Mempawah (kota)
Kota Mempawah adalah Ibu kota Kabupaten Pontianak yang memiliki julukan kota Bestari atau Bumi Galaherang dengan luas 254,40 km. Kota ini terletak di jalur perdagangan antara Pontianak,Singkawang dan Sambas.kota ini terdiri dari 2 kecamatan yaitu kecamatan Mempawah Hilir dan kecamatan Mempawah Timur.kota ini bukan lah kota madya melainkan hanya kota kabupaten di provinsi Kalimantan Barat.kota ini di belah oleh sungai Mempawah yang membagi kota ini menjadi 2 bagian yaitu hilir dan timur
Kota Mempawah | |
---|---|
Daerah tingkat II | |
TUGU PAK TANI MEMPAWAH | |
Julukan: Kota Bestari,Bumi Galaherang | |
Motto: SEHATI KITA PEDULI | |
Berkas:Anjasmoro.jpg | |
Koordinat: 0°22′N 108°58′E / 0.37°N 108.97°E | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Kalimantan Barat |
Hari jadi | 15 Februari 1761 |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar
|
Luas | |
• Total | 254,40 km² km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi) |
Populasi | |
• Total | 58,447 (2.010) |
Demografi | |
Zona waktu | UTC+07:00 (WIB) |
Kode area telepon | 0561 |
Asal Nama Mempawah
Mempawah berasal dari kata ‘Buah Asam Paoh’, sementara sumber lain dari Mempawah Hilir menyebutkan bahwa Mempawah berasal dari kata ‘Mempelam Paoh’. Baik pohon maupun buah mempelam paoh ini dulunya banyak di temukan di sekitar kota Mempawah, tepatnya disela-sela pohon nipah, di daratan yang tidak jauh dari laut Pendapat berbeda juga di kemukakan oleh sejumlah sumber lain, dimana mereka menyebutkan mempawah berasal dari bahasa Cina, yakni ‘Nam Pa Wa’,yang berarti ‘Arah Selatan’. Pendapat ini terbilang cukup mendasar karena berdasarkan catatan sejarah yang ada orang-orang Cina dulu pernah datang ke daerah pesisir pantai Kalimantan Barat, sekitar pertengahan abad ke 16 (ketika itu Kerajaan Bangkule masih berdiri) sampai abad ke 18 (saat Belanda menduduki tanah air). Karena dialeg orang-orang Cina, kata Nam Pa Wa di lafaskan menjadi kata Mempawah.Catatan sejarah yang lain menyebutkan bahwa Pendiri kerajaan Mempawah,Panembahan Adijaya, menamakan kerajaannya dengan nama Mempawah. Nama ini terinspirasi dari imbasan kata Asam Paoh, Mempelam Paoh, dan Nam Pa Wah. Di jaman pemerintahan Hindia Belanda, mereka kemudian mengubah nama Mempawah menjadi Mempawa. Seiring dengan berjalannya waktu, oleh almarhum Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin (sumber Buku Hari Jadi/Lahir Kota Mempawah oleh M. Yusuf Sahar) nama Mempawa dikembalikan lagi ke nama asalnya, yakni Mempawah.Lantas, mengapa setiap tanggal 15 Februari diperingati sebagai hari jadi kota Mempawah? Menurut catatan yang di buat oleh M. Yusuf Sahar dalam bukunya yang berjudul Hari Jadi/Lahir Kota Mempawah, disana dituliskan hari Rabu, tanggal 8 Jumaidil Akhir 1175 H atau 1761 M sebagai hari lahirnya kota Mempawah. Pendapat Yusuf Sahar ini terbilang cukup beralasan karena dirinya mencatat ada 3 peristiwa penting yang satu sama lain saling bertalian. Ke 3 peristiwa itu adalah berpindahnya ibukota Kerajaan yang di sebut Mempawah sekarang dari Sebukit Kerajaan oleh Panembahan Adijaya yang menamakannya; hapusnya sebuah kerajaan bernama Bungkale Rajakng secara otomatis; dan berdirinya sebuah kerajaan Mempawah dengan raja pertamanya Panembahan Adijaya pada hari Rabu, tanggal 8 Jumaidil Akhir 1175 H atau 1761 M.Dalam sarasehan kedua, 15 Februari 1980, pendapat M. Yusuf Sahar ini sempat di bahas secara mendalam oleh para peserta. Di akhir pertemuan tersebut, para peserta sepakat menerima pendapat tersebut dan menetapkan penggunaan hitungan tahun Masehi sebagai metode penghitungan hari jadi kota Mempawah. Sedangkan ritual acara Robok-Robok di sepakati untuk digelar pada hari Rabu, minggu terakhir di bulan Syafar.Sebagai upaya pelestarian sejarah, sekaligus mensukseskan program pemerintah dalam penanaman seribu pohon, Marsupandi, salah seorang staf di Kantor Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pontianak, memberikan secara simbolis bibit pohon Mempelam Paoh kepada bupati Pontianak, Ria Norsan. Penyerahan pohon bersejarah ini disampaikan diacara peringatan HUT ke-49 Pemindahan Ibukota Kabupaten Pontianak di Mempawah, Jumat (3/2) lalu. Upacara bendera ini digelar di Halaman Kantor Bupati Pontianak. Baik pemimpin, pembina maupun panitia upacara semuanya mengenakan busana Telok Belaga’ bermotifkan Awan Berarak. Tak ketinggalan peserta upacaranya pun mengenakan busana bermotif Awan Berarak.
