Alkimia

protosains yang menggabungkan unsur-unsur kimia, fisika, astrologi, dll.
Revisi sejak 27 Februari 2011 11.44 oleh FoxBot (bicara | kontrib) (bot Mengubah: ta:இரசவாதம்)

Alkimia adalah protosains yang menggabungkan unsur-unsur kimia, fisika, astrologi, seni, semiotika, metalurgi, kedokteran, mistisisme, dan agama. Dua tujuan yang saling berkaitan yang diupayakan oleh banyak ahli alkimia adalah batu filosof, sebuah zat mitos yang memungkinkan terjadinya transmutasi logam biasa menjadi emas; dan panacea universal, obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit dan memperpanjang usia. Alkimia dapat dipandang sebagai cikal-bakal ilmu kimia modern sebelum dirumuskannya metode ilmiah.

Kata alkimia berasal dari Bahasa Arab al-kimiya atau al-khimiya (الكيمياء atau الخيمياء), yang mungkin dibentuk dari partikel al- dan kata Bahasa Yunani khumeia (χυμεία) yang berarti "mencetak bersama", "menuangkan bersama", "melebur", "aloy", dan lain-lain (dari khumatos, "yang dituangkan, batang logam"). Etimologi lain mengaitkan kata ini dengan kata "Al Kemi", yang berarti "Seni Mesir", karena bangsa Mesir Kuno menyebut negerinya "Kemi" dan dipandang sebagai penyihir sakti di seluruh dunia kuno.

Tinjauan umum

Pada umumnya, orang menganggap ahli alkimia sebagai ahli pseudosains yang berupaya mengubah timah menjadi emas, meyakini bahwa semua materi tersusun atas empat unsur tanah, udara, api, dan air, dan mengulik pingiran mistisisme dan Sihir. Dari sudut pandang masa kini, upaya dan keyakinan mereka dianggap memiliki keabsahan terbatas. Namun tidak halnya dalam konteks zaman mereka. Mereka mencoba menjelajahi dan menyelidiki alam sebelum tersedianya sebagian besar alat dan praktik ilmiah dasar, dan alih-alih bergantung pada pegalaman, tradisi, pengamatan dasar, dan mistisisme untuk mengisi lobang-lobang ini.

Untuk memahami para ahli alkimia, cobalah merenungkan betapa ajaibnya perubahan suatu zat menjadi zat lain, yang menjadi dasar metalurgi sejak dimulainya ilmu ini pada akhir zaman Neolitikum, bagi kebudayaan yang tidak memahami fisika atau kimia secara formal. Bagi ahli alkimia, tak ada alasan kuat untuk memisahkan dimensi kimiawi (material) dengan dimensi penafsiran, perlambangan, atau filsafat. Pada masa itu, fisika yang tak memiliki wawasan metafisika dianggap tak lengkap seperti halnya metafisika yang tak memiliki perwujudan fisik. Jadi, lambang dan proses alkimia biasanya memiliki baik makna batiniah yang merujuk pada perkembangan spiritual praktisinya, maupun makna material yang berkaitan dengan perubahan fisik zat.

Transmutasi logam biasa menjadi emas melambangkan upaya menuju kesempurnaan atau ketinggian tertinggi eksistensi. Ahli alkimia meyakini bahwa seluruh alam semesta sedang bergerak menuju keadaan sempurna; dan emas, karena tak pernah rusak, dianggap zat yang paling sempurna. Dengan mencoba mengubah logam biasa menjadi emas, mereka sebenarnya mencoba membantu alam semesta. Maka, cukup logis jika mereka berpikir bahwa dengan memahami rahasia ketakberubahan emas, mereka akan menemukan kunci untuk menangkal penyakit dan pembusukan organik; demikianlah pertautan antara tema-tema kimiawi, spiritual, dan astrologi menjadi ciri-ciri alkimia zaman pertengahan.

Maka, penafsiran naif sebagian ahli alkimia, atau harapan palsu yang dipromosikan sebagian yang lain, jangan sampai mengurangi nilai upaya para praktisi lain yang lebih tulus. Selain itu, bidang alkimia banyak berubah sepanjang zaman, dimulai sebagai cabang metalurgis/obat agama, menjadi dewasa menjadi bidang studi yang kaya dan sah, berdevolusi menjadi mistisisme dan penipuan blak-blakan, dan akhirnya memberikan sebagian pengetahuan empiris dasar untuk bidang kimia dan obat-obatan modern.

Hingga abad ke-18, alkimia dianggap sebagai ilmu serius di Eropa; contohnya, Isaac Newton mengabdikan banyak waktu untuk Seni ini. Ahli alkimia terkemuka lainnya di dunia Barat adalah Roger Bacon, Santo Thomas Aquinas, Tycho Brahe, Thomas Browne, dan Parmigianino. Penurunan alkimia dimulai pada abad ke-18 dengan lahirnya kimia modern, yang memberikan kerangka kerja yang lebih teliti dan andal untuk transmutasi zat dan obat-obatan, dalam desain baru alam semesta yang berdasarkan materialisme rasional.

Idealisme transmutasi zat dalam alkimia menjadi terkenal lagi pada abad ke-20 ketika para fisikawan mampu mengubah atom timah menjadi atom emas melalui reaksi nuklir. Namun, atom emas baru ini, karena merupakan isotop yang labil, hanya bertahan lima detik lalu terurai. Lebih belakangan, laporan mengenai transmutasi unsur atas-tabel — dengan cara elektrolisis atau kavitasi suara — menjadi pusat kontroversi fusi dingin (cold fusion) pada tahun 1989. Tak satu pun klaim-klaim ini dapat diduplikasi. Dalam kedua kasus ini, kondisi yang diperlukan berada jauh di luar jangkauan para ahli alkimia kuno.

