telah menjadi tepung akan dijual langsung ke pasar ataupun konsumen yang datang langsung ke kebun. Nilai tambah dari sagu itu sendiri tidak ada, karena pengolahan tepung sagu menjadi makanan tradisional di Desa Alindau tidak dilakukan oleh ibu (istri) petani responden.[30]

Produk Utama

Sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu sumber karbohidrat penting di beberapa bagian negara di dunia. Lebih dari 50% atau sekitar 1,1 juta ha diantaranya ada di Indonesia. Pati sagu dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan non pangan. Masyarakat di Papua, Maluku dan Sulawesi mengkonsumsi pati sagu sebagai bahan pangan pokok dalam bentuk kapurung atau papeda. Selain itu, pati sagu dikonsumsi dalam bentuk makanan tradisional seperti sagu lempeng/dange dan bagea. Pada sektor industri (pangan maupun non pangan) pati sagu dimanfaatkan dalam bentuk pati termodifikasi seperti pati teroksidasi maupun pati terfosforilasi.[31]

Dalam industri kertas, pati teroksidasi digunakan untuk bahan sizing dan coating (pelapis) untuk memproduksi kertas yang bermutu tinggi seperti kertas kalender dan kertas tulis halus. Pati teroksidasi juga digunakan sebagai bahan sizing dalam industri tekstil untuk memproduksi kain-kain halus dari bahan katun dan bahan sintetis campuran lainnya. Sedangkan pati terfosforilasi dapat dimanfaatkan dalam industri pangan, kertas, adhesive, tekstil, obat-obatan dan detergent. Dengan perkembangan teknologi, pati sagu dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan plastik yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradabel (Rindengan dan Karouw, 2003). Dalam industri pangan pati teroksidasi digunakan sebagai bahan pengental, emulsifier, pengikat, pencegah sineresis dan fungsi lainnya untuk mempertahankan mutu suatu produk pangan. Pati teroksidasi yang memiliki sifat gel yang stabil banyak digunakan pada industri candy atau permen.[31]

Prospek pasar sagu sebenarnya cukup baik. Permintaan terus meningkat baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Secara nasional permintaan diperkirakan mencapai ± 300.000 ton. Permintaan dalam negeri meningkat seiring dengan perkembangan industri makanan, farmasi dan lainnya. Pasar ekspor yang potensial yaitu Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Thailand dan Singapura.[31]

Persyaratan tertentu diperlukan untuk memenuhi permintaan pati sagu. Di Indonesia, standar mutu pati sagu dituangkan dalam SNI 01-3729-1995, berikut rinciannya.

Standar Mutu Tepung (Pati) Sagu
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan:
  • Bau
  • Warna
  • Rasa
-

-

-

-

-

Normal

Normal

Normal

2 Benda asing - Tidak boleh ada
3 Serangga (dalam segala bentuk stadia dan potongan-potongannya) - Tidak boleh ada
4 Jenis pati lain selain pati sagu - Tidak boleh ada
5 Air % (b/b) Maks. 13
6 Abu % (b/b) Maks. 0,5
7 Serat kasar % (b/b) Maks. 0,1
8 Derajat asam ml NaOH Maks. 4
9 SO2 1 N/100 gr Maks. 30
10 Bahan tambahan makanan (bahan pemutih) mg/kg Sesuai SNI 01-0222-1995
11 Kehalusan, lolos ayakan 100 mesh % (b/b) Min. 95
12 Cemaran logam:
  • Timbal (Pb)
  • Tembaga (Cu)
  • Seng (Zn)
  • Raksa (Hg)
-

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

-

Maks. 1,0

Maks. 10,0

Maks. 40,0

Maks. 0,05

13 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5
14 Cemaran mikrob:
  • Angka lempengan total
  • Escherichia coli
  • Kapang
-

koloni/g

APM/g

koloni

-

Maks. 106

Maks. 10

Maks. 104

Penerapan SNI tersebut dimaksudkan untuk pengaturan pasar domestik. Standar mutu yang tersedia, seyogianya dapat diterima oleh berbagai pelaku pasar. Namun di dalam SNI ada beberapa atribut mutu pati sagu yang dianggap penting tetapi belum dicantumkan. Atribut yang dimaksud antara lain adalah warna, kekentalan dan tingkat kehalusannya. Warna, kekentalan dan kehalusan termasuk sifat pati yang menentukan kegunaannya lebih lanjut. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji beberapa standar mutu pati sagu dan melihat peluang penambahan atribut mutu warna, kekentalan dan kehalusan di dalam SNI. Oleh karena itu, standar mutu idealnya memuat atribut-atribut mutu yang dapat mewakili kualitas pati.[31]

Produk Sekunder

Sagu (Metroxylon sago Rottb.) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang sangat potensial dalam mendukung program ketahanan pangan (Tarigans, 2001). Selain itu, sagu berpotensi sebagai substitusi bahan baku pembuatan kue, mie, makanan penyedap, berbagai jenis minuman, perekat, industri farmasi, biodegradable plastic dan sumber bahan baku etanol.[32] Standar mutu roti manis menurut SNI 01-3840-1995 adalah sebagai berikut.

Standar Mutu Roti Manis
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan:
  • Kenampakan
  • Bau
  • Rasa
-

-

-

-

-

Normal, tidak berjamur

Normal

Normal

2 Kadar air % (b/b) Normal
3 Kadar abu % (b/b) Maks. 40
4 Abu yang tidak larut dalam asam % (b/b) Maks. 3,0
5 NaCl % (b/b) Maks. 8,0
6 Gula jumlah % (b/b) Maks. 8,0
7 Lemak % (b/b) Maks. 3,0
8 Serangga/Belatung - Tidak boleh ada
9 Bahan tambahan makanan
  • Pengawet
  • Pewarna
  • Pemanis buatan
  • Sakarin siklamat

-

-

-

-

-

-

-

Sesuai SNI 01-0222-1995

-

Negatif

10 Cemaran logam

Raksa (Hg)

Timbal (Pb)

Tembaga (Cu)

Seng (Zn)

-

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

-

Maks. 0,05

Maks. 1,0

Maks. 10,0

Maks. 40,0

11 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0,5
12 Cemaran mikrob
  • Angka lempeng total
  • Escherichia coli
  • Kapang
-

Koloni/g

APM/gr

Koloni/g

-

Maks.

<3

Maks.

Produksi sagu kebanyakan masih dijual dalam bentuk hasil ekstraksi kasar atau produk tepung sagu yang belum dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sementara itu jika dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan menghasilkan tepung sagu yang siap pakai diharapkan dapat mengurangi impor gandum. Menurut catatan impor gandum yang mencapai 3.576.670 ton, senilai 503,31 juta dolar AS. Gandum merupakan bahan dasar untuk membuat tepung terigu yang banyak digunakan sebagai bahan utama membuat roti. Oleh karena itu diversifikasi pangan merupakan bentuk mengurangi impor gandum sebagai bahan utama tepung terigu dan meningkatkan ketahanan pangan. Upaya menekan impor beras dan tepung terigu melalui program peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri dan diversifikasi pangan pada dasarnya adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional yang sekaligus meningkatkan kesempatan ekonomi bangsa Indonesia.[33]

 
Olahan Makanan Berbahan Dasar Tepung Sagu

Pengembangan tepung sagu menjadi bahan pensubtitusi dalam pembuatan roti berbahan sagu menjadi langkah-langka penting dan nyata dalam melakukan diversifikasi pangan dan mengurangi impor gandum. Hal ini disebabkan roti telah menjadi bahan makanan yang popular di masyarakat. Perkembangan industri rumah tangga yang memproduksi roti telah mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir ini, khususnya di Kota Kendari. Jika di dalam pembuatan roti, semuanya menggunakan tepung terigu yang berasal dari gandum dapat dibayangkan kebutuhan akan gandum semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tepung sagu (pati sagu) dapat digunakan sebagai bahan substitusi maupun sebagai bahan utama produk pangan bergantung dari jenis produk yang akan dihasilkan. Pati sagu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan gizi lainnya yang dihasilkan berjumlah kecil. Namun perlu dicatat bahwa produk makanan yang dihasilkan dari pati sagu perlu ditambahkan dengan bahan yang memiliki kandungan gizi yang lebih baik dari pati sagu seperti Modified Cassava Flour (MOCAF).[33]

Kajian Metabolomik yang Telah Dilakukan

Pendekatan metabolomik telah digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara pohon sagu trunking dan non-trunking. Perbedaan antara kedua morfologi sagu tersebut terlihat dalam Representational Difference Analysis (RDA) dari ekspresi RNA, pola Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dari konten metabolit dan morfologi pati.[34] Metabolomik dapat berkontribusi untuk menemukan sumber baru metabolit penting, mengkarakterisasi bio-interaksi untuk meningkatkan strategi perlindungan tanaman, menentukan penanda biokimia untuk kualitas produk tanaman, dan mengembangkan program pemuliaan yang diarahkan oleh metabolit baru untuk tanaman yang lebih baik. Aplikasi metabolomik lainnya adalah mengikuti perubahan metabolisme selama panen dan pemrosesan, farmakologi komponen tanaman alami, aplikasi kesetaraan substansial dan mengeksploitasi keanekaragaman hayati dalam kerajaan tumbuhan.[35]

Pati adalah polisakarida utama yang disimpan dari tanaman hijau. Amiloplas adalah tempat di mana pati diproduksi dan kemudian pati diarahkan ke area penyimpanan utama yaitu benih, umbi dan akar. Pati yang diproduksi sangat stabil dan bertindak sebagai pasokan energi dan karbon untuk tanaman yang sedang berkembang. Pada tanaman, pati adalah polisakarida utama dan disimpan dalam jumlah banyak. Pati terdiri dari dua polisakarida utama yaitu amilosa dan amilopektin.[36] Pati sagu, yang merupakan produk utama ekspor pohon sagu, terletak di empulur pada bagian batang pohon sagu. Hal ini menunjukkan bahwa bagian paling berharga dari pohon sagu adalah batangnya. Di perkebunan sagu, ada beberapa pohon sagu yang tidak membentuk batang setelah siklus 8 tahun sehingga disebut sebagai pohon sagu tanpa batang (non-trunking). Hal ini membawa kerugian ekonomi pada perkebunan sagu yang mengurangi produksi pati sagu per hektar lahan.[35]

Ekspresi gen dalam pohon sagu non-trunking menjadi perhatian utama untuk mengatasi masalah tersebut karena pertumbuhan dan perkembangan tanaman diatur oleh gen. Oleh karena itu, perbandingan ekspresi gen pada pohon sagu trunking dan non-trunking dapat menentukan perbedaan ekspresi gen dari pohon sagu non-trunking yang berkontribusi pada masalah tersebut. Sekuensing langsung dari sagu sawit DNA mahal dan tidak menunjukkan ekspresi gen tetapi hanya menunjukkan variasi kode genetik jika ada antara sagu yang mungkin tidak berkontribusi pada masalah non-trunking. Sebagai hasilnya, analisis metabolit tanaman dipilih yang mewakili ekspresi gen pada pohon sagu.[35]

Sebagian besar informasi tentang struktur pati berasal dari studi tentang organ penyimpan pati dari spesies tanaman daripada daun, tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa pati dalam daun memiliki banyak kemiripan dengan pati dalam organ penyimpanan.[36] Pengujian dilakukan untuk menentukan variasi ekstrak daun pada populasi pohon sagu trunking menggunakan broad spectrum 1H NMR analysis yang memberikan keakuratan pada tes selanjutnya di mana penentuan ekspresi gen melalui perbandingan ekstrak daun sagu non-trunking dan sagu trunking. Analisis menggunakan NMR dapat dilakukan dalam bentuk ekstrak kasar tanpa pemisahan dan pemurnian menjadi senyawa metabolit murni di mana akan mengurangi kesulitan dalam memisahkan dan memurnikan campuran yang sangat kompleks dalam ekstrak tanaman mentah dan menjanjikan analisis cepat dibandingkan dengan metode lain.[35]

Analisis NMR adalah metode yang menjanjikan dalam analisis metabolit primer karena tidak merusak, dan spektrum dapat direkam dari suspensi sel, jaringan, dan bahkan seluruh tanaman, serta dari ekstrak dan metabolit murni yang nantinya dapat digunakan kembali untuk analisis selanjutnya dan ia menawarkan berbagai skema deteksi yang dapat disesuaikan dengan sifat sampel dan masalah metabolisme yang sedang ditangani. Dengan demikian berbagai analisis dapat dilakukan menggunakan NMR seperti menganalisis komposisi metabolit dari ekstrak jaringan, menentukan struktur metabolit baru, menunjukkan keberadaan jalur metabolisme tertentu secara in vivo, dan melokalisasi distribusi metabolit dalam jaringan.[35]

