Long March Siliwangi
Long March Siliwangi adalah peristiwa pindahnya Tentara Nasional Indonesia ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dari Jawa Barat pada 4 Februari 1949 sebagai konsekuensi dari perjanjian Renville yang merugikan Indonesia dan diikuti pelanggaran oleh Belanda dengan melakukan Agresi Militer Belanda II dengan menguasai Yogyakarta. Jenderal Sudirman segera mengeluarkan Instruksi Panglima Besar No. 1 sesuai perintah (Perintah Siasat No. 1) agar pasukan Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, setelah menyelesaikan pertempuran dengan PKI Muso.[1]
Pertempuran Ciseupan
Setelah pergerakan terjadi, segera meletus bentrokan di Ciseupan Desa Cibuluh Kecamatan Tanjungsiang. Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Ibu kota RI di Yogyakarta ketika itu direbut Belanda. Soekarno-Hatta beserta pemimpin Indonesia lainnya ditawan. Jendral Soedirman beserta seluruh kekuatan angkatan perang masuk hutan menjalankan perang gerilya melawan Belanda. Sementara Pasukan Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta segera melakukan long march, kembali menuju Jawa Barat pada 20 Desember 1948. Umumnya mereka menuju ke daerah-daerah tempat mereka berjuang sebelum hijrah. Batalyon Engkong Darsono menuju daerah gerilya Jakarta, Bogor, Bekasi dan Cianjur. Batalyon Lukas menuju Soeparjo menduduki daerah gerilya Ciasem.Dengan kembalinya Siliwangi ke daerah Jawa Barat, maka serangan-serangan kepada kedudukan Belanda makin meningkat. Pertempuran besar-besaran terjadi di daerah Ciseupan Kecamatan Tanjungsiang. Bagaimana kronologis terjadi pertempuran tersebut?
Ketika itu, Kamis 4 Februari 1949 di Desa Rancamanggung kedatangan 1.500 prajurit RI dari Batalyon 3001 Kiansantang yang ketika itu dipimpin oleh Mayor Engkong Darsono yang hijrah dari Yogyakarta menuju Bandung. Karena tidak tertampung semua di Desa Rancamanggung maka sebagian lagi tentara disebar ke daerah lain termasuk ke Kampung Ciseupan Desa Cibuluh tepatnya ke kampung Pasirsereh.Demi kelancaran dan keamanan, pimpinan Batalyon membuat surat. Satu ditujukan kepada Kepala Desa Cibuluh dan satunya lagi ditujukan ke Pimpinan Markas Besar Tentara Belanda yang berada di Cidongkol Subang, sedangkan yang terdekat markas Belanda berada di Kampung Cikaramas dan Gardusayang. Isi surat tersebut untuk meminta izin bahwa tentara RI akan menginap di Kampung Ciseupan dan Pasirsereh. Juga minta bantuan keamanan dari pihak Belanda dalam perjalanan menuju Bandung. Pihak Belanda pun mengizinkan menginap dengan syarat semua senjata harus diikat.
5 Februari 1949 sekitar pukul 04.00 tentara Belanda tiba-tiba datang ke Kampung Ciseupan 1 dari arah Bolang. Secara paksa tentara Belanda tersebut mengumpulkan pemuda dan masyarakat Ciseupan 1 untuk menunjukan lokasi pimpinan tentara RI di Pasirsereh. Dengan rasa takut masyarakat terpaksa mengantarkan ke lokasi. Sampai di kampung Ciseupan 2, sekitar pukul 05.00 pagi sehabis salat Subuh seorang bapak-bapak bernama Sanusi yang hendak pulang ke rumah dipanggil tentara Belanda. Sanusi mungkin tidak mengerti bahasa atau mungkin tidak mendengar ada yang memanggilnya, sehingga ia tetap saja berjalan. Ketika dia hendak membuka pintu rumahnya, pada waktu itu pula tentara Belanda menembakan senjatanya yang pada akhirnya Sanusi tewas. “Tewasnya Pak Sanusi merupakan korban pertama dari pihak sipil,” ungkap Ahmad.