Perlambangan alkimia sesekali digunakan pada abad ke-20 oleh psikolog dan filosof. Carl Jung memeriksa kembali perlambangan dan teori alkimia dan mulai menunjukkan makna batin dalam pekerjaan alkimia sebagai jalan spiritual. Filsafat, lambang, dan metode alkimia menikmati kelahiran kembali dalam konteks posmodern, seperti gerakan New Age. Bahkan sebagian fisikawan bermain-main dengan gagasan alkimia dalam buku-buku seperti The Tao of Physics dan The Dancing Wu Li Masters.

Sejarah alkimia menjadi bidang akademis yang giat. Seraya bahasa ahli alkimia yang kabur — dan tentunya hermetis — perlahan-lahan dapat "dipecahkan sandinya", para ahli sejarah menjadi semakin menyadari hubungan intelektual antara alkimia dengan segi-segi lain sejarah budaya Barat, seperti masyarakat Rosicrucian dan masyarakat mistis lainnya, sihir, dan tentu saja evolusi sains dan filsafat.

Sejarah

Alkimia mencakup beberapa tradisi filsafat yang tersebar selama empat ribu tahun dan tiga benua, dan ketertarikan umum mereka pada bahasa yang penuh sandi dan perlambangan menyulitkan kita melacak hal-hal yang memengaruhi dan hubungan "genetisnya".

Kita dapat membedakan sedikitnya dua benang utama, yang tampaknya tidak bercampur, setidaknya pada tahap-tahap awal: alkimia Tiongkok, berpusat di Tiongkok dan wilayah pengaruh budayanya; dan alkimia Barat, yang pusatnya berpindah-pindah antara Mesir, Yunani dan Roma, dunia Islam, dan akhirnya kembali ke Eropa. Alkimia Tiongkok berkaitan erat dengan Taoisme, sementara alkimia Barat mengembangkan sistem filsafatnya sendiri, yang hanya sedikit berkaitan dengan agama-agama besar Barat. Masih belum terjawab apakah kedua benang ini memiliki asal-usul yang sama, atau sejauh apa mereka saling memengaruhi.

Alkimia dan Astrologi

Alkimia di dunia Barat dan tempat-tempat lain yang mempraktikkannya secara luas berkaitan dan bertautan erat dengan astrologi bergaya Yunani-Babilonia tradisional; dalam berbagai hal, alkimia dan astrologi dibangun untuk saling melengkapi dalam pencarian pengetahuan gaib. Secara tradisional, setiap tujuh planet dalam tata surya yang dikenal orang zaman itu bertalian dengan, menguasai, dan mengatur logam tertentu.

Karena Isaac Newton merupakan ahli alkimia yang terkenal pada masanya, sedangkan astrologi dan alkimia (sampai sekarang pun) begitu berkaitan erat, mungkin sekali Newton memiliki pengetahuan yang baik tentang astrologi, atau setidaknya pemahaman dasar mengenai metodologi astrologi yang berkaitan dengan alkimia. Maka, secara logis, seseorang pastilah tahu banyak tentang astrologi agar dapat menggunakan alkimia secara efektif, dan Newton serta para ahli alkimia terkemuka lainnya tentu mengetahui hal ini.

Alkimia Tiongkok

Sementara alkimia Barat akhirnya berpusat pada transmutasi logam biasa menjadi logam mulia, hubungan antara alkimia Tiongkok dan obat-obatan lebih kentara. Batu filosof milik alkimiawan Eropa dapat diperbandingkan dengan Grand Elixir of Immortality yang dicari-cari para alkimiawan Tiongkok. Namun, dalam pandangan hermetis, kedua tujuan ini tidaklah berdiri sendiri, dan batu filsafat sering disetarakan dengan panacea universal. Dengan demikian, kedua tradisi ini mungkin memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang diperkirakan semula.

Bubuk hitam mungkin merupakan ciptaan terpenting alkimiawan Tiongkok. Disebut-sebut dalam teks abad ke-9 dan sudah digunakan dalam kembang api pada abad ke-10, bubuk ini sudah digunakan dalam meriam pada 1290. Dari Tiongkok, penggunaan mesiu menyebar ke Jepang, bangsa Mongol, dunia Arab, dan Eropa. Mesiu digunakan bangsa Mongol melawan bangsa Hongaria pada 1241, dan di Eropa dimulai pada abad ke-14.

Alkimia Tiongkok berkaitan erat dengan obat-obatan dalam bentuk Taoisme, seperti akupunktur dan moxibustion, dan dengan bela diri seperti Tai Chi Chuan dan Kung Fu (meskipun beberapa aliran Tai Chi meyakini bahwa ilmu mereka diturunkan dari cabang-cabang Higienis atau Filosofis Taoisme, bukan cabang Alkimia).

Alkimia India

Hanya sedikit yang diketahui di Barat tentang ciri-ciri dan sejarah alkimia India. Seorang alkimiawan Iran abad ke-11 bernama al-Biruni melaporkan bahwa mereka "memiliki ilmu yang mirip dengan alkimia yang asing bagi mereka, ilmu yang disebut Rasavātam. Nama ini berarti seni yang terbatas pada operasi, obat, senyawa, dan obat-obatan tertentu, yang sebagian besar diambil dari tumbuhan. Prinsipnya adalah mengembalikan kesembuhan bagi orang yang sakit parah, dan mengembalikan kemudaan bagi usia tua." Contoh teks terbaik yang berdasarkan pada sains ini adalah The Vaishashik Darshana karya Kanada (fl. 600 SM), yang menggambarkan teori atom seabad sebelum Democritus.