Penelitian lain yang dilakukan Alias (2012), bertujuan untuk mengetahui kandungan pati pada sagu trunking dan sagu non-trunking dengan menggunakan beberapa metode. Analisis dilakukan dan dibandingkan dengan sampel dengan sagu non-trunking. Perbandingan dilakukan dengan membandingkan struktur granula pati antara sagu trunking dan sagu non-trunking sehingga didapat kesimpulan bahwa struktur granula pati dari sagu trunking tidak sama dengan sagu non-trunking.[36]

Granula pati yang diekstraksi dari batang pohon sagu trunking berbentuk oval dan memiliki ukuran 20 μm. Bentuk granula pati dari batang pohon sagu trunking sama dengan batang pohon sagu non-trunking yaitu oval dan terpotong. Bentuk bundar dari granula pati mewakili bentuk granula pati ketika posisi horizontal.[36]

Terdapat banyak ukuran granula pati dari batang pohon sagu non-trunking yang dapat diamati yaitu berkisar antara 10 μm hingga 20 μm. Mayoritas bentuk granula pati dalam batang pohon sagu non-trunking sama dengan batang pohon sagu trunking. Ukuran granula pati juga sama. Sementara itu untuk daun batang pohon sagu trunking, butiran patinya berbentuk cakram dan lonjong serta ukurannya agak lebih kecil daripada di batangnya. Ukuran butiran pati berkisar dari 1 μm hingga 5 μm. Namun demikian, bentuk granula pati dari daun sagu non-trunking yaitu bulat dan kecil.[36]

Kajian Metabolomik untuk Peningkatan Kualitas Produk

Saat ini, pati sagu mulai dikembangkan untuk dijadikan beras analog bersama tepung singkong, jagung, dan sorgum. Salah satu alasannya adalah pati sagu memiliki karbohidrat yang jauh lebih tinggi daripada padi. Pati sagu memiliki karbohidrat sebesar 86,1 g per 100 g sedangkan padi memiliki karbohidrat sebesar 77,1 g per 100 g. Beras analog tersusun atas bahan utama berupa bahan yang kaya akan karbohidrat, sebagaimana fungsi beras pada umumnya yang merupakan sumber karbohidrat. Adapun ingredien beras analog terdiri atas pati, serat, lemak, air, bahan pengikat, serta bahan tambahan lain yang bersifat opsional, seperti pewarna, flavor, fortikan, dan antioksidan.[37] Akan tetapi, kandungan protein pati sagu masih jauh lebih rendah daripada padi. Padi mengandung 6,1 g protein per 100 g sedangkan pati sagu mengandung 0,1 g protein per 100 g.[38] Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis metabolomik untuk mengetahui metabolit-metabolit yang dapat membentuk protein sehingga nantinya produksi metabolit tersebut dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kandungan protein dalam pati sagu. Metode pengoptimalan produksi metabolit tersebut dapat dilakukan melalui rekayasa bioproses maupun rekayasa genetika.

Secara umum, pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian metabolomik untuk meningkatkan kualitas tanaman sagu dibagi menjadi tiga strategi yang berbeda, antara lain Fingerprinting, Profiling, dan Terget. Fingerprinting, dalam strategi ini, sidik jari kimia atau gambar dibuat dengan analisis langsung dari ekstrak sampel kasar, biasanya oleh MS, nuclear magnetic resonance spectrometry (NMR), atau spektrometri inframerah. Sidik jari ini dapat menjadi alat yang efisien untuk membandingkan dan mengklasifikasikan sampel tetapi tidak selalu memberikan informasi tentang terjadinya metabolit spesifik (apakah mereka diketahui atau tidak diketahui). Derivasi dari sidik jari adalah jejak di mana media pengeluaran bebas sel dianalisis untuk metabolit kiri (kadang-kadang juga disebut exometabolome). Profiling, ini bertujuan untuk mendeteksi sebanyak mungkin metabolit, apakah ini diketahui atau tidak diketahui. Namun, metabolit yang terdeteksi dengan profil harus dikenali secara konsisten dan juga harus dikuantifikasi. Profil biasanya dilakukan dengan kromatografi dalam kombinasi dengan MS atau dengan capillary electrophoresis (CE) yang dikombinasikan dengan MS. Target, analisis target bertujuan untuk mendeteksi dan mengukur metabolit spesifik. Banyak metode analisis yang berbeda dapat digunakan untuk tujuan ini, masing-masing dapat mendeteksi satu atau lebih metabolit.[39]

