Kesultanan Jailolo
Kesultanan Jailolo adalah salah satu kesultanan yang pernah berkuasa di Kepulauan Maluku. Pendirian kesultanan ini berawal dari Persekutuan Moti yang diusulkan oleh Sultan Sida Arif Malamo.[1] Kesultanan Jailolo adalah satu-satunya kesultanan di Maluku Utara yang pusat pemerintahannya berada di Pulau Halmahera.[2] Selain itu, wilayah Kesultanan Jailolo adalah salah satu sumber penghasil cengkih di Kepulauan Maluku.[3] Kesultanan Jailolo telah berdiri sejak abad ke-13 Masehi. Pada abad ke-17, kesultanan ini mengalami keruntuhan. Wilayah-wilayahnya kemudian terbagi menjadi bagian dari Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.[4]
Kesultanan Jailolo كسلطانن جايلولو Jiko Ma-Kolano | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1300-an | |||||||
Jailolo dan Halmahera | |||||||
Ibu kota | Jailolo, Halmahera Barat | ||||||
Bahasa yang umum digunakan | Ternate | ||||||
Agama | Islam (setelah abad ke-15) | ||||||
Pemerintahan | Kesultanan | ||||||
Sultan, Jiko ma-kolano | |||||||
• sebelum 1514 – 1530 | Raja Yusuf | ||||||
• 1536 – 1551 | Katarabumi | ||||||
• 1825 - 1832 | Muhammad Asgar | ||||||
Sejarah | |||||||
• Didirikan | 1300-an | ||||||
• Mulai menganut Islam | akhir abad ke-15 | ||||||
• Penaklukkan oleh Kesultanan Ternate | 1551 | ||||||
• Pemimpin terakhir dilengserkan Belanda | 1832 | ||||||
• Sultan diangkat kembali | 2002 | ||||||
| |||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||
Jauh sebelum perjanjian Moti Verbond, Kesultanan Jailolo Awal diperintah oleh Seorang Ratu yang menurut beberapa sumber diketahui menguasai separuh Pulau Halmahera. Ratu Jailolo ini menurunkan penguasa lokal yang kemudian dikenal dengan Sangaji Gamkonora.[5]
Sangaji Gamkonora adalah Penguasa lokal Independent di Halmahera yang memiliki wilayah kekuasaan sendiri dan batas wilayahnya dari gunung oon "kie oon" berbatasan dengan sahu di bagian selatan dan loloda "batu tua masoselo" mari poroco kaha tola di bagian utara dan ke pedalaman hutan berbatasan dengan kie madudu lembah Kaoe/Kau.
Penguasa Gamkonora awal berasal dari Trah Ratu Halmahera/Jailolo awal yang menikah dengan Raja Loloda. Menurut legenda Biku Sagara, Raja-raja Maluku berawal dari empat buah telur naga yang menetaskan tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Dari tiga orang anak laki-laki itu, seorang menjadi Raja Bacan, yang lain menjadi Raja Papua, dan seorang lagi menjadi penguasa Butung dan Banggai, sementara yang perempuan adalah Ratu Jailolo yang menjadi permaisuri Raja Loloda. Legenda ini sama seperti legenda lainnya di Nusantara yang kurang lebih sebagai kiasan sastra awal yang memiliki makna bahwa Naga dalam mitos bangsa Cina melambangkan bangsawan atau orang yang dipandang memiliki derajat kedudukan tinggi.
Ratu Jailolo Mo-Mole; Dia perempuan-Sakti bertahta di Gamkonora tepatnya di Nguadi Cim/Ngidi Cim, sebuah sungai yang menghubungkan pemukiman orang Gamkonora awal dengan pesisir laut Halmahera Muka. Ratu Jailolo menikah dengan Raja Loloda untuk misi menguasai Halmahera, Mo-mole / Ratu dikenal dengan nama Boki Cendana.
Setelah Ratu Jailolo meninggal, Loloda mampu melepaskan diri dan memantapkan wilayah kekuasaanya sendiri.
Tahun 1322 dalam beberapa literatur tercatat para penguasa di Maluku menggelar pertemuan yang dikenal dengan persekutuan Moti "Moti Verbond" ketika kabar Portugis mulai melirik Kepulauan Maluku untuk monopoli Cengkeh, muncullah penguasa baru Maluku dengan Raja dan wilayahnya masing-masing diantaranya Kerajaan Jailolo, Bacan Tidore dan Ternate. Dalam persekutuan ini Loloda tidak ikut.
Penguasa Gamkonora kemudian menjadi sebuah pemerintahan yang independen namun masih memakai gelar Rajamakawasa "Raja yang berkuasa", dan pada gilirannya gelar ini masih disematkan kepada setiap penguasa berikutnya yang bergelar Sangaji Gamkonora ketika Gamkonora menjadi vasal Kesultanan Ternate.
Tecatat tahun 1546, Sultan Ternate bernama Khairun menikah dengan saudara perempuan Laliatu Tomagola penguasa Gamkonora saat itu, perkawinan politik yang mampu mengikat hubungan Trah Ratu Jailolo untuk menguasai wilayah Eks-Jailolo awal. Untuk diketahui keturunan Boki Cendana "Ratu Jailolo" dikenal dengan Klan Tomagola atau Soang Sangaji.
Setelah pernikahan Khairun dengan Boki Gamkonora, Ternate akhirnya memiliki sumber daya baru untuk kebutuhan pasukan perang.
Tahun 1546 Penguasa Gamkonora Ramedi yang dikenal dengan nama Leliatu Tomagola "ipar Sultan Khairun" mampu mengumpulkan kawulanya yang hijrah ke Talaga Lina atas bantuan Portugis dan Ternate. Talaga Lina (Soang Linga) Sebuah danau di pedalaman Halmahera Utara, tempat persembunyian bala/rakyat Jailolo awal di masa Boki Cendana yang tiran berkuasa.
Dirunut kebelakang sepeninggal Boki Cendana, dan pecahnya perang Jailolo awal, Klan Tomagola sebagai keturunan langsung Boki Cendana kemudian bergabung dengan Terbate dan menjadi salah satu peletak dasar kesultanan Ternate Awal ketika Penguasa Gamkonora bernama Kibuba membantu Ternate dalam ekspansi ke wilayah kepulauan Amboina dan Seram di masa berkuasanya Sultan Zainal Abidin, awal mula Klan Tomagola Gamkonora turut andil dalam politik teritorial Kesultanan Ternate.
Berikutnya setiap Sangaji Gamkonora yang berkuasa harus dari Trah Boki Cendana "Ratu" yang belakangan di sebut Soang Sangaji. Meski nama Klan Tomagola lebih familiar di Kesultanan Ternate sebagai representatif Jailolo awal atau orang Gamkonora, namun di Gamkonora sendiri, Tomagola lebih dikenal sebagai nama sebuah lembah dekat sungai tempat menepinya Boki Cendana dan abdi dalamnya.
Di Gamkonora, setiap kepala Soang/Songa (Soa/marga) ditunjuk oleh i’ingin (rakyat) dari perwakilan setiap Soang (Soa).
Soang (Soa/marga) di Gamkonora terdapa Soang Siol (Sembilan Soa/marga) yang terdiri dari:
- Salo'a
- Tadigel
- Biara ie
- Gam Longa
- Gaong Ngo'a
- Doi Tia
- Tala Antu
- Linga (Lina)
- Biti Mangi'id
Soang Lata atau Wala Lata (Empat Mata Rumah) sebagai representatif i'ingin rakyat dalam wilayah pemerintahan Gamkonora sekaligus pengambil kebijakan dunia luar untuk perang dan perdagangan.
Gamkonora memiliki 4 perwakilan pengambil kebijakan sebagai pertimbangan untuk penguasa Gamkonora dalam memerintah yakni terdiri dari ;
- Wala Raba-raba
- Wala Arab
- Wala Cina
- Wala Sa'e
Dalam struktur pemerintahan urusan dunia dibantu Jou Kapita, Jou Hukum Sangaji, Juru Tulis, Banyira/Fanyira, Juru mudi la'o, Baru-baru/prajurit, ake balo/ anak buah kapal perang sangaji, guda-guda/pekerja.
Untuk urusan bobato akhirat/keagamaan dan spiritual dibantu Imam, Khatib, Modim, Joguru, Juru mudi gunung/Paseba, Mu'alim / pemandu jalan ke Gunung Gamkonora.
Gamkonora menganut sistem semi-independent yang mengatur wilayah pemerintahan dan armada perangnya sendiri.
Demikian segala dinamika berdirinya Kesultanan Jailolo yang awalnya diperintah oleh Ratu Perempuan (Mo-mole) kemudian beralih ke Kolano dan diakui sebagai Kerajaan terbesar di masa Katarabumi yang oleh sumber Portugis disebut Raja terkuat Maluku setelah melalui proses panjang yang diwarnai dengan perang saudara dan ekspansi kerajaan besar Ternate terhadap Jailolo lalu kemudian turun statusnya setingat distrik yang diperintah oleh Fanyira Jailolo dan belakangan dikenal dengan nama Kesultanan Jailolo.