Alkimia di Mesir Kuno

Alkimiawan Barat umumnya menelusur asal-usul seni mereka ke Mesir Kuno. Metalurgi dan mistisisme bertautan erat di dunia kuno, karena perubahan bijih kusam menjadi logam berkilau pasti bagi mereka serupa sihir, yang dikuasai suatu aturan misterius. Oleh karena itu, diperkirakan alkimia di Mesir Kuno dikuasai oleh kelas pendeta.

Kota Iskandariyah di Mesir adalah pusat pengetahuan alkimia, dan tetap diagungkan hingga setelah keruntuhan budaya Mesir Kuno sekalipun, selama masa-masa Yunani dan Romawi. Sayangnya, hampir tak ada dokumen Mesir asli tentang alkimia yang masih tersisa sekarang. Andaikan ada, tulisan-tulisan itu kemungkinan besar hilang ketika Kaisar Diocletian memerintahkan pembakaran buku-buku alkimia setelah meredam pemberontakan di Iskandariyah (296), yang merupakan pusat alkimia Mesir. Alkimia Mesir sebagian besar dikenal melalui tulisan para filosof kuno (Helenisme) Yunani, yang sekarang hanya tersisa sebagai terjemahan Islam.

Menurut legenda, pendiri alkimia Mesir adalah Dewa Thoth, yang disebut Hermes-Thoth atau Thrice-Great Hermes (Hermes Trismegistus) oleh bangsa Yunani. Konon ia menulis sesuatu yang disebut 42 Kitab Pengetahuan, yang mencakup semua bidang pengetahuan — termasuk alkimia. Lambang Hermes adalah caduceus atau tongkat ular, yang menjadi salah satu dari banyak lambang utama alkimia. "Tablet Emerald" atau Hermetica karya Thrice-Greatest Hermes, yang dikenal hanya melalui terjemahan Yunani dan Arab, secara umum diakui telah membentuk dasar praktik dan filsafat alkimia Barat, yang disebut filsafat hermetis oleh para praktisi awalnya.

Inti pertama "Tablet Emerald" menyampaikan tujuan ilmu hermetis: "sebenar-benarnya, seyakin-yakinnya, dan tanpa keraguan, apa-apa yang di bawah itu sama dengan apa-apa yang di atas, dan apa-apa yang di atas sama dengan apa-apa yang di bawah, untuk menciptakan mukjizat satu hal" (Burckhardt, h. 196-7). Ini adalah keyakinan makrokosmos-mikrokosmos inti bagi filsafat hermetis. Dengan kata lain, tubuh manusia (mikrokosm) dipengaruhi oleh dunia luar (makrokosm), yang mencakup langit melalui astrologi, dan bumi melalui unsur (Burckhardt, h. 34-42).

Setelahnya, bangsa Masedonia yang berbahasa Yunani menaklukkan Mesir dan mendirikan kota Iskandariyah pada 331. Ini mempertemukan mereka dengan pemikiran Mesir.

Alkimia di dunia Yunani

Bangsa Yunani mengambil keyakinan hermetis bangsa Mesir dan memadukannya dengan filsafat Pythagoreanisme, ionianisme, dan gnostisisme. Pada intinya, Filsafat Pythagorean adalah keyakinan bahwa bilangan mengatur alam semesta, keyakinan yang berasal dari pengamatan bunyi, bntang, bentuk geometris seperti segitiga, atau apa pun yang perhitungannya dapat menghasilkan angka rasio. Pemikiran Ionia didasarkan pada keyakinan bahwa alam semesta dapat dijelaskan melalui mempelajari fenomena alam; filsafat ini diyakini diciptakan oleh Thales dan muridnya Anaximander, dan kemudian dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles, yang karya-karyanya menjadi bagian alkimia. Menurut keyakinan ini, alam semesta dapat digambarkan oleh beberapa hukum alam yang dapat diketahui melalui penjelajahan filosofis yang hati-hati, saksama, teliti. Komponen ketiga yang dimasukkan ke filsafat hermetis oleh bangsa Yunani adalah gnotisisme, keyakinan yang tersebar luas di Kekaisaran Romawi Kristen, bahwa dunia itu tidak sempurna karena diciptakan dengan cara yang tercacat, dan bahwa mempelajari sifat materi spiritual akan menuntun kita ke keselamatan. Mereka juga meyakini bahwa Tuhan tidak "menciptakan" alam semesta dalam makna klasik, tetapi bahwa alam semesta diciptakan "dari-Nya", tetapi kemudan rusak (bukan dirusakkan oleh pelanggaran Adam dan Hawa, yakni dosa waris). Menurut keyakinan Gnostisisme, memuja kosmos, alam, dan makhluk dunia, itulah memuja Tuhan Sejati. Kaum Gnostik tidak mencari keselamatan dari dosa, melainkan berupaya melepaskan diri dari ketidaktahuan, meyakini bahwa dosa hanyalah konsekuensi dari ketidaktahuan. Teori Platonis dan neo-Platonis tentang universal dan ke-Mahakuasa-an Tuhan juga diserap.

Sebuah konsep yang sangat penting yang diperkenalkan pada masa ini, berasal dari Empedocles dan dikembangkan Aristoteles, adalah bahwa semua hal di alam semesta terbentuk dari hanya empat unsur: tanah, udara, air, dan api. Menurut Aristoteles, setiap unsur memiliki lingkup asalnya, tempatnya kembali jika tidak terganggu (Lindsay, h. 16) .