Dalam sejarah kuno

Rumbia (Melayu Kuno: rumviya) adalah salah satu dari empat macam palma yang disebut-sebut dalam Prasasti Talang Tuo dari tahun 684 M.[40]:39

Referensi

  1. ^ IUCN Detail 155290240
  2. ^ Rottbøll, C.F. (1783). "Beskrivelse over nogle Planter sra de malabariske Kyster". Nye Samling af det Kongelige Danske Videnskabers Selskabs Skrifter. II:527. Kiobenhavn.
  3. ^ POWO (2021). "Plants of the World Online". Facilitated by the Royal Botanic Gardens, Kew. Published on the Internet; http://www.plantsoftheworldonline.org/ (Metroxylon sagu Rottb.) Diakses tgl 03/08/2021.
  4. ^ a b c d Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia I: 380-90. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. (versi berbahasa Belanda -1922- I: 323-35. sebagai Metroxylon spec.div.)
  5. ^ Crawfurd, John (2017). Sejarah Kepulauan Nusantara: Kajian Budaya, Agama, Politik, Hukum dan Ekonomi. 1. Diterjemahkan oleh Zara, Muhammad Yuanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm. 281. ISBN 9786022584698. 
  6. ^ Ruddle, K., D. Johnson, P.K. Townsend & J.D. Rees (1978). Palm sago, a tropical starch from marginal lands. Honolulu: East-West Center.
  7. ^ a b Flach, M. (1997). "Sago palm. Metroxylon sagu Rottb." Promoting the conservationand use of underutilized and neglected crops, 13. Rome (Italy): International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI). <https://edepot.wur.nl/309044> ISBN 92-9043-314-X
  8. ^ Alchetron: Metroxylon, diakses tgl 03/08/2021
  9. ^ a b c Haryanto, B. & P. Pangloli (1992). Potensi dan pemanfaatan sagu. Yogyakarta: Kanisius.
  10. ^ Swinkels, J.J.M. (1985). "Sources of starch, its chemistry and physics". In Singhal et al., 2007. Industrial Production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers, Vol 72: 1-20.
  11. ^ a b Hrp, Bakhtiar Ruli et al. (2017). Kajian Budidaya Sagu (Metroxylon spp) Rakyat di Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. JOM Faperta 4(1):1-14.
  12. ^ Rumalatu, F.J. (1981). Distribusi dan potensi produk pati dari batang beberapa jenis sagu (Metroxylon sp.) di daerah Seram Barat. Fakultas Pertanian/Kehutanan Universitas Pattimura. (Tesis tidak diterbitkan).
  13. ^ Bakhriansyah, M., A. Febria & D. Rahmah (2011). "Efek antibakteri in vitro dan antidiare in vivo infusa akar sago (Metroxylon sagu)". Majalah Farmasi Indonesia, 22(3):158–165, 2011.
  14. ^ Hidaya, A.A.A., H.E. Narumi & A. Ma’ruf (2014). "Antibacterial test of rumbia root (Metroxylon sagu Rottb.) decoction against bacteria Salmonella pullorum". Veterinaria Medika, Vol. 7(2):166-171. (07-2014). ISSN 1979-1305
  15. ^ Rahayu, S. & Degi Harja. Hutan sagu: potensinya dalam REDD+. Artikel opini. Bogor: ICRAF.
  16. ^ Bintoro, M.H., N. Setiadi, D. Allorerung, W.Y. Mofu, & A. Pinem (2008). Laporan Hasil Penelitian Pembibitan dan Karekteristik Lingkungan Tumbuh Tanaman Sagu. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyrakat IPB.
  17. ^ Manwan, I,. Ismail, I. G. Alihamsyah, T,. Dan Partohardjono, S. 1992. Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Potensi, Relevansi, dan Faktor Penentu. Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Eds). Risalah Pertemuan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. SWAMPS II – Puslitbangtan.
  18. ^ Harjadi, Sri Setyanti. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  19. ^ Suryana A. 2007. Arah dan Strategi pengembangan sagu di indonesia. Makalah disampaikan pada lokakarya pengembangan sagu indonesia. Batam, 25-26 Juli 2007.