Akhirnya Belanda melanjutkan perjalanannya menuju Kampung Pasirsereh dengan tujuan untuk menyergap tentara RI yang berada di kampung tersebut. Tentara Belanda datang secara tiba-tiba sedangkan tentara RI sedang istirahat, karena perlawanan tidak seimbang akhirnya tentara RI mundur ke daerah Rancamanggung. Walaupun ketika itu senjata banyak yang dirampas oleh pihak Belanda. Setelah mengadakan penyergapan ke lokasi, yaitu kampung Pasirsereh ternyata tidak menemukan tentara RI. Maka tentara Belanda kembali ke Kampung Ciseupan 2.Kemudian setelah itu prajurit RI yang berada di Ciseupan melapor kepada Mayor Engkong Darsono yang berada di daerah Rancamanggung bahwa di Ciseupan ada tentara Belanda. Setelah mendapat laporan tersebut, maka tentara RI dikerahkan ke Ciseupan.Sekitar jam 08.00 pagi tentara RI sudah berada di lokasi bernama Asem, sekarang sebelah utara Monumen Perjuangan ’45. Tentara RI melancarkan serangannya ke tentara Belanda yang berada di bawah, yaitu di sekitar kolam ikan aki Emar Ciseupan 2.
Diceritakan ulang oleh Ahmad, pertempuran terjadi sangat sengit. Tentara RI terus mendesak tentara Belanda. Hingga akhirnya Belanda mundur ke lokasi pesawahan sampai kampung Ciseupan 1. Kabarnya tentara Belanda berlarian tanpa membawa senjata dan tanpa berpakaian lengkap.Dalam pertempuran tersebut pihak sipil yang tertembak dan meninggal yaitu Usup, Damong dan Handa serta dua ekor kerbau tertembak mati. Setelah pertempuran berakhir diadakan penyisiran dan pengecekan oleh anak buah Mayor Engkong Darsono dan masyarakat. Ternyata lima orang tentara RI gugur dan tiga orang luka-luka, 41 tentara Belanda mati satu diantaranya berpangkat mayor, lima letnan dan 35 prajurit. Selain itu ditemukan pula dua buah pucuk mortar berikut 16 peluru dan 48 buah pucuk senjata jenis LE dan Stegnum dapat dirampas oleh tentara RI.Tentara Belanda yang berada di Ciseupan 1 menguhubungi markas besar. Tidak lama kemudian datang pesawat dengan terbang sangat rendah dengan menurunkan surat kepada tentara Belanda yang di Ciseupan satu tersebut. Isi surat itu berupa instruksi agar segara pihak Belanda yang berada di Ciseupan mundur ke markas besar di Gardusayang, Cisalak.
Pukul 17.00 pada hari yang sama, dengan memaksa rakyat untuk mengangkut korban dari pihak Belanda serta senjatanya ke Gardusayang.Sementara, di pihak tentara RI setelah selesai pertempuran merasa tidak aman. Akhirnya tentara RI membalikan lagi rute perjalanannya menuju Rancamanggung menuju daerah Ciburuan, Jingkang, Sumedang lalu menuju Subang.Seperti itulah cerita singkat pertempuran di Ciseupan. Untuk mengenang peristiwa dan kegigihan para pejuang Indonesia maka didirinkanlah monumen atau tugu yang diberi nama “Monumen Perjuangan 45 di Ciseupan Desa Cibuluh Kecamatan Tanjungsiang-Subang. Di monumen tersebut terdapat patung Mayor Engkong Darsono yang dikenang sebagai pimpinan pasukan pertempuran tersebut dan patung Harimau yang melambangkan Pasukan Batalyon 3001 Kiansantang (Siliwangi).