Keempat unsur bangsa Yunani lebih merupakan aspek kualitatif materi, bukan kuantitatif sebagaimana unsur kimia modern. "...Alkimia sejati tak pernah menganggap tanah, udara, air, dan api sebagai zat fisik atau kimia sebagaimana makna katanya di masa kini. Keempat unsur ini sederhananya adalah sifat-sifat primer dan umum. Melalui sifat-sifat ini, zat nirbentuk dan kuantitatif dari semua benda mewujudkan dirinya dalam bentuk-bentuk yang jelas" (Hitchcock, h. 66). Para alkimiawan selanjutnya (jika Plato dan Aristoteles boleh disebut alkimiawan) mengembangkan aspek mistis konsep ini secara luas.

Alkimia di Kekaisaran Romawi

Bangsa Romawi mengambil alkimia dan metafisika Yunani, sebagaimana mereka menyerap sebagian besar pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada akhir Kekaisaran Romawi, filsafat alkimia Yunani telah digabungkan dengan filsafat bangsa Mesir dan membentuk aliran Hermetisisme (Lindsay).

Namun, perkembangan agama Kristen di Kekaisaran tersebut membawa jalur pemikiran yang bertolak belakang, berakar dari Agustinus (354-430 M), seorang filsuf Kristen awal yang menuliskan keyakinannya menjelang runtuhnya Kekaisaran Romawi. Pada intinya, ia merasa bahwa akal dan iman dapat digunakan untuk memahami Tuhan, tetapi filsafat eksperimental itu buruk: "Dalam jiwa juga terdapat, melalui indra badaniah ini, sejenis keinginan dan keingintahuan hampa yang bertujuan bukan untuk menikmati tubuh, tetapi memperoleh pengalaman melalui tubuh, dan keingintahuan hampa ini dihormati atas nama pembelajaran dan ilmu pengetahuan" (Agustinus, h. 245).

Gagasan Augustinian jelas-jelas menentang eksperimen, tetapi ketika teknik eksperimental Aristotelian tersedia bagi dunia Barat, teknik tersebut tidak ditolak. Namun, pemikiran Augustinian sudah mendarah daging dalam masyarakat Zaman Pertengahan dan digunakan untuk menuding alkimia sebagai ilmu yang tidak ilahiah. Pada akhirnya, pada akhir era pertengahan, arus pemikiran ini menciptakan celah permanen, yang memisahkan alkimia dari agama yang justru dahulu mendorong kelahirannya.

Sebagian besar pengetahuan Romawi tentang alkimia, sebagaimana pengetahuan Yunani dan Mesir, sekarang hilang. Di Alexandria, pusat pengkajian alkimia di Kekaisaran Roma, seni tersebut disampaikan dari mulut ke mulut dan untuk mempertahankan kerahasiaan, hanya sedikit yang dituliskan. (Sejak itu kata "hermetis" berarti "rahasia") (Lindsay, h. 155). Mungkin saja ada sebagian yang ditulis di Alexandria, dan kemudian hilang atau terbakar di masa-masa kericuhan setelah itu.

Alkimia di dunia Islam

Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, fokus perkembangan alkimia berpindah ke Timur Tengah. Yang diketahui tentang alkimia Islam jauh lebih banyak karena dokumentasinya lebih baik: malah, sebagian besar tulisan yang diturunkan selama bertahun-tahun diabadikan dalam bentuk terjemahan Islam (Burckhardt, h. 46).

Dunia Islam merupakan tempat peleburan bagi alkmia. Pemikiran Platonis dan Aristotelian, yang sudah sedikit-banyak disisihkan menjadi ilmu hermetis, terus diasimilasi. Alkimiawan Islam seperti Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (Rasis atau Rhazes dalam Bahasa Latin) juga menyumbangkan temuan-temuan kimiawi penting, seperti teknik penyulingan (kata alembic dan alkohol juga berasal dari Bahasa Arab), asam klorida, asam sulfat, dan asam nitrat, al-natrun, dan alkali — yang kemudian membentuk nama untuk unsur natrium dan kalium — dan banyak lagi. Penemuan bahwa air raja atau aqua regia, campuran asam nitrat dan asam klorida, dapat melarutkan logam termulia — emas — adalah penemuan yang mengompori imajinasi para alkimiawan selama seribu tahun berikutnya.

Para filosuf Islam juga memberikan sumbangan besar untuk hermetisisme alkimia. Penulis yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah Jabir bin Hayyan (جابر إبن حيان dalam Bahasa Arab, Geberus dalam Bahasa Latin; Geber dalam Bahasa Inggris). Tujuan utama Jabir adalah takwin, penciptaan buatan makhluk hidup dalam laboratorium alkimia, hingga dan termasuk manusia. Ia menganalisis setiap unsur Aristotelian, panas, dingin, kering, dan lembap (Burkhardt, h. 29). Menurut Jabir, dalam setiap logam, dua sifat ini berada di dalam dan dua berada di luar. Misalnya, timah itu dingin dan kering di luar, sedangkan emas itu panas dan lembab. Maka, Jabir berteori, dengan mengatur ulang sifat-sifat sebuah logam, bisa dihasilkan logam lain (Burckhardt, h. 29). Dengan penalaran ini, pencarian batu filosof diperkenalkan dalam alkimia Barat. Jabir mengembangkan numerologi yang rumit, yakni huruf-akar dari nama sebuah zat dalam Bahasa Arab, jika ditransformasi, akan berkaitan dengan sifat fisika unsur tersebut.

Sekarang sudah umum diterima bahwa alkimia Tiongkok memengaruhi alkimiawan Arab (Edwardes hh. 33-59; Burckhardt, h. 10-22), meskipun sejauh apa pengaruh itu masih diperdebatkan. Demikian pula, ilmu Hindu diasimilasi ke dalam alkimia Islam, tetapi, sekali lagi, besarnya dan pengaruhnya tidak banyak diketahui.