Geografi
Secara administratif perbatasan Kota Mempawah adalah sebagai berikut:
Utara | Kecamatan Sadaniang dan Kecamatan Sungai Kunyit |
Timur | kecamatan Sungai Pinyuh dan Kecamatan Toho |
Selatan | Laut Natuna |
Barat | Laut Natuna |
Kerajaan Mempawah
Kerajaan Panembahan Mempawah adalah sebuah kerajaan Islam yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Penguasa kerajaan ini bergelar Panembahan (bukan Sultan). Dahulu kalanya Kerajaan Mempawah merupakan
bawahan/cabang dari kerajaan Tanjungpura/Kesultanan Sukadana, namun pada masa kolonial Belanda, pemerintah Hindia Belanda menunjuk Kesultanan
Pontianak sebagai wakil Belanda untuk memimpin semua raja-raja di Kalbar. Karena itu penguasa Mempawah dan 12 raja-raja daerah lainnya bergelar Panembahan dan hanya 2 raja yang bergelar Sultan (gelar ini lebih tinggi daripada gelar Panembahan) yaitu Sultan Pontianak dan Sultan Sambas.
Nama Mempawah diambil dari istilah Mempauh, yaitu nama pohon yang tumbuh di hulu sungai yang kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah[1].Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu
kerajaan yang berkembang di Kalimantan Barat. Riwayat pemerintahan adat Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni pemerintahan kerajaan Suku Dayak yang berdasarkan ajaran Hindu dan masa pengaruh Islam
Sistem Pemerintahan
Sistem dan pola pemerintahan cikal-bakal Kerajaan Mempawah, yakni Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang, masih bersumber berdasarkan adat-istiadat setempat, yakni hukum adat yang berlaku pada masyarakat Suku Dayak.[2] Sistem pemerintahan tradisional yang lekat dengan ritual-ritual adat dan kepercayaan kepada hal-hal gaib masih berlaku dalam kehidupan kerajaan yang masih menganut ajaran agama Hindu itu. Pada masa pemerintahan Panembahan Senggaok, sistem pemerintahan tradisional masih dipertahankan meski pengaruh ajaran Islam mulai masuk ke dalam kehidupan kerajaan. Pengaruh Islam di Mempawah semakin kuat pada era kepemimpinan Opu Daeng Menambun yang bertahta sejak tahun 1740 M. Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis yang telah cukup lama menjadi kerajaan bercorak Islam. Pemerintahan Opu Daeng Menambun di Kerajaan Mempawah memadukan antara hukum-hukum adat lama dengan hukum /syara /yang bersumber pada ajaran agama Islam. Pengaruh hukum-hukum Islam dalam kehidupan pemerintahan Kerajaan Mempawah semakin kuat berkat peran sentral Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang penyebar ajaran Islam dari Timur Tengah, tepatnya Hadramaut atau Yaman Selatan.[3]
Daftar pemimpin Mempawah
Masa Suku Dayak Hindu (Kerajaan)
- Patih Gumantar (± 1380 M)
- Raja Kudung (± 1610 M)
- Panembahan Senggaok (± 1680 M)
Masa Islam (Kesultanan)
- Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740–1761 M)
- Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761–1787)
- Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah (1787–1808)
- Syarif Hussein (1808–1820)
- Gusti Jati bergelar Sri Paduka Muhammad Zainal Abidin (1820–1831)[4]
- Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831–1839)
- Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839–1858)
- Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858)
- Gusti Usman bergelar Panembahan Usman (1858–1872)
- Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872–1892)
- Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri (1892–1902)
- Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (1902–1944)
- Gusti Mustaan (1944–1955); diangkat oleh Jepang
- Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim Bergelar Panembahan XII (s/d 2002)
- Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim bergelar Panembahan XIII (2002–sekarang)
Tradisi dan Sejarah ROBO'-ROBO'
Awal diperingatinya Robo-robo ini sendiri, bermula dengan kedatangan rombongan Opu Daeng Manambon dan Putri Kesumba yang merupakan cucu Panembahan Mempawah kala itu yakni, Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan Raja Patih Gumantar dari Kerajaan Bangkule Rajangk Mempawah pada tahun 1148 Hijriah atau 1737 Masehi.
Masuknya Opu Daeng Manambon dan istrinya Putri Kesumba ke Mempawah, bermaksud menerima kekuasaan dari Panembahan Putri Cermin kepada Putri Kesumba yang bergelar Ratu Agung Sinuhun bersama suaminya, Opu Daeng Manambon yang selanjutnya bergelar Pangeran Mas Surya Negara sebagai pejabat raja dalam Kerajaan Bangkule Rajangk.
Berlayarnya Opu Daeng Manambon dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten Ketapang) diiringi sekitar 40 perahu.Saat masuk di Muara Kuala Mempawah, rombongan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Mempawah. Penyambutan itu dilakukan dengan memasang berbagai kertas dan kain warna warni di rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir sungai. Bahkan, beberapa warga pun menyongsong masuknya Opu Daeng Manambon ke Sungai Mempawah dengan menggunakan sampan.
Terharu karena melihat sambutan rakyat Mempawah yang cukup meriah, Opu Daeng Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada warga yang berada di pinggir sungai untuk dapat dinikmati mereka juga. Karena saat kedatangannya bertepatan dengan hari Minggu terakhir bulan Syafar, lantas rombongan tersebut menyempatkan diri turun di Kuala Mempawah.Selanjutnya Opu Daeng Manambon yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan, berdoa bersama dengan warga yang menyambutnya,mohon keselamatan kepada Allah agar dijauhkan dari bala dan petaka. Usai melakukan doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Prosesi itulah yang kemudian dijadikan sebagai awal digelarnya hari Robo-robo,yang saban tahun rutin dilakukan warga Mempawah, dengan melakukan makan di luar rumah bersama sanak saudara dan tetangga.
Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai bulan naas dan sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar terhindar dari marabahaya