Sunda Kelapa
Sejarah Awal
Pelabuhan Sunda Kelapa konon sudah ada sejak abad ke-12. Kala itu pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat, Pajajaran, terletak dekat Kota Bogor sekarang. Kapal-kapal asing yang berasal dari China, Jepang, India Selatan, dan Arab sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi kekayaan tanah air saat itu. Bahkan, pada abad ke-15 sempat diperebutkan berbagai bangsa, seperti Portugis, Inggris, dan Belanda.</ br>
Abad 15
Pada tanggal 22 Juni 1527 terjadi peperangan antara pangilma perang Fatahillah atau Falatehan untuk mengusir penjajah Portugis dari pelabuhan ini. Sebelumnya negara dari Eropa Selatan ini berkat perjanjian kerjasama dengan Kerajaan Pajajaran telah diberikan hak untuk membangun loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kalapa. Perjanjian ini ditentang keras oleh kesultanan Islam Demak yang kemudian menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis
Abad 18
Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Karena akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan. Sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Padahal kala itu, kota Batavia mengalami percepatan dan sentuhan modern (modernisasi). Apalagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mempersingkat jarak tempuh berkat kamampuan kapal-kapal uap yang lebih laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Apalagi ketika itu Batavia menghadapi saingan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.</ br>
Maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km dari Sunda Kalapa untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia - Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi dibagian mulutnya.</ br>
Selain itu pada pertengahan abad ke-18 seluruh kawasan sekitar menara Syahbandar yang ditinggali para elit Belanda dan Eropa jadi tidak sehat. Dan segera sesudah wilayah sekeliling Batavia bebas dari ancaman binatang buas dan gerombolan budak pelarian, banyak orang berpindah ke wilayah selatan.
Pranala luar
- (Indonesia) Menyusuri Kota Tua Jakarta, Pikiran Rakyat
- (Indonesia) Pelabuhan Sunda Kelapa yang Terabaikan