Alkimia di Eropa Zaman Pertengahan

Karena kuatnya hubungan dengan kebudayaan Yunani dan Romawi , alkimia diterima dengan mudah oleh filsafat Kristen, dan para alkimiawan Eropa zaman pertengahan memperluas penyerapannya terhadap pengetahuan alkimia Islam. Gerbert of Aurillac, yang kemudian menjadi Paus Silvester II, (meninggal 1003) adalah salah seorang di antara yang pertama membawa ilmu pengetahuan Islam ke Eropa dari Spanyol. Tokoh sesudahnya seperti Adelard of Bath, yang hidup pada abad 12, membawa pengetahuan tambahan. Tetapi sampai dengan abad 13 gerakan-gerakan tersebut terutama bersifat asimilatif. (Hollister h. 124, 294)

Pada periode ini muncul beberapa penyimpangan terhadap prinsip Augustinian dari para pemikir Kristen awal. Saint Anselm (10331109) adalah seorang Benedictine (pengikut St. Benedict) yang mempercayai bahwa keyakinan/iman harus mendahului rasionalisme, sebagaimana Augustine serta kebanyakan teolog sebelum Anselm mempercayai, akan tetapi Anselm lebih berpendapat bahwa iman dan rasionalisme bersifat sesuai dan ia menyemangati rasionalisme di dalam konteks Kristen. Pandangan-pandangannya menyiapkan tempat terjadinya ledakan filsafat. Saint Abelard seorang penganut karya Anselm, meletakkan dasar diterimanya pemikiran Aristotelian sebelum karya-karya pertama Aristoteles menjangkau dunia Barat. Pengaruh besarnya pada alkimia adalah keyakinannya bahwa alam semesta Platonis tidak memiliki eksistensi terpisah di luar kesadaran manusia. Abelard juga men-sistematika-kan analisis kontradiksi-kontradiksi filsafat. (Hollister, p. 287-8)

Robert Grosseteste (11701253) adalah perintis teori ilmiah yang kemudian digunakan dan dipoles oleh para ahli kimia. Ia mengambil metode analisis Abelard dan menambahkan penggunaan pengamatan, eksperimentasi, dan penyimpulan dalam membuat evaluasi ilmiah. Grosseteste juga banyak menjembatani pemikiran Platonis dan Aristotelian. (Hollister hh. 294-5)

Albertus Magnus (11931280) dan Thomas Aquinas (12251274) keduanya adalah pengikut Dominican yang mempelajari Aristoteles dan berusaha mendamaikan kesenjangan antara filsafat dengan agama Kristen. Aquinas banyak menyumbangkan karya dalam pengembangan metode ilmiah. Lebih jauh lagi, ia menyatakan bahwa alam semesta bisa diketahui dengan hanya melalui pemikiran logis: ini bertentangan dengan keyakinan Platonis yang umumnya dipegang bahwa alam semesta hanya bisa diketahui semata-mata melalui ilham ketuhanan. Magnus dan Aquinas adalah di antara yang pertama-tama menguji teori alkimiawi, dan mereka bisa juga dianggap sebagai alkimiawan, dengan perkecualian bahwa mereka hanya melakukan sedikit eksperimentasi. Salah satu sumbangan Aquinas yang utama adalah keyakinan bahwa karena akal pikiran tidak akan tidak sejalan dengan kehendak Tuhan, maka akal pikiran pasti sesuai dengan teologi. (Hollister h. 290-4, 355)

Seorang alkimiawan sejati pertama di Eropa Zaman Pertengahan adalah Roger Bacon. Karyanya untuk alkimia adalah sebanyak yang dihasilkan Robert Boyle untuk ilmu kimia dan Galileo Galilei untuk astronomi dan fisika. Bacon (12141294) adalah Fransiskan Oxford yang menjelajahi bidang ilmu optik dan bahasa selain alkimia. Ide pengikut Fransiskan untuk ambil bagian di dunia bukannya menolak dunia membawanya pada keyakinan bahwa eksperimentasi lebih penting daripada pemikiran: " Di antara tiga cara di mana manusia merasa memperoleh pengetahuan: otoritas (karena itu adalah haknya), pemikiran, pengalaman; maka hanya yang terakhirlah yang efektif dan mampu mendamaikan akal budi." (Bacon p. 367) "Ilmu Pengetahuan Eksperimental menguasai kesimpulan semua bidang ilmu pengetahuan. Ia mengungkapkan kebenaran-kebenaran di mana pembuktian dari prinsip/hukum-hukum umum tidak diketemukan sebelumnya." (Hollister h. 294-5) Roger Bacon juga dikenal sebagai yang memulai pencarian batu filsuf serta obat mujarab untuk kehidupan (the elixir of life): "Obat itu akan menghilangkan semua kekotoran dan sifat-sifat buruk dari beberapa jenis logam, dalam pendapat bijaksananya, melenyapkan banyak sifat-sifat buruk yeng mungkin telah berada di tubuh manusia selama berabad-abad." Ide tentang keabadian diganti dengan gagasan tentang umur panjang; setelah itu semua, kehidupan manusia di Bumi hanya sekedar menunggu dan menyiapkan diri untuk keabadian di dunia Tuhan. Ide tentang keabadian di Bumi tidak berbenturan dengan teologi Kristen.(Edwardes h. 37-8)

