Soedjatmoko (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 10 Januari 1922-meninggal di Yogyakarta, 21 Desember 1989), akrab dipanggil Koko, adalah seorang intelektual terbesar Indonesia.[1] Koko pernah menjabat sebagai Rektor kedua Universitas PBB yang berada di Tokyo, Jepang dari September 1980 sampai Oktober 1987.[2]

Berkas:ImgSoedjatmoko.jpg

Biografi

Kelahiran dan keluarga

Koko lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 10 Januari 1922. Koko menjalani masa anak-anak yang pertama di Negeri Belanda. Pulang ke tanah air ketika berusia tujuh tahun. Ayahnya -- dokter K.R.T. Saleh Mangundiningrat, ahli bedah berpendidikan Barat, yang kemudian menjadi dokter Keraton Surakarta dan sempat memimpin Universitas Islam Cokroaminoto -- adalah keluarga priayi, yang lazimnya di bawah pengaruh budaya Hindu, Islam, dan sekaligus Barat. Sedangkan ibunya bernama Isnadikin yang wafat pada tanggal 7 Juni 1952.

Koko merupakan anak kedua dari 4 bersaudara yang mana keempat bersaudara ini memiliki kontribusi yang unik dalam sejarah Indonesia dan sejarah keilmuan di Indonesia. Keempat bersaudara itu adalah Mr Siti Wahyunah Sjahrir (1920) istri dari Sutan Syahrir, Soedjatmoko (lahir 1920), Prof Miriam Budiardjo (lahir 1923), dan terakhir Nugroho Wisnumurti (1940).[3]

Menikah dan keturunan

Menikah dengan Ratmini, Koko ayah tiga anak, semua perempuan.

Meninggal

Koko meninggal pada tanggal 21 Desember 1989, di Yogyakarta. Saat itu Koko sedang memberikan ceramah di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK], suatu lembaga pengkajian dan penelitian di bawah Yayasan Mulia Bangsa Yogyakarta. Setelah menyelesaikan ceramah Koko mendapat serangan jantung, yang mengakibatkan pada wafatnya Soedjatmoko.[4]

Pendidikan, karir & kegiatan lainnya

Pendidikan

  • ELS
  • HBS
  • Lyceum, Geneeskundige Hooge School/Ika Daigaku, Jakarta (1940-1943, tidak selesai)

Karir

Kegiatan lain

  • Anggota Palang Merah Indonesia (1955-1957)
  • Anggota Kehormatan American Academy of Arts and Sciences (1971)
  • Anggota Board of Directors dari International Institute for Environment and Development (London)
  • Anggota Board of Trustees dari International Institute for Humanistic Studies, Colorado, AS

Kegiatan di dunia internasional

Rektor PBB

Agustus 1985, Soedjatmoko terpilih kembali sebagai Rektor Universitas PBB. Koko, demikian panggilan akrabnya, sebenarnya bukan orang baru di lingkungan tersebut. Sejak lembaga ini berdiri, 1974, ia anggota panitia untuk program pengembangan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Sebagai rektor, Koko punya program jangka menengah yang pelaksanaannya perlu waktu enam tahun, 1982-1987. Program ini mencakup: Perdamaian dan Penyelesaian Konflik, Ekonomi Global, Kelaparan dan Kemiskinan, dan Koeksistensi Bangsa-bangsa dengan Sistem Sosial Berbeda.

Tentang persoalan ekonomi dunia, ia mengatakan, Teori ekonomi yang ada tidak mencukupi lagi untuk menerangkan gejala yang timbul sekarang. Perlu riset dasar untuk menghadapi masalah konkret maupun untuk menyusun teori baru .

Koko percaya, Hari depan dunia lebih banyak ditentukan moralitas keputusan kita sekarang. Sikap dan gagasannya tentang moral sangat mengesankan pewawancaranya (waktu itu Sekjen PBB Kurt Waldheim) dalam tes terakhir menjelang ia diangkat pada jabatannya yang sekarang. Sebelumnya, Koko telah menyisihkan empat orang saingan-nya dari Peru, Afrika, India, dan Swedia.

