Intervensi Belanda di Bali (1906)
Intervensi Belanda di Bali pada tahun 1906 adalah intervensi militer Belanda di Bali, menewaskan lebih dari 1.000 orang, yang sebagian besar adalah warga sipil. Ini adalah intervensi militer keenam Belanda di Bali. Intervensi Belanda di Bali pada tahun 1906 adalah intervensi militer Belanda di Bali, menewaskan lebih dari 1.000 orang, yang sebagian besar adalah warga sipil. Intervensi ini adalah salah satu bentuk kampanye pendudukan Belanda untuk Hindia Timur. Kampanye ini membunuh penguasa Bali dari Kerajaan Badung beserta istri dan anak-anak mereka, menghancurkan kerajaan Badung dan Tabanan serta melemahkan kerajaan Klungkung. Kampanye ini adalah intervensi militer Belanda keenam di Bali.[2]
Dutch intervention in Bali (1906) | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Pasukan Belanda mendarat di Sanur, 1906. Kavaleri Belanda di Sanur. | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Belanda |
Badung Tabanan Klungkung | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Mayor Jenderal Rost van Tonningen | |||||||
Kekuatan | |||||||
3 batalion infantri 1 detasemen kavaleri 2 baterai artileri Angkatan laut[1] | |||||||
Korban | |||||||
Minimal | lebih 1,000 dibunuh |
Latar belakang
Belanda telah menaklukkan Bali Utara pada pertengahan abad ke-19 M, mengintegrasikan Kerajaan Jembrana, Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem ke dalam pemerintahan Hindia Belanda, tetapi kerajaan selatan seperti Tabanan, Badung dan Klungkung berhasil tetap independen. Berbagai perselisihan terjadi antara Belanda dan kerajaan-kerajaan selatan, dan sudah diperkirakan bahwa Belanda akan melakukan intervensi militer begitu dalih muncul.[3]
Terdapat perselisihan yang berulang antara raja-raja Belanda dan Bali mengenai hak untuk menjarah kapal-kapal yang tenggelam di terumbu karang di sekitar Bali. Menurut tradisi Bali yang disebut tawan karang, raja Bali secara tradisional menganggap puing-puing itu sebagai milik mereka, sedangkan Belanda bersikeras tidak demikian. Pada tanggal 27 Mei 1904, sekunar Cina bernama Sri Kumala menghantam karang di dekat Sanur, dan dijarah oleh orang Bali. Atas permintaan kompensasi oleh Belanda, raja-raja Badung menolak untuk membayar apa pun, didukung oleh raja Tabanan dan raja Klungkung.[2] Penguasa Tabanan juga menyebabkan ketidakpuasan Belanda dengan mengizinkan pada tahun 1904 praktik suttee (ritual pengorbanan kerabat atas kematian seorang penguasa, juga disebut wesatia) meskipun ada permintaan resmi Belanda untuk mengabaikannya.[2] Pada bulan Juni 1906, Belanda memulai blokade di pantai selatan dan mengirim berbagai ultimata.[2]
Catatan
Referensi
- Willard A. Hanna (2004). Bali Chronicles. Periplus, Singapore. ISBN 0-7946-0272-X.
- Andy Barski, Albert Beaucort and Bruce Carpenter, Barski (2007). Bali and Lombok. Dorling Kindersley, London. ISBN 978-0-7566-2878-9.
- Debbie Guthrie Haer, Juliette Morillot and Irene Toh, Haer (2001). Bali, a traveller's companion. Editions Didier Millet. ISBN 978-981-4217-35-4.