Bacon bukan hanya dikenal sebagai seorang alkimiawan di puncak zaman pertengahan,melainkan juga yang paling signifikan. Karya-karyanya dipakai oleh para alkimiawan yang tak terhitung jumlahnya dari abad limabelas sampai sembilanbelas. Alkimiawan lain di masa Bacon memiliki beberapa ciri yang sama. Pertama, dan yang paling jelas, yaitu hampir semuanya adalah anggota kependetaan (clergy). Mudahnya, ini disebabkan karena sedikit orang di luar sekolah parokial mendapatkan pelajaran yang meneliti karya-karya turunan dari karya Arab. Juga, alkimia pada masa ini disetujui oleh gereja sebagai metode yang baik untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teologi. Alkimia juga menarik bagi orang-orang gereja karena ia menawarkan pandangan rasionalistik tentang alam semesta di mana saat itu manusia baru mulai belajar tentang rasionalisme.(Edwardes h. 24-7)

Maka pada akhir abad tigabelas, alkimia berkembang menjadi sebuah sistem keyakinan yang hampir terstruktur. Para ahli percaya pada teori makrokosmos-mikrokosmos dari Hermes, itu berarti, mereka mempercayai bahwa proses yang berpengaruh pada mineral dan zat-zat lain juga akan berpengaruh pada tubuh manusia (misalnya, jika seseorang bisa mempelajari rahasia pemurnian emas, maka ia bisa menerapkan tekniknya untuk memurnikan jiwa manusia. Mereka percaya pada empat unsur dan empat kualitas yang telah diuraikan di atas, dan mereka memiliki tradisi kuat untuk membungkus ide-ide tulisan mereka ke dalam ruangan labirin jargon yang bersandi, penuh dengan jebakan yang membingungkan. Akhir kata, alkimiawan mempraktekkan seni mereka: mereka bereksperimen secara aktif dengan bahan kimiawi serta membuat observasi dan teori tentang bagaimana cara alam semesta bekerja. Keseluruhan filsafat mereka berkisar antara keyakinan mereka bahwa jiwa manusia terpisah di dalam diri manusia sejak jatuhnya Adam. Dengan memurnikan dua sisi jiwa itu, manusia bisa kembali menyatu dengan Tuhan. (Burckhardt h. 149)

Pada abad empatbelas, pandangan-pandangan ini mengalami perubahan penting. William of Ockham, seorang Fransiskan Oxford yang meninggal pada 1349, menyerang pandangan kaum Thomist tentang kesesuaian antara iman dan pemikiran. Pandangannya, diterima secara luas sekarang, bahwa Tuhan hanya semata-mata diterima lewat iman; Ia tidak bisa dibatasi oleh pemikiran manusia. Tentu saja pandangan ini tidak salah apabila seseorang menerima dalil tentang ketakterbatasan Tuhan versus keterbatasan kemampuan pemikiran manusia, tapi ini secara tidak langsung menghapus praktek alkimia di abad empatbelas dan limabelas. (Hollister p. 335) Paus Yohanes XXII di awal tahun 1300 mengeluarkan fatwa menentang alkimia, di mana hasilnya adalah membersihkan semua personinl gereja dari praktek Seni. (Edwardes, p.49) Iklim berubah, Black plague, dan meningkatnya peperangan serta bencana kelaparan yang menandai abad ini, tidak diragukan lagi juga menghambat pencarian filsafat secara umum.

 
Simbol misterius alkimia yang terpahat di batu nisan Nicholas Flamel berada di dalam Gereja Holy Innocents di Paris.

Alkimia dijaga kehidupannya oleh orang semacam Nicolas Flamel, ia patut diperhitungkan karena ia adalah seorang di antara sedikit alkimiawan yang menulis pada saat sulit tersebut. Flamel yang hidup dari tahun 1330 sampai 1417 merupakan pembuat pola dasar (archetype) dari alkimia tahap selanjutnya. Dia bukan seorang dari kalangan relijius sebagaimana kebanyakan pendahulunya, Dan seluruh ketertarikannya pada subjek seputar pencarian batu filsuf, di mana ia dianggap telah menemukannya; karya-karyanya banyak menghabiskan waktu dengan uraian proses dan reaksi-reaksi, tapi tidak pernah benar-benar memberikan rumus terjadinya transmutasi. Kebanyakan karya-karyanya bertujuan mengumpulkan pengetahuan alkimia yang telah ada sebelumnya, khususnya yang berkaitan dengan batu filsuf. (Burckhardt pp.170-181)

Selama akhir zaman pertengahan (1300-1500) para alkimiawan kebanyakan seperti Flamel: mereka berkonsentrasi pada pencarian batu filsuf dan obat awet muda (elixir of youth), yang sekarang dipercayai sebagai dua hal terpisah. Kiasan yang samar-samar dan simbolisme dalam tulisan mengarah pada penafsiran yang bervariasi. Misalnya, kebanyakan alkimiawan pada periode ini menafsirkan pemurnian jiwa untuk mengartikan transmutasi timah menjadi emas (di mana mereka percaya bahwa air raksa elemental, atau 'quicksilver', memiliki peranan penting). Mereka ini dianggap sebagai tukang sihir oleh kebanyakan orang, dan seringkali disiksa karena praktek-praktek mereka. (Edwards hh. 50-75; Norton hh lxiii-lxvii)

Tycho Brahe, yang lebih dikenal dengan penyelidikannya tentang astronomi dan astrologi, juga seorang alkimiawan. Ia memiliki laboratorium yang dibangun untuk tujuan itu di institut observatorium/riset Uraniborg.