Ramon Magsaysay Award

Gagasan-gagasan Koko sudah lama dikenal di dunia internasional. Pada 1978, ia mendapat hadiah (Rp 8 juta) dari Yayasan Ramon Magsaysay. Pendapat-pendapatnya yang dinilai sebagai, Sumbangan berharga kepada pemikiran internasional untuk menanggulangi salah satu tantangan besar masa kini, yakni bagaimana meningkatkan martabat hidup sekitar 40 persen rakyat Asia Tenggara dan Selatan, yang merupakan lapisan paling miskin. Tentu di luar Etiopia.

Kegiatan di dalam negeri

Anggota PSI

Sejak Indonesia baru berdiri, Koko, yang kemudian menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia ini, terlibat dalam kegiatan internasional. Pada 1947-1951, ia anggota delegasi Indonesia di PBB. Pada Konferensi Asia Afrika (1955), ia penasihat delegasi negerinya. Berbagai pos diplomatik dipegangnya sejak 1947 sampai 1971. Pada 1969, ia menerima gelar doctor honoris causa bidang hukum dari Cedar Crest College Pennsylvania, dan pada 1970 doktor untuk bidang humaniora dari Universitas Yale, Connecticut, AS.

Pendidikan formal

Sekolah formalnya di Sekolah Tinggi Kedokteran terhenti karena sikapnya yang tidak mau berkompromi dengan pemerintah pendudukan Jepang. Koko lantas memencilkan diri ke Solo, dan tenggelam dalam keasyikan membacai buku-buku loakan yang ia dapatkan dari Pasar Klewer, Solo. Di masa pengucilan itu pula Koko, di samping menekuni buku-buku karya Bergson, Max Scheler, Karl Jasper, dan Martin Heideger, juga mempelajari mistik Islam, Katolik, India, dan alam kebatinan Jawa. Di kota itu pula ia sempat berdialog dengan Ki Ageng Suryomentaram, tokoh pemikiran Jawa.

Pada akhirnya, seperti dikatakan Aswab Mahasin ketika memberikan pengantar untuk buku Koko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan (LP3ES, 1983), Susah menunjukkan kotak di mana Koko berada. Dalam menguraikan gagasan-gagasannya, Koko memang merambah segala batasan disiplin ilmu tertentu. Pemikirannya multidimensional.

Koko menjalani masa kanaknya yang pertama di Negeri Belanda. Pulang ke tanah air ketika berusia tujuh tahun, ia merasakan pedihnya diperlakukan sebagai inlander. Ayahnya -- dokter K.R.T. Saleh Mangundiningrat, ahli bedah berpendidikan Barat, yang kemudian menjadi dokter Keraton Surakarta dan sempat memimpin Universitas Islam Cokroaminoto -- jelas keluarga priayi, yang lazimnya di bawah pengaruh budaya Hindu, Islam, dan sekaligus Barat. Latar belakang ini, dan berbagai perbenturan nilai yang ia alami di masa pertumbuhannya, menyebabkan, kata Aswab Mahasin, Soedjatmoko anak sejati dari perubahan. Koko memiliki beberapa gelar Doktor Kehormatan, masing-masing dari Universitas Cedar Crest, AS (1969); Universitas Yale, AS (1970), dan Universitas Kenegaraan Malaysia (1980).

Karya

Kutipan

Soedjatmoko

"Perdamaian hanya bisa langgeng bila orde internasional yang mendukungnya mampu memimpin perubahan damai secara struktural dalam dirinya sendiri. Perjuangan bagi suatu orde ekonomi internasional adalah bagian dari menjamin syarat-syarat minimal yang dibutuhkan oleh perdamaian, bersama-sama dengan keadilan sosial internasional dan martabat manusia." (Soedjatmoko, 1996: 219).[5]

Berhubungan dengan Soedjatmoko

  • Soedjatmoko sebetulnya punya peluang untuk menjadi Dirjen UNESCO, tapi Presiden Soeharto mirip Ne Win, tidak suka ada orang Indonesia menonjol di dunia melebihi pamor Soeharto. Karena itu Indonesia malah tidak aktif mencalonkan Soedjatmoko. Karena itu jabatan Dirjen UNESCO jatuh ke tangan diplomat Senegal, Amadou Mahtar Mbow (1974-1987) yang kelak terbukti banyak melakukan praktik KKN yang memalukan Dunia Ketiga. Soedjatmoko hanya kebagian jabatan Rektor United Nations University (1980-1986), yang merupakan think tank hasil prakarsa U Thant.[6]

Karya Tulis

Tulisan Soedjatmoko

Berhubungan dengan Soedjatmoko

Referensi

Pranala luar