Budaya masyarakat Jepang

Revisi sejak 23 Maret 2013 20.22 oleh Pierre Mauritz (bicara | kontrib) (Manga: memasukan pranala dari wikipedia ke dalam bagian ini)

Budaya Populer Jepang

Budaya populer Jepang merupakan sebuah budaya yang berasal dari Jepang yang diakui, dinikmati, disebarluaskan dan merupakan jalan hidup mayoritas masyarakat Jepang secara umum. Budaya populer Jepang seperti fashion dan drama TV kini telah memasuki kawasan Asia secara mendalam. Dimulai dari animasi hingga idola, budaya muda Jepang telah menciptakan sekelompok orang yang lebih sering disebut sebagai penggemar didalam kawasan Asia. Manga yang juga merupakan bagian dari budaya populer Jepang seperti animasi, karakter, permainan komputer, fashion, musik pop, dan drama TV merupakan berbagai variasi dari budaya populer Jepang yang telah diterima dengan baik di bagian timur dan tenggara Asia.[1] Namun semua itu tidak seperti apa yang telah diulas dalam media.[1]

Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa ekspor dari budaya populer Jepang merupakan suatu fenomena yang baru. Budaya itu sendiri telah lama berkembang diluar Jepang dan terutama di bagian timur dan tenggara Asia setidaknya sejak akhir tahun 1970-an.[1] Animasi dan komik Jepang seperti Doraemon, sebuah cerita fantasi yang memperkenalkan robot berbentuk seperti kucing yang dapat membuat keinginan dari anak-anak menjadi kenyataan, hal ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi anak-anak hampir di seluruh bagian dari Asia.[1]

Bagaimanapun juga akhir-akhir ini, penyebarluasan budaya populer Jepang di bagian timur dan tenggara asia telah maju ke tahap yang lebih lanjut. Industri media Jepang dan industri media Asia lainnya secara sistematis dan kolaboratif mempromosikan budaya populer Jepang sebagai sebuah konsumsi yang rutin bagi kalangan muda secara luas di berbagai macam pasar di bagian timur dan tenggara Asia.[1] Banyak kalangan muda yang merasakan simpati yang lebih intensif terhadap roman yang diceritakan dalam drama TV Jepang, atau dengan fashion terbaru, gaya musik populer yang trendi, atau dengan gosip mengenai bintang idola Jepang daripada yang mereka rasakan terhadap bagian dari budaya populer Amerika yang telah lama mendominasi dunia budaya kalangan muda.[1]

Manga

Manga atau yang lebih dikenal dengan komik dalam bahasa Indonesia merupakan suatu media yang didalamnya terdapat sekumpulan gambar yang mengandung cerita yang bermacam-macam variasinya. Pada umumnya manga dicetak dalam warna hitam-putih dan terkadang ada beberapa bagian yang dicetak berwarna.[2] Di Jepang manga pada umumnya dicetak dalam majalah yang berukuran sebesar buku telepon dan sering terdiri dari berbagai cerita yang bersambung pada episode berikutnya.[3]

Anime

Lebih lanjut baca

Anime (アニメ) adalah produksi animasi Jepang yang menampilkan hasil gambar animasi melalui tangan maupun komputer. Istilah anime merupakan bahasa serapan dari bahasa inggris “animation”. Dalam bahasa Inggris, istilah ini didefinisikan sebagai penyebarluasan gaya animasi Jepang yang pada umumnya dicirikan dengan grafis yang warna-warni, karakter yang bersemangat dan tema yang terkadang tidak masuk akal. Terkadang arti yang diinginkan dari istilah ini bervariasi tergantung dari konteks yang dibahas.

Secara umum anime pada awalnya dikenal sejak tahun 1917, dan banyak animasi asli Jepang yang diproduksi pada dekade-dekade setelahnya namun karakteristik gaya anime mulai dikembangkan pada tahun 1960 – yang ditandai dengan karya Osamu Tezuka – dan mulai dikenal di luar Jepang pada taun 1980-an. Seperti halnya manga, anime juga memiliki audiens yang besar di Jepang dan juga diakui diseluruh dunia. Distributor dapat menayangkan anime melalui siaran TV, secara langsung ke video atau pun dengan teater mau pun secara online. Baik dengan gambar tangan ataupun animasi komputer, keduanya digunakan dalam serial TV, film, video, video games, iklan, dan internet rilis. Seiring dengan meningkatnya pasar anime di Jepang, anime juga mendapatkan popularitas di timur dan tenggara Asia. Saat ini anime populer di berbagai daerah di seluruh dunia.

Cosplay

 
Cosplay

’’’Cosplay’’’ (コスプレ Kosupure?) adalah kata-kata bahasa Jepang yang dibuat dari menggabungkan dua kata dari bahasa inggris (wasei-eigo) "costume" dan "play". Cosplay merupakan sebuah pertunjukan seni dimana para persertanya menggunakan kostum dan aksesoris yang menunjukkan secara spesifik suatu karakter atau ide. Pada umumnya cosplay mengacu pada manga dan anime, komik, manhwa, video games, penyanyi dan musisi serta film.