  20. ^ a b c Rahman, Hasan Basri Arif. 2017. Pertumbuhan Bibit Sagu Inkubasi dengan Pemberian Beberapa Taraf Perekat dan Pupuk Daun Majemuk (20-25-25). Skripsi.
  21. ^ Bintoro, H.M.H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. 11 September 1999. 70 hal.
  22. ^ Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication Exploitation and Products. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
  23. ^ Darwis, SN., 1992. Tata air dan curah hujan pada usaha tani kelapa pasang surut. Prossiding forum komunikasi ilmiah penelitian dan pengembangan kelapa pasang surut, 28-29 Agustus 1992. Puslitbangtri. Bogor.
  24. ^ Pranowo, D., H.T. Luntungan, D. Allorerung, Z. Untu. 1993. Budidaya tanaman kelapa di lahan pasang surut. Seri Pengembangn No. 22/1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
  25. ^ a b c Zuhro, Fatimatus. 2018. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sagu Dengan Tanaman Sela Terung Di Desa Tanjung Peranap Kabupaten Kepulauan Meranti. Skripsi IPB.
  26. ^ Budianto J. 2003. Teknologi sagu bagi agribisnis dan ketahanan pangan. Di dalam: Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu ; Manado, 6 Okt 2003. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 5-15.
  27. ^ Kementan. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Sagu 2015-2017. Jakarta: Kementerian Pertanian.
  28. ^ Kementan. 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan: Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Sagu. Jakarta: Kementan.
  29. ^ Sinartani. 2018. Sagu Riau Siap Jadi Komoditas Pangan Strategis Indonesia dan Dunia. [online] https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/pangan/6763-sagu-riau-siap-jadi-komoditas-pangan-strategis-indonesia-dan-dunia (diakses pada tanggal 5 April 2019, pukul 06.30 WIB).
  30. ^ Howara et al. 2016. Analisis Pendapatan Keluarga Petani Sagu di Desa Alindau Kecamatan Sindue Kabupaten Donggala. J. Agroland 23 (2): 94 – 100.
  31. ^ a b c d Widianingrum et al. 2005. Kajian terhadap SNI Mutu Pati Sagu. Jurnal Standardisasi 7(3), 91 – 98.
  32. ^ Pranamuda, M., Y. Tokiwa dan H. Tanaja. 1996. Pemanfaatan pati sagu sebagai bahan baku biodegradable plastik. Makalah Simposium Nasional Sagu III. Pekanbaru Riau, 27-28 Febrauri 1996.
  33. ^ a b Wahab, Djukrana. 2013. Pengolahan Roti Berbahan Sagu. AGRIPLUS, 23(3): 226-230, ISSN 0854-0128.
  34. ^ Hussain, M.H.M., Kamarol, S.I.L., Yan, W.J., & Alias, M.I.B. 2013. Molecular Approach in Determination of Contributory Factors in Trunking and Non-Trunking Sago Palm.
  35. ^ a b c d e Yan Wei Jie. 2010. Spectroscopy Profiling of Trunking Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) using Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Dissertation. Universiti Malaysia Sarawak.
  36. ^ a b c d e Alias, M.I.B. 2012. Analysis of Starch from Trunking and Non-Trunking Sago Palm (Metroxylon sagu sp.). Dissertation. Universiti Malaysia Sarawak.
  37. ^ Sadek et al. 2015. Potensi Beras Analog sebagai Alternatif Makanan Pokok untuk Mencegah Penyakit Degeneratif. PANGAN, 25(1): 61 – 70.
  38. ^ Yamamoto, Yoshinori. 2014. Sago as an Approach to Food and Nutritional Security. Faculty of Agriculture, Kochi University, Japan. The Global Food Security Forum: 2014.07.07-08. in KL.
  39. ^ Smedsgaard, Jorn, Silas G. Villas-Bôas, Ute Roessner, Michael A. E. Hansen, & Jens Nielsen (2007). Metabolome Analysis: An Introduction. John Wiley & Sons, Inc.
  40. ^ Coedes, G. (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya", BEFEO tome 30(1): 29-80.

Pranala luar