Tuan Direktur

novel tahun 1939 karya Hamka
Revisi sejak 14 Desember 2012 13.42 oleh Sulakbar (bicara | kontrib) (Plot)

Tuan Direktur adalah sebuah novel Indonesia terbitan tahun 1939 yang ditulis oleh Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Novel yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat ini bercerita tentang seorang laki-laki asal Banjarmasin yang pindah ke Surabaya, lalu menjadi kaya tapi akhirnya menjadi gila. Novel ini dipandang sebagai kritik atas materialisme, kecongkakan, dan takhayul.

Tuan Direktur
Sampul depan cetakan ke-4
PengarangHamka
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
GenreNovel
PenerbitBalai Pustaka
Tanggal terbit
1939
Jenis mediaCetak (kulit keras & lunak)
Halaman117

Plot

Tuan Direktur menggunakan alur maju yang ceritanya terbagi dalam dua belas bab.[1] Novel ini bercerita tentang Jazuli yang meninggalkan kampung halamannya di Banjarmasin lalu bekerja sebagai pedagang emas di Surabaya. Namun, setelah menjadi kaya, ia yang semula taat kepada agama dan rendah hati berubah menjadi congkak dan materialistis. Ia menyebut dirinya sebagai "Tuan Direktur" dan orang-orang di sekitarnya terutama para pengumpak seperti Kadri, Margono, dan Haji Salmi juga menyebutnya dengan julukan yang sama. Ia juga terkenal dengan ketakaburan dan kesombongannya. Oleh karena itu, Jasin menolak tanahnya dibeli oleh Jazuli untuk membangun pabrik. Namun, kepercayaan Jazuli terhadap petunjuk makhluk halus dimanfaatkan oleh Kadri. Akibatnya, banyak pegawai Jazuli yang menurut penilaian Kadri akan menghalangi ambisinya dipecat tanpa suatu sebab. Fauzi, salah seorang pegawai Jazuli, termasuk yang dipecat karena fitnahan Kadri, tetapi akhirnya Fauzi sukses dengan usahanya sendiri atas bantuan Jasin. In an effort to eliminate Jasin, Kadri calls the police to the latter's house, claiming that Jasin is holding clandestine, anti-government meetings. When the police come, Jazuli, who has come to Jasin's house to try and buy the land, is arrested with a number of other people.

After two days in holding, Jazuli dilepaskan tetapi ia tidak mendapati keargoansian mantan rekannya, yang telah dinasihati oleh Jasin saat di penjara. Ketika ia melihat Fauzi menjadi orang kaya dan tetap rendah hati, Jazuli mengalami depresi dan akhirnya jatuh sakit, sementara Jasin dan Fauzi hidup bahagia.

Penulisan

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal dengan nama pena Hamka, merupakan Muslim kelahiran Minangkabau yang taat menjalankan agama dan memandang tradisi lokal sebagai penyebab kemunduran—sebagaimana pandangan ayahnya.[2] Setelah menjadi seorang sarjana Islam, ia sering berkunjung ke berbagai tempat, termasuk Jawa.[3] Tuan Direktur reflected Hamka's Islamic worldview[4] and was likely derived in part from his experiences while travelling.[5]

At the time Tuan Direktur was written, Surabaya was one of the richer cities in the Dutch East Indies, serving as both a port into the colony and as a stopping point for trade traffic headed to Australia. The city's wealth was decisively contrasted with the fate of the lower classes, who were not benefited by this trade. Writing for the Indonesian Department of Education and Culture, Putri Minerva Mutiara, Erli Yetti, and Veni Mulyani wrote that this may have influenced Hamka to set his story in the city.[5]