Istilah cosplay diciptakan oleh Nov Takahashi pada tahun 1984 ketika menghadiri sebuah konvensi sci-fi di Los Angeles. Takahasi terinspirasi dari costume masquerade dan menulisnya dalam majalah sci-fi Jepang yang kemudian menyebar dengan cepat di Jepang sebagai sebuah pertunjukan seni yang baru. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa cosplay berasal dari Jepang, namun pada kenyataannya hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Forrest J. Ackerman menginspirasi fan-costuming di seluruh dunia ketika pertama kali mengenakan kostum futuristik yang dibuat oleh Myrtle R. Douglas pada konvensi dunia pertama dalam bidang Science Fiction pada tahun 1939 di Caravan Hall, New York. [4]

Sejak saat itu istilah cosplay telah menyebar ke negara-negara di seluruh dunia seperti Filipina, China, Italy, France, Mexico, Brazil, Russia, Canada, dan negara-negara lainnya. Meskipun banyak negara yang berhasil menghasilkan kreasi-kreasi yang hebat dalam kostum namun Jepang merupakan negara eksportir terbesar dalam hal cosplay yang berkualitas. Jepang berhasil membawa cosplay ketingkat yang baru dimana Jepang berhasil mengubahnya kedalam bentuk seni yang menginspirasi para cosplayer di seluruh dunia. [4]

Pengaruh Budaya

Pembelajaran mengenai tradisi dan nilai-nilai kebudayaan dapat dilihat sebagai suatu pola, pengulangan cara berpikir, perasaan dan acting. Kebudayaan memberikan batasan terhadap pilihan-pilihan dan memberikan panduan terhadap tingkah laku individu. Kebudayaan memberikan informasi yang dapat membantu individu untuk mengetahui apa yang dianggap benar dan salah, sesuai dan tidak sesuai, baik dan buruk, dan lainnya. Kebudayaan tidak hanya mengenai pembatasan, representasi dari suatu media akan mengenai kecantikan seorang wanita yang seringkali menimbulkan perdebatan karena kecantikan merupakan suatu hal yang relatif bagi masing-masing individu. Hal tersebut menunjukan bahwa kebudayaan juga merupakan hal yang liberal karena nilai-nilai dari kebudayaan dapat dikonteskan. Terutama dalam masyarakat yang demokratis dan plural. Suatu kebudayaan yang dominan atau sering juga disebut sebagai “mainstream culture” yang merupakan kebudayaan yang secara mayoritas mempengaruhi masyarakat seringkali diperdebatkan.[5]

Kebudayaan dapat membantu suatu masyarakat untuk mengidentifikasi suatu hal – Seseorang akan mengetahui orang yang berasal dari Jepang kemudian secara sadar maupun tidak akan memanggil orang tersebut sebagai orang Jepang – Hal tersebut dapat terjadi karena kebudayaan membentuk pengetahuan seseorang dan membantunya untuk dapat mengidentifikasikan suatu hal. Selain membantu untuk mengidentifikasi, kebudayaan juga dapat memberikan perbedaan serta mengkategorikan berbagai hal dalam masyarakat. Namun kebudayaan juga dapat mempersatukan dalam suatu masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena kebudayaan secara langsung maupun tidak langsung mengidentifikasikan realitas kehidupan, membentuk pola pikir, perasaan serta tingkah laku dalam masyarakat.[5]

Globalisasi dan media massa

Joseph Nye dan Robert Keohane menggunakan istilah globalisme dalam menjelaskan globalisasi. Globalisme didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi perluasan hubungan interdependensi dalam jarak antar benua.[6] Hubungan tersebut terjadi melalui pengaruh dari barang dan modal, informasi dan ide, dan kelompok. Globalisme sendiri memiliki berbagai bentuk seperti globalisme ekonomi, globalisme militer, globalisme lingkungan, dan globalisme sosial dan budaya.

Globalisme sosial dan budaya melibatkan pergerakan dari ide, informasi, citra dan suatu individu maupun kelompok (yang membawa ide dan informasi bersamanya). Dengan adanya globalisme sosial dan budaya maka terjadi pencampuran ilmu pengetahuan. Dalam levelnya yang paling dalam, globalisme sosial dan budaya mempengaruhi kesadaran dari individu dan tingkah laku mereka terhadap kebudayaan dan identitasnya.[6]

Suatu informasi maupun ide dapat diterima dengan baik oleh receiver disebabkan oleh adanya suatu perantara yang sering disebut sebagai media. Ketika suatu informasi yang terkandung dalam sebuah media tersampaikan kepada receiver dalam jumlah besar yang dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi informasi maka media tersebut dikategorikan sebagai media massa. Secara umum yang tergolong dalam media massa adalah radio, televisi, buku-buku, majalah, komik, film, rekaman suara, Koran, video games, dan internet.