Kesultanan Jailolo didirikan kembali secara adat setelah era reformasi dimulai pada tahun 1998. Bersamaan dengan itu, komunitas adat Moloku Kie Raha dibentuk kembali. Selama periode 2002–2017, telah terpilih empat keturunan dari Kesultanan Jailolo sebagai pemimpin adat.[6] Kesultanan Jailolo tidak memiliki banyak peninggalan arkeologi. Bekas Istana Kesultanan Jailolo tidak ditemukan sama sekali. Peninggalan yang tersisa hanya berupa benteng, masjid, dan makam kuno.[7]
Identifikasi Kesultanan
Kesultanan Jailolo mulai didirikan kembali secara adat setelah era reformasi dimulai pada tahun 1998. Komunitas adat Moloku Kie Raha mulai dibentuk kembali. Selama periode 2002—2017 sultan yang berkuasa yaitu Abdullah Sjah (meninggal dunia pada hari Selasa 23 Oktober 2017.
Wilayah kekuasaan
Kesultanan Jailolo menjalankan pemerintahan yang didasarkan pada Persekutuan Moti. Persekutuan ini ditetapkan oleh para Sultan di Kepulauan Maluku pada tahun 1322. Wilayah-wilayah di Halmahera, Maluku, Raja Ampat hingga Kepulauan Sula dibagi antara Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan, dan Kesultanan Jailolo. Kesultanan Ternate menjadi penguasa tertinggi, Kesultanan Tidore menguasai wilayah daratan dan pegunungan, Kesultanan Bacan menguasai wilayah tanjung, sedangkan Kesultanan Jailolo menguasai wilayah teluk.[8]
Keagamaan
Kesultanan Jailolo mulai mengenal agama Islam setelah menjalin kerja sama perdagangan dengan para pedagang dari Pulau Jawa. Selain itu, masyarakat Jailolo mulai beragama Islam setelah Sultan Zainal Abidin kembali dari Kedatuan Giri dan mulai berdakwah di Kepulauan Maluku. Agama Islam semakin berkembang di Kesultanan Jailolo setelah Selat Malaka menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan para pedagang Arab dengan wilayah Indonesia Timur secara langsung.[9]
Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perkembangan kekuasaan Islam yang paling awal di Maluku Utara. Masyarakat Jailolo mulai meninggalkan pemikiran primitif sejak Islam diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik.[10] Kesultanan Jailolo menjalankan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya. Al-Qur'an dan nasihat para leluhur menjadi sumber hukum utama dalam menjalankan hubungan sosial. Kehidupan masyarakat sepenuhnya diatur oleh adat yang dikenal sebagai Adat Se Atorang.[11]
Kesultanan Jailolo bekerja sama dengan Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Bacan dalam menyebarkan Islam di Maluku Utara. Mereka menyebarluaskan tentang syariat, tarekat, hakikat dan makrifat Islam kepada masyarakat Maluku.[12] Peran masing-masing kesultanan diatur pada tahun 1322 dalam Persekutuan Moti. Urusan tarekat diserahkan kepada Kesultanan Tidore. Kesultanan Ternate diberi tanggung jawab dalam urusan syariat. Urusan hakikat diberikan kepada Kesultanan Bacan. Sedangkan Kesultanan Jailolo menerima tanggung jawab dalam urusan makrifat. Pada masa ini, perkembangan tarekat sangat pesat dengan disertai pembangunan masjid-masjid. Tarekat-tarekat yang berkembang yaitu Alawiyah, Qadiriyah, dan Naqsabandiyah. Masing-masing tarekat ini beribadah pada masjid yang terpisah, tetapi tetap saling menghormati dan rukun.[13]
Perdagangan
Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perdagangan cengkih di Pulau Halmahera pada abad ke-15.[14] Wilayahnya merupakan penghasil rempah-rempah sehingga menjadi tempat persinggahan para pedagang asing. Para pedagang asing ini berasal dari Arab, Eropa, Gujarat, Cina, Melayu, Jawa, dan Makassar.[15] Wilayah pesisir barat Pulau Halmahera menjadi pusat bandar-bandar perdagangan Kesultanan Jailolo.[16]
Keruntuhan