Salah seorang yang namanya muncul di awal abad enambelas adalah Heinrich Cornelius Agrippa. Alkimiawan ini percaya bahwa dirinya adalah seorang ahli sihir, dalam arti sebenarnya merasa bahwa dirinya mampu memanggil makhluk gaib. Pengaruhnya tidak begitu berarti, tetapi seperti halnya Flamel, ia menghasilkan tulisan-tulisan yang menjadi acuan para alkimiawan tahun-tahun sesudahnya. Sekali lagi seperti halnya Flamel, ia berbuat banyak untuk mengubah alkimia dari filsafat yang sifatnya mistis menjadi magic okultis. Ia meneruskan filosofi para alkimiawan terdahulu, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan eksperimental, numerologi dsb., tapi ia menambahkan teori magic, yang mana ini menguatkan ide alkimia sebagai keyakinan okultist. Meskipun demikian, Agrippa adalah tetap seorang Kristen, walaupun pandangannya seringkali mengalami konflik dengan gereja. (Edwardes p56-9; Wilson p.23-9)

Alkimia di Zaman Modern dan Renaisans

Alkimia Eropa terus berlanjut seperti ini hingga terbitnya Zaman Renaisans. Era ini juga menyaksikan menjamurnya penipu yang menggunakan tipuan kimiawi dan sulap untuk "mendemonstrasikan" transmutasi logam biasa menjadi emas, atau yang mengaku memiliki pengetahuan rahasia yang — dengan modal awal "sedikit" — pasti akan mencapai tujuan tersebut.

Nama terpenting pada masa ini adalah Philippus Aureolus Paracelsus (Theophrastus Bombastus von Hohenheim, 14931541) yang mencetak alkimia menjadi bentuk baru, menolak sebagian okultisme yang telah bertimbun selama bertahun-tahun, mempromosikan penggunaan pengamatan dan eksperimen untuk mempelajari tubuh manusia. Ia menolak tradisi Gnotisisme, tetapi mempertahankan sebagian besar filsafat Hermetis, neo-Platonis, dan Pythagorean; namun, ilmu Hermetis memuat begitu banyak teori Aristotelian sehingga penolakannya terhadap Gnotisisme hampir tak ada artinya. Khususnya, Paracelsus menolak teori-teori sihir Agrippa dan Flamel. Ia tak menganggap dirinya seorang penyihir, dan mengecam orang-orang yang mengaku demikian (Williams hh. 239-45).

Paracelsus merintis penggunaan zat kimia dan mineral dalam bidang kedokteran, dan menulis "Banyak orang berkata bahwa alkimia bertujuan membuat emas dan perak. Bagiku, tujuan alkimia bukan itu, melainkan untuk mempelajari kebaikan dan kekuatan yang terkandung dalam obat" (Edwardes, h. 47). Pandangan hermetisnya adalah bahwa penyakit dan kesehatan dalam tubuh bergantung pada keselarasan antara manusia si mikrokosm dan Alam si makrokosm. Ia memakai pendekatan yang berbeda dengan para pendahulunya, yakni menggunakan analogi ini bukan dalam rangka pemurnian-jiwa, tetapi dengan maksud bahwa manusia harus memiliki keseimbangan mineral tertentu dalam tubuhnya, dan bahwa penyakit-penyakit tubuh tertentu dapat disembuhkan dengan obat tertentu (Debus & Multhauf, p.6-12). Meskipun upayanya mengobati penyakit dengan obat seperti air raksa mungkin tampak keliru dari sudut pandang modern, gagasan dasarnya tentang obat kimiawi ternyata bertahan diuji waktu.

Di Inggris, topik alkimia dalam masa ini sering dikaitkan dengan Dokter John Dee (13 Juli 1527Desember 1608), yang lebih dikenal sebagai astrolog, kriptografer, dan "konsultan ilmiah" umum bagi Ratu Elizabeth I. Dee dipandang sebagai ahli karya-karya Roger Bacon, dan cukup tertarik pada alkimia sehingga menulis buku tentang topik ini (Monas Hieroglyphica, 1564) dengan pengaruh Kabala. Teman Dee, Edward Kelley — yang mengklaim bercakap-cakap dengan malaikat melalui bola kristal dan memiliki bubuk yang dapat mengubah air raksa menjadi emas — mungkin merupakan asal-usul citra charlatan-alkimiawan yang banyak dikenal.

Di antara alkimiawan-alkimiawan lain pada masa ini, yang patut dicatat adalah Michał Sędziwój (Michael Sendivogius) (1566 - 1636), seorang alkimiawan berkebangsaan Polandia, filosof dan dokter, perintis ilmu kimia. Ia mengasumsikan bahwa udara mengandung oksigen, 170 tahun sebelum Scheele dan Priestley, dengan menghangatkan nitre (saltpetre). Dia menganggap gas yang dihasilkannya sebagai "minuman kehidupan".

Keruntuhan Alkimia Barat

Berakhirnya alkimia Barat disebabkan oleh bangkitnya sains modern, yang menekankan eksperimentasi yang setepat-tepatnya dan menganggap remeh "kebijaksanaan kuno". Meskipun benih peristiwa-peristiwa ini ditanam seawal abad ke-17, alkimia masih berjalan dengan baik selama dua ratusan tahun, dalam fakta ia mungkin telah mencapai titik terjauh (apogee)-nya pada abad 18. Akhir 1781 James Price menyatakan telah menghasilkan bubuk yang bisa men-transmutasi air raksa menjadi perak atau emas.

Robert Boyle (16271691), lebih dikenal dengan studinya tentang gas (cf. hukum Boyle) merintis metode ilmiah dalam penyelidikan kimiawi. Ia tidak memiliki asumsi apa-apa dalam eksperimennya dan ia menghimpun tiap data yang relevan; dalam sebuah eksperimen, Boyle akan mencatat tempat di mana eksperimen berlangsung, karakteristik angin, posisi matahari dan bulan, dan angka barometer, siapa tahu hal-hal tersebut terbukti relevan. (Pilkington h.11) Pendekatan ini suatu saat membawa pada pembentukan ilmu kimia modern pada abad 18 dan abad 19 , Berdasarkan penemuan revolusioner dari Lavoisier dan John Dalton — yang pada akhirnya menyediakan kerangka kerja yang logis, kuantitatif dan dapat diandalkan untuk memahami transmutasi materi, serta mengungkapkan kegagalan tujuan alkimia yang telah berlangsung lama seperti misalnya batu fisuf.