Dalam globalisasi media massa juga memiliki peran yang penting yaitu sebagai media dari globalisasi tersebut sehingga dapat pula dikatakan sebagai agen dari globalisasi.[7] Media massa dikatakan demikian karena media massa dapat memuat segala bentuk informasi dan kemudian bertindak sebagai media yang menyampaikan informasi tersebut ke pihak-pihak lainnya dalam jumlah yang banyak.

Peran teknologi informasi (internet)

Teknologi informasi merupakan salah satu pendukung utama dalam proses globalisasi. Perkembangan teknologi informasi dalam era globalisasi turut mendukung peran media massa dalam penyampaian informasi secara global. Hal tersebut karena saat ini informasi menjadi lebih mudah untuk diperoleh melalui media internet. Dengan adanya internet maka informasi dapat dengan mudah untuk disebarluaskan. Penyebarluasan informasi secara tidak langsung dapat mempengaruhi cara pandang, gaya hidup hingga budaya suatu masyarakat. Internet menyebabkan terjadinya efisiensi baik dalam waktu, tenaga maupun biaya.[8]

Internet menyebabkan terjadinya konvergesi dari berbagai media seperti gambar, suara, video, dan lain-lain. Teks digital dapat dikombinasikan dengan media lainnya. Internet juga memungkinkan teks digital dapat dengan mudah dimodifikasi dan diproduksi kembali. Internet juga memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah atau pun lebih dengan singkat secara global. Perkembangan teknologi informasi menyebabkan internet dapat dengan mudah untuk diakses oleh masyarakat. Orang yang tidak tergolong dalam kategori profesional dapat mempublikasikan hasil karyanya seperti foto, gambar, tulisan tangan maupun cetak melalui internet.[9]

Budaya populer Jepang di Indonesia

Manga

Dua penerbit manga terbesar di Indonesia adalah Elex Media Komputindo dan m&c Comics yang merupakan bagian dari kelompok Gramedia. Sekitar tahun 2005, kelompok Gramedia juga telah menghadirkan Level Comics yang lebih berfokus pada penerbitan manga-manga bergenre Seinen (Dewasa).[10] Seiring dengan perkembangan teknologi informasi maka manga tidak hanya bisa dinikmati dalam bentuk buku saja, namun juga dapat dibaca melalui situs tertentu menggunakan internet. Manga yang dibaca melalui internet tersebutlah yang kemudian disebut dengan manga scan.

Manga scan diproduksi melalui proses yang disebut Scanlation (scanning, translation and editing) yaitu suatu proses memindai halaman per halaman dari manga yang telah diterbitkan di Jepang. Setiap naskah halaman yang berbahasa Jepang tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya sesuai dengan keinginan, lalu melalui proses penyuntingan untuk meningkatkan kualitas gambar. Scanlation muncul secara bertahap seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang mempunyai akses internet dan didukung oleh piranti lunak untuk melakukan editing gambar dan pendistribusian data.[11]

Pada awalnya, manga scan dimulai karena kurangnya akses terhadap manga diluar Jepang. Selain karena faktor biaya yang mahal karena manga harus di import terlebih dahulu baru dapat dinikmati di negara selain Jepang, faktor waktu juga menjadi masalah karena para penggemar manga di luar Jepang seperti Indonesia tidak dapat langsung menikmati manga-manga baru yang diterbitkan di Jepang.[12]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Iwabuchi, Kōichi. “Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese Transnationalism.” Google Books Online. [e-book] http://books.google.com/books?id=k8ot27vLSV4C&pg=PP1&dq=recentering+globalization#PPA1,M1 (diakses pada tanggal 23 Desember 2008)
  2. ^ Katzenstein, Peter and Takashi Shiraishi. “Network Power: Japan in Asia” Questia Online. [e-book] http://www.questia.com/read/103606957?title=Network%20Power%3a%20Japan%20and%20Asia (diakses pada 11 Januari 2009)
  3. ^ Ito, Kinko. "A history of manga in the context of Japanese culture and society" The Journal of Popular Culture. [e-journal] http://www.ingentaconnect.com (diakses pada 1 Oktober 2008)
  4. ^ a b http://www.cosplay-ftw.com/what-is-cosplay.html
  5. ^ a b Baran, Stanley J. 2006. Introduction to Mass Communication “Media Literacy and Culture”. New York: McGraw – Hill.
  6. ^ a b Nye Jr, Joseph S. 2004. Power in The Global Information Age: From Realism to Globalization. USA: Routledge.
  7. ^ Devereux, Eoin. 2003. Understanding the Media. United Kingdom: Sage.
  8. ^ Effendi, Ridwan, M.Ed., Drs, & Dr. Elly Malihah, M.Si. 2007. Panduan Kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi (PLSBT). Bandung: CV. Yasindo Multi Aspek.
  9. ^ Cantoni, Lorenzo and Stefano Tardini. 2006. Internet. New York: Routledge.
  10. ^ http://wiki-indonesia.club/wiki/Manga#Manga_di_Indonesia
  11. ^ http://www.insidescanlation.com/history/history-1-1.html
  12. ^ http://wiki-indonesia.club/wiki/Manga_scan#Manga_Scan_di_Indonesia