Tema

Mutiara, Yetti, dan Mulyani berpendapat bahwa Tuan Direktur membandingkan Jazuli yang sombong, yang menjadi si "Tuan Direktur" dari judul novel, dengan Jasin yang rendah hati. Jasin lebih banyak beribadah saat ia menjadi kaya, dan ia juga sanggup membantu orang lain menjadi pengusaha. Menurut ketiga penulis di atas, harta yang diraih Jasin justru membawanya lebih dekat dengan Allah. Dengan demikian, mereka menyimpulkan bahwa amanat novel adalah bahwa orang yang sombong akan sengsara, tetapi orang yang rendah hati dan rajin beribadah akan menemukan kebahagiaan.[6]

Abdul Rahman Abdul Aziz, yang menulis tentang ideologi Islam Hamka pada tahun 2009, mencatat sejumlah ajaran Islam yang dituangkan dalam Tuan Direktur. Ia menulis bahwa novel ini mencerminkan nilai Islam tentang kesederhanaan sebagai cara menghindari nafsu akan benda,[7] dan biarpun bekerja keras itu memang perlu, manusia tidak boleh mengutamakan pencarian harta.[8] Aziz, setelah mengutip bagian cerita di mana Jasin menyuruh orang lain menjual satu baju yang mahal lalu membeli beberapa baju yang lebih murah untuk orang-orang yang tidak mampu, juga berpendapat bahwa ada konsep persaudaraan dalam novel ini; manusia dimaksud untuk bekerja sama dalam menghadapi kesulitan, bukan mengutamakan kepentingan mereka sendiri. Demikian pula, harta selayaknya tidak dinilai lebih penting daripada teman dan kenalan.[9] Suatu poin terakhir, Aziz menjelaskan bahwa novel ini menyampaikan pesan agar orang modern jangan percaya pada takhyul.[10]

Rilis

Tuan Direktur pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam majalah yang dipimpin oleh Hamka, Pedoman Masjarakat[11][12] sebelum akhirnya diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit nasional Hindia-Belanda, pada tahun 1939. Sampai tahun 1998, novel ini telah mengalami empat kali cetakan dalam bahasa Indonesia dan Malaysia.[13]

Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda, A. Teeuw menulis, Tuan Direktur sebagai karya yang menarik, tetapi Hamka tidak dapat dianggap sebagai penulis yang besar karena karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.[14]

Catatan kaki

  1. ^ Mutiara, Yetti & Mulyani 1998, hlm. 172.
  2. ^ Teeuw 1980, hlm. 104.
  3. ^ Siregar 1964, hlm. 60–61.
  4. ^ Aziz 2009, hlm. 123.
  5. ^ a b Mutiara, Yetti & Mulyani 1998, hlm. 164.
  6. ^ Mutiara, Yetti & Mulyani 1998, hlm. 173–174.
  7. ^ Aziz 2009, hlm. 130.
  8. ^ Aziz 2009, hlm. 132.
  9. ^ Aziz 2009, hlm. 134.
  10. ^ Aziz 2009, hlm. 143.
  11. ^ Oshikawa 1990, hlm. 19.
  12. ^ Siregar 1964, hlm. 124.
  13. ^ Mutiara, Yetti & Mulyani 1998, hlm. 162.
  14. ^ Teeuw 1980, hlm. 107.

Daftar pustaka

  • Aziz, Abdul Rahman Abdul (2009). "Nilai Mencapai Kehidupan Sejahtera: Pandangan Hamka". Malim (dalam bahasa Malay). Kuala Lumpur (10): 123–144. 
  • Mutiara, Putri Minerva; Yetti, Erli; Mulyani, Veni (1998). Analisis Struktur Novel Indonesia Modern, 1930-1939 (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Department of Education and Culture. ISBN 978-979-459-900-6. 
  • Oshikawa, Noriaki (1990). "Patjar Merah Indonesia and Tan Malaka: A Popular Novel and a Revolutionary Legend". Reading Southeast Asia: Translation of Contemporary Japanese Scholarship on Southeast Asia. Ithaca: Cornell University Press. hlm. 9–41. ISBN 9780877274001. 
  • Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626. 
  • Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesian). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801.