Pada tahun 1359, Kesultanan Ternate menyerang Kesultanan Jailolo atas perintah Gapi Malamo. Serangan kembali dilakukan oleh Komala Pulu pada tahun 1380 dan Taruwese pada tahun 1524 dan 1527. Serangan-serangan ini membuat wilayah kekuasaan dari Kesultanan Jailolo berkurang. Pada tahun 1534, Kesultanan Jailolo merebut kembali wilayahnya dengan dipimpin oleh Sultan Katarabumi dengan bantuan dari Portugis. Kesultanan Jailolo kemudian menyerang Kerajaaan Moro untuk memperluas wilayahnya. Penyerangan ini dibantu oleh Sultan Deyalo yang diberhentikan sebagai sultan dari Kesultanan Ternate oleh Portugis.[17]
Pada tahun 1551, Kesultanan Ternate menyerang Kesultanan Jailolo dengan bantuan dari Portugis. Serangan ini membuat sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Jailolo menjadi milik Kesultanan Ternate. Wilayah yang dikuasai kemudian diisi oleh Suku Ternate, sehingga masyarakat Jailolo khususnya Suku Wayoli pindah ke wilayah Kesultanan Jailolo yang lainnya.[18] Pada tahun 1620, Kesultanan Ternate kembali melakukan serangan dan dibantu oleh Belanda. Kedua serangan ini akhirnya mengakhiri kekuasaan dari Kesultanan Jailolo.[19] Pada tahun yang sama, Kesultanan Ternate menggabungkan bekas wilayah Kesultanan Jailolo menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya.[20] Kaicil Alam menjadi sultan terakhir dari Kesultanan Jailolo. Ia dinikahkan dengan saudari Sultan Sibori dan jabatannya diubah menjadi sangaji atau perwakilan Kesultanan Ternate. Kesultanan Jailolo sepenuhnya menjadi wilayah kekuasaan dari Kesultanan Ternate setelah Kaicil Alam wafat.[21]
Silsilah
Kerajaan Jailolo termasuk dalam salah satu dari Moloku Kie Raha atau empat penguasa wilayah Kepulauan Maluku. Kesultanan ini menjadi salah satu penguasa atau kolano, bersama dengan Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Bacan.
Kerajaan Jailolo sebagaimana tercatat dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca awalnya diperintah oleh Ratu Jailolo bernama Boki Cendana yang dikisahkan dalam legenda Biki Sagara adalah titisan dari 4 Telur Naga "Keturunan Orang Sakti".
Ratu Jailolo Boki Cendana kemudian menjadi Permaisuri Raja Loloda yang kemudian memberikan legalitas Jailolo menguasai separuh pulau Halmahera.
Boki Cendana menurunkan Klan Tomagola namun Klan ini memilih bergabung dengan Ternate sebagai mitra politik untuk mengamankan wilayah Jailolo awal yang kemudian dikenal dengan Kesangajian Gamkonora.
Pasca Klan Tomagola bergabung dengan Kesultanan Ternate, Kesultanan Jailolo pada gilirannya diperintah oleh Keturunan Syarif Ahmad Almauti yang pengaruhnya hanya sebatas pesisir Jailolo dan Sahu, sementara wilayahnya yang luas semasa Ratu Jailolo memerintah sebagiannya sudah menjadi perdikan Kerajaan Ternate seperti Gamkonora dan Moro.
Peninggalan
Benteng Gamlamo
Benteng Gamlamo dibangun untuk menghadapi serangan Kesultanan Ternate dan Portugis. Pembangunan benteng dipimpin oleh Sultan Katarabumi. Pondasi benteng dibuat dari bahan tanah dan batu. Sekelilingnya dibanguni tembok dengan dua kubu pertahanan. Benteng ini memiliki persenjataan berupa 100 pucuk senjata laras panjang,18 pucuk meriam, satu mortir, dan beragam senjata untuk mencegah pengepungan. Senjata-senjata ini berasal dari Pulau Jawa.[22]
Masjid Gammalamo
Masjid Gammalamo terletak di pesisir Teluk Jailolo. Keberadaan masjid ini menjadi salah satu peninggalan sejarah perkembangan Islam di wilayah pesisir Jailolo, Halmahera.[23] Pembangunan Masjid Gammalamo dimulai pada awal tahun 1900-an atas prakarsa suku-suku di Jailolo, yaitu Suku Moro, Suku Wayoli, Suku Porniti dan [[Suku Gamkonora].[24]
Nisan-nisan Kuno
Nisan-nisan kuno merupakan salah satu peninggalan Islam di Kesultanan Jailolo. Nisan-nisan ini ditemukan pada makam-makam yang ada di Desa Galala, Desa Gam Ici, dan Desa Gam Lamo. Ketiga desa ini berada di dalam wilayah Kecamatan Jailolo. Nisan-nisan kuno ini berbentuk pipih dan balok serta memiliki ornamen dengan ukiran kaligrafi dan bunga yang bersulur.[25]
Rujukan
- ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 197.
- ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 149.
- ^ Rahman, Fadly (2019), hlm. 353.
- ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 134.
- ^ Rajamakawasa, Gamkonora. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan); - ^ Mansur dan Said (2018), hlm. 137—138.
- ^ Handoko, Wuri (2010), hlm. 7.
- ^ Junaidi, Muhammad (2009), hlm. 231.
- ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 204.
- ^ Handoko, Wuri (2014), hlm. 100.
- ^ Junaidi, Muhammad (2009), hlm. 232.
- ^ Kader, Abdurrahman (2018), hlm. 1—2.
- ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 155.
- ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 106.
- ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 198.
- ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 114.
- ^ Junaidi, Muhammad (2009), hlm. 237.
- ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 142.
- ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 134.
- ^ Mansur dan Said (2018), hlm. 137.
- ^ Junaidi, Muhammad (2009), hlm. 238.
- ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 143.
- ^ Siswayanti, Novita (2016), hlm. 332.
- ^ Siswayanti, Novita (2016), hlm. 334.
- ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 199—200.
Daftar Pustaka
Buku
- Amir, Amrullah dan Utomo, Bambang Budi (2016). Aspek-aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur: Maluku & Luwu (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 978-602-1289-44-0.
Jurnal Ilmiah
- As'ad, Muhammad (2010). "Tradisi Tulis Masyarakat Maluku Utara". Al-Qalam. 16 (26): 171—180. doi:10.31969/alq.v16i2.483. ISSN 0854-1221.
- Handoko, Wuri (2010). "Perebutan Wilayah pada Masa Transisi Islam-Kolonial di Wilayah Kerajaan Jailolo". Kapata Arkeologi. 10 (2): 99—112. ISSN 1858-4101.
- Handoko, Wuri (2014). "Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan Hoamoal di Seram Bagian Barat". Kapata Arkeologi. 6 (1): 1—24. doi:10.24832/kapata.v10i2.226. ISSN 1858-4101.
- Jalil, Laila Abdul (2017). "Nisan Kuno di Jailolo: Bukti Perkembangan Islam Abad Ke-18 di Maluku Utara". Berkala Arkeologi. 37 (2): 195—207. doi:10.30883/jba.v37i2.214. ISSN 0216-1419.
- Junaidi, Muhammad (2009). "Sejarah Konflik dan Perdamaian di Maluku Utara (Refleksi Terhadap Sejarah Moloku Kie Raha)". Academica. 1 (2): 222—247.
- Kader, Abdurrahman (2018). "Upacara Ritual Dabus Masyarakat Tidore". Sejarah dan Budaya. 12 (1): 1—7. ISSN 1979-9993.
- Mansur, Mustafa dan Said, Rusli M. (2018). "Dinamika Sosial-Politik Kesultanan Jailolo (2002—2017)". Etnohistori. V (2): 136—161.
- Mansyur, Syahruddin (2016). "Sebaran Benteng Kolonial Eropa di Pesisir Barat Pulau Halmahera: Jejak Arkeologis dan Sejarah Perebutan Wilayah di Kesultanan Jailolo". Purbawidya. 5 (2): 133—150. doi:10.24164/pw.v5i2.97. ISSN 2252-3758.
- Pudjiastuti, Titik (2016). "Naskah-naskah Moloku Kie Raha: Suatu Tinjauan Umum". Manuskripta. 6 (1): 1—10. ISSN 2252-5343.
- Rahman, Fadly (2019). ""Negeri Rempah-Rempah": Dari Masa Bersemi hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah". Patanjala. 11 (3): 347—362. doi:10.30959/patanjala.v11i3.527. ISSN 2085-9937.
Buletin
- Siswayanti, Novita (2016). "Sejarah dan Peranan Masjid Gammalamo Jailolo Halmahera dalam Menyingkap Jejak Warisan Budaya Kesultanan Jailolo". Al-Turas. XII (2): 331—344. doi:10.15408/bat.v22i2.4049. ISSN 0853-1692.