Pesantren

sekolah asrama Islam di Indonesia
Revisi sejak 12 Maret 2013 21.51 oleh Ariyanto (bicara | kontrib) (←Suntingan Zhoelpat (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Naval Scene)

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sekolah Islam berasrama yang terdapat di Indonesia.[butuh rujukan] Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab.[butuh rujukan] Para pelajar pesantren (disebut sebagai santri) belajar di sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren.[butuh rujukan] Institusi sejenis juga terdapat di negara-negara lainnya; misalnya di Malaysia dan Thailand Selatan yang disebut sekolah pondok, serta di India dan Pakistan yang disebut madrasa Islamia.[butuh rujukan]

Santri Pesantren

Sejarah umum

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.[butuh rujukan] Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai.[butuh rujukan] Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri.[butuh rujukan] Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.[butuh rujukan] Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.[butuh rujukan] Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan.[butuh rujukan] Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.[1]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.[2]

Definisi pesantren

Etimologi

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa.[butuh rujukan] Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan.[butuh rujukan] Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai.[butuh rujukan] Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok.[butuh rujukan] Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.[butuh rujukan]

Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri.[butuh rujukan] Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.[butuh rujukan] Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[butuh rujukan] Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.[3]

Peranan

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.[butuh rujukan] Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial).[butuh rujukan] Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum).[butuh rujukan] Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.[4]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia.[butuh rujukan] Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam.[butuh rujukan] Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[5]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi.[butuh rujukan] Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.[butuh rujukan] Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU).[butuh rujukan] Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.[butuh rujukan]

Jenis pesantren

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan masyarakat atas kebutuhan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama sedangkan Pesantren Modern menggunakan system pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salafi

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi.[butuh rujukan] Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.[butuh rujukan] Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali.[butuh rujukan] Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam.[butuh rujukan] Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.[butuh rujukan]

Pesantren modern

Ada pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, dimana persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya).[butuh rujukan] Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri.[butuh rujukan] Pada pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah.[butuh rujukan] Pesantren campuran untuk tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah.[butuh rujukan] Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak.[butuh rujukan]

Cabang pesantren induk

Terdapat pula suatu pondok pesantren induk yang mempunyai cabang di daerah lain, dan biasanya dikelola oleh alumni pondok pesantren induk tersebut.[butuh rujukan] Sebagai contoh, Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur mempunyai cabang pondok alumi, antara lain:

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya moderenisasi Pesantren diantaranya: Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai di tadaruskan sejak tahun 1900.[butuh rujukan] Maka sejak saat tiu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemukan sebagai wancana public.[butuh rujukan] Kedua: kian mengemukannya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda.[butuh rujukan] Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.[butuh rujukan] Keempat, dorongan kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam.[butuh rujukan] Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.[6]

Tokoh nasional

Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal antara lain:

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154
  2. ^ Hielmy, Irfan. Wancana Islam (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120
  3. ^ Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal.11
  4. ^ HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
  5. ^ Haedari, H.Amin. Transformasi Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal.3
  6. ^ Majalah Tajdid (ciamis:Lembaga Penelitian dan Pengembangan, 2009), hal. 358

Pranala luar