Tahun Baru Imlek di Indonesia

Revisi sejak 1 November 2021 10.54 oleh Cun Cun (bicara | kontrib) (update informasi)

Tahun Baru Imlek di Indonesia adalah suatu rangkaian perayaan (festival) yang diselenggarakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia dalam menyambut tahun baru berdasarkan Kalender Imlek.[1]

Sama seperti etnis Tionghoa di berbagai negara lainnya, perayaan Tahun Baru Imlek juga dilaksanakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia sejak beratus-ratus tahun kedatangan mereka di Nusantara. Berbagai kelompok bahasa dan budaya Tionghoa mempunyai praktik perayaan yang berbeda-beda antara satu sama lainnya. Kelompok mayoritas Tionghoa-Indonesia adalah Hokkien, maka perayaan yang bercirikhas dari kelompok inilah yang paling dominan terlihat di Indonesia, antara lain penamaan Tahun Baru Imlek itu sendiri mengandung unsur kata bahasa Hokkien. Selain Tahun Baru Imlek, istilah lain untuk menyebut tahun baru adalah Sincia yang juga berasal dari bahasa Hokkien.[2]

Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia

Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia umumnya dilaksanakan dalam jangka waktu 15 hari.[1] Ini berlaku dalam berbagai kelompok atau sub-grup Tionghoa. Terutama bagi masyarakat Tionghoa yang masih menjalankan tradisi pemujaan leluhur, Tahun Baru Imlek adalah salah satu peristiwa di mana mereka melaksanakan penghormatan terhadap leluhur yang telah mendahului mereka. Berbagai ritual dan tradisi lain pun dilaksanakan menurut tradisi masing-masing sub-grup dalam 15 hari tersebut. Pengucapan syukur pada hari ke-9 kepada Thian dikenal dalam tradisi Hokkien sebagai "King Thi Kong" atau "Pai Thi Kong" yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai "Sembahyang Tuhan Allah".[3]

Pada hari ke-15, perayaan diselenggarakan untuk menutup Tahun Baru Imlek dengan meriah.[1] Perayaan ini dinakaman Cap Go Meh atau "Malam ke-15" dalam bahasa Hokkien.[1] Istilah lainnya yang dikenal masyarakat Tionghoa Indonesia adalah Guan Siau. Bagi kalangan masyarakat Hakka, hari ke-15 dikenal dengan istilah Cang Ngiet Pan. Perayaan penutup ini ditandai dengan bersinarnya bulan karena bertