Sinterklas Hitam
Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Sinterklas Hitam di en.wiki-indonesia.club. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan. (Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel) |
"Sinterklas Hitam", dari bahasa Belanda Zwarte Sinterklaas, adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 5 Desember 1957, yaitu hari sebelum perayaan Sinterklas. Setelah sebulan penuh suasana anti-Belanda yang turut dikobarkan presiden Soekarno, pada hari tersebut para warga Belanda dinyatakan "bahaya bagi negara" dan diseru untuk meninggalkan Indonesia. Perusahaan Belanda dinasionalisasi. Hampir 50 000 orang Belanda meninggalkan Indonesia di bulan-bulan berikut. Hubungan ekonomi antara kedua negara putus. Tanggal 17 Agustus 1960, hubungan diplomatis juga diputuskan.
Latar belakang
Latar belakang peristiwa tersebut adalah keengganan Belanda meninggalkan Papua Barat, ketidakpuasan Uni Indonesia Belanda serta kenyataan bahwa perekonomian masih dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Keengganan Belanda untuk menyerahkan wilayah Irian Barat disebabkan karena kebijakan baru dalam pembangunan beretika pada koloninya, untuk mencoba menjadikan Irian Barat sebagai wilayah persemakmuran. Juga oleh karena kehadiran Belanda di Irian Barat. Pada tahun 1955 di Irian Barat, Bahasa Belanda dijadikan bahasa nasional dan wilayah Irian Barat di integrasikan kedalam wilayah Kerajaan.
Gejolak dalam negeri
Presiden Soekarno harus menghadapi segala macam gejolak setelah Belanda akhirnya mengakui Republik Indonesia Serikat. Maret 1957 dinyatakan keadaan darurat. Selanjutnya Presiden Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin dengan Kabinet Karya. Soekarno menggunakan konfrontasi dengan Belanda untuk menguatkan rasa persatuan Indonesia.
Papua dan nasionalisasi
Daarnaast was het ook de eindfase van de "indonesianisasi", de nationalisatie van de Nederlandse bedrijven. Eind oktober 1957 had de Indonesische interim-minister van Buitenlandse Zaken al aangegeven dat nationalisatie een reële optie was, terwijl Soekarno begin november aangaf dat er een einde moest komen aan de handel met Nederland, als dwangmiddel in de kwestie over Nieuw-Guinea. Ook een protestbijeenkomst waarbij meer dan een miljoen man op de been was in Jakarta richtte zich tegen de Nederlandse kolonisatie.
Omdat Nederland weigerde om de kwestie over Nieuw-Guinea te bespreken, had Indonesië drie jaar lang geprobeerd om bij de Algemene Vergadering van de Verenigde Naties een resolutie voor bemiddeling in te dienen. Toen deze op 27 november 1957 voor de vierde keer opnieuw geen tweederdemeerderheid verkreeg, reageerde Indonesië woedend. Op 30 november overleefde Soekarno in Cikini in het centrum van Jakarta een aanslag. De anti-Nederlandse sfeer resulteerde op 3 december in de overname van het kantoor van de Koninklijke Paketvaart Maatschappij in Jakarta door werknemers. In de dagen daarna volgden vergelijkbare acties, terwijl Nederlanders ook geweigerd werden in taxi's en hun telefoons soms werden afgesloten. Op 5 december werd besloten dat de werknemers in het kader van de veiligheid de controle over de bedrijven moesten overgeven aan het leger. In de dagen daarna werden de resterende Nederlandse banken in Indonesië (Nederlandsche Handel-Maatschappij, Nederlandsch-Indische Handelsbank en Nederlandsche Escompto-Maatschappij) en landbouwbedrijven overgenomen door het leger, waarna op 10 december de eerste Nederlanders vertrokken.
Sumber
- Blok, D.P. (red) et al (1982): Algemene Geschiedenis der Nederlanden, deel 15, Fibula-Van Dishoeck, Haarlem, ISBN 9022838161, p. 437-438
- Lindblad, J.T. (2002): The importance of indonesianisasi during the transition from the 1930s to the 1960s