Orang Indonesia Perantauan

orang Indonesia yang tinggal di luar Indonesia
Revisi sejak 16 Desember 2014 07.24 oleh Si Gam (bicara | kontrib)

Orang Indonesia perantauan adalah seseorang asal Indonesia yang menetap di luar Indonesia. Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang lahir di Indonesia dan berdarah Indonesia yang menjadi warga negara tetap ataupun menetap sementara di negara asing.

Orang Indonesia perantauan
Daerah dengan populasi signifikan
 Malaysia± 2.500.000
 Arab Saudi±1.500.000[1]
 Belanda395.800
 Singapura±200.000
 Taiwan161.000
 Hong Kong102.100[2]
 Suriname90.000[3]
 Australia86.196[4]
 Uni Emirat Arab75.000[5]
 Amerika Serikat70.000
 Filipina43.871
 Qatar36.000
 Jepang30.567[6][7]
 Korea Selatan30.000
 Kanada14.300
 Kaledonia Baru7.000
Bahasa
Indonesia, Jawa, Minangkabau, Bugis, bahasa lainnya di Indonesia, Inggris, Mandarin
Agama
Islam; Katolik; Protestan
Kelompok etnik terkait
Pribumi, Tionghoa-Indonesia

Sejarah

Banyak orang Indonesia yang pergi ke luar negeri sebagai mahasiswa atau tenaga kerja (dikenal dengan TKI). Sebagian besar dari mereka menetap di Malaysia, Timur Tengah, Amerika Serikat, dan Australia.

Orang Indonesia di luar negeri

Malaysia

Diperkirakan terdapat sekitar 2.500.000 warga negara Indonesia di Malaysia pada waktu tertentu, yang disebabkan oleh adanya migrasi yang konstan sejak zaman kuno dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi serta pengiriman tenaga kerja. Jumlah warga negara Malaysia yang berdarah Indonesia mungkin bisa sampai jutaan lebih.

Qatar

Terdapat sekitar 36.000 warga negara Indonesia di Qatar.

Arab Saudi

Sebagian besar orang Indonesia di Arab Saudi adalah tenaga kerja wanita, dan selebihnya adalah tenaga kerja migran lainnya dan mahasiswa.

Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, sebagian besar orang Indonesia adalah mahasiswa dan profesional. Universitas Boston dan Universitas Harvard adalah dua perguruan tinggi yang menjadi tujuan utama pelajar Indonesia. Di Silicon Valley, California, terdapat banyak orang Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi seperti Cisco Systems, KLA Tencor, Google, Yahoo, Sun Microsystems, dan IBM. Sehat Sutardja, CEO Marvell Technology Group, adalah salah satu orang Indonesia yang sukses di Amerika Serikat.[8] Pada bulan April 2011, Voice of America melaporkan bahwa semakin banyak pelajar Indonesia yang belajar di Amerika Serikat.[9]

Singapura

Menurut Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, pada 2010 terdapat 180.000 warga negara Indonesia di Singapura. Sebanyak 80.000 orang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, 10.000 sebagai pelaut, dan sisanya adalah mahasiswa atau kalangan profesional.

Belanda

Indonesia adalah bekas koloni Belanda. Pada awal abad ke-20, banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda. Sebagian besar dari mereka tinggal di Leiden dan aktif dalam Perhimpunan Indonesia. Selama Revolusi Nasional Indonesia, banyak penduduk Maluku yang bermigrasi ke Belanda. Kebanyakan dari mereka adalah mantan tentara KNIL. Akibatnya, sekitar 12.500 orang Indonesia menetap di Belanda. Giovanni Van Bronckhorst, Denny Landzaat, Roy Makaay, Mia Audina, dan Daniel Sahuleka adalah orang-orang terkenal keturunan Indonesia di Belanda.

Australia

Sebelum pelaut Belanda dan Inggris tiba di Australia, orang Indonesia dari Sulawesi Selatan telah menjelajahi pantai utara Australia. Setiap tahun, para pelaut Bugis berlayar ke Australia dengan menggunakan perahu pinisi. Mereka menetap di Australia selama beberapa bulan untuk berdagang sebelum kembali ke Makassar pada musim kemarau. Aktifitas ini terus berlangsung sampai tahun 1907.[butuh rujukan]

Suriname

Orang Indonesia, terutama orang Jawa, berjumlah sekitar 15% dari populasi Suriname. Pada abad ke-19, Belanda mengirimkan orang Jawa ke Suriname sebagai pekerja kontrak di perkebunan. Orang keturunan Indonesia yang paling terkenal di Suriname salah satunya adalah Paul Somohardjo, juru bicara Majelis Nasional Suriname.[10]

Jepang

Pada tahun 2013, sekitar 20.000 orang Indonesia menetap di Jepang, termasuk sekitar 3.000 pendatang ilegal. Angka ini turun dari tahun-tahun sebelumnya karena berbagai alasan. Dua alasan utama adalah biaya hidup yang tinggi dan kesulitan untuk menemukan pekerjaan di Jepang.[butuh rujukan]

Lihat juga

Referensi