Sementara itu, alkimia Paracelsian menuntun pada pengembangan ilmu obat-obatan modern. Para eksperimentalis secara berangsur-angsur menemukan cara kerja tubuh manusia, seperti peredaran darah (Harvey, 1616), dan pada suatu saat mengetahui bahwa banyak penyakit disebabkan oleh infeksi kuman (Koch and Pasteur, abad 19) atau kekurangan vitamin dan zat gizi alami (Lind, Eijkman, Funk, et al.). Didukung oleh perkembangan paralel dalam ilmu kimia organik, ilmu pengetahuan baru itu dengan mudahnya menggeser alkimia dari perannya di bidang medis, interpretif dan preskriptif, sekaligus mengurangi harapan terhadap obat/ramuan ajaib dan membeberkan ketidakefektifan dan bahkan kadar racun yang dimiliki obat semacam itu.

Maka, ketika ilmu pengetahuan dengan mantap berlanjut menguak tabir dan merasionalkan mesin waktu alam semesta, yeng dibangun pada metafisika materialistik-nya sendiri, Alkimia dicabut dari hubungannya dengan kimia dan medis — tapi masih terbebani olehnya. Alkimia berkurang menjadi sebuah sistem filsafat yang dianggap sulit dimengerti, lemah hubungannya dengan dunia material, ia mengalami nasib yang serupa dengan disiplin ilmu esoteris lainnya seperti Astrologi dan Kabbalah: dikeluarkan dari kurikulum, dihindari oleh para pendukung sebelumnya, diasingkan oleh para ilmuwan, dan pada umumnya dipandang sebagai lambang charlatanism dan takhayul.

Perkembangan ini bisa ditafsirkan sebagai bagian dari reaksi yang lebih luas di dalam intelektualisme Eropa melawan gerakan Romantik dari abad sebelumnya. Mungkin akan bijaksana untuk meneliti bagaimana sebuah disiplin ilmu yang pernah mendapat martabat intelektual dan material, lebih dari dua ribu tahun, dapat dengan mudahnya lenyap dari alam pemikiran Barat.

Alkimia dalam sastra

Banyak pengarang mengecam alkimiawan dan menggunakannya sebagai bahan olok-olokan. Yang terkenal adalah naskah sandiwara The Alchemist oleh Ben Johnson.

Dalam buku anak Harry Potter, "Batu Filosof" disebut-sebut. Batu ini diciptakan oleh para alkimiawan dalam dunia ciptaan J.K. Rowling. batu ini bisa mengubah logam apapun menjadi emas murni, dan menciptakan "Minuman Kehidupan" yang membuat peminumnya hidup selamanya.

Di bagian kedua dari Faust, Johann Wolfgang von Goethe menggambarkan pelayan Faust, Wagner menggunakan ilmu alkimia untuk menciptakan homunculus.

Istilah alkimia kadang-kadang digunakan mengacu pada studi yang terhambat dalam rangka menjadi ilmu pengetahuan tetapi belum mencapai tahapan itu. Misalnya, Larry Niven dalam kisahnya Known Space menggambarkan psikologi abad duapuluh sebagai 'pada tahapan alkimia', sebelum disempurnakan oleh generasi selanjutnya menjadi benar-benar sebuah ilmu pengetahuan.

Rujukan

  • Augustine (1963). The Confessions. Trans. Rex Warner. New York: Mentor Books.
  • Burckhardt, Titus (1967). Alchemy: Science of the Cosmos, Science of the Soul. Trans. William Stoddart. Baltimore: Penguin.
  • Calian, George-Florin (2010). Alkimia Operativa and Alkimia Speculativa. Some Modern Controversies on the Historiography of Alchemy. Annual of Medieval Studies at CEU. 
  • Debus, Allen G. and Multhauf, Robert P. (1966). Alchemy and Chemistry in the Seventeenth Century. Los Angeles: William Andrews Clark Memorial Library, University of California.
  • Edwardes, Michael (1977). The Dark Side of History. New York: Stein and Day.
  • Eliade, Mircea (1978).The Forge and the Crucible. Chicago: University of Chicago Press.
  • Gettings, Fred (1986). Encyclopedia of the Occult. London: Rider.
  • Hitchcock, Ethan Allen (1857). Remarks Upon Alchemy and the Alchemists. Boston: Crosby, Nichols.
  • Hollister, C. Warren (1990). Medieval Europe: A Short History. 6th ed. Blacklick, Ohio: McGraw-Hill College.
  • Lindsay, Jack (1970). The Origins of Alchemy in Graeco-Roman Egypt. London: Muller.
  • Marius (1976). On the Elements. Trans. Richard Dales. Berkeley: University of California Press.
  • Norton, Thomas (Ed. John Reidy) (1975). Ordinal of Alchemy. London: Early English Text Society.
  • Pilkington, Roger (1959). Robert Boyle: Father of Chemistry. London: John Murray.
  • Weaver, Jefferson Hane (1987). The World of Physics New York: Simon & Schuster.
  • Wilson, Colin (1971). The Occult: A History. New York: Random House.
  • Zumdahl, Steven S. (1989). Chemistry. 2nd ed. Lexington, Maryland: D. C. Heath and Co.

Halaman alkimia lainnya

Filsafat alternatif

Hubungan ilmiah

Zat yang digunakan alkimia

Sumber lain

Pranala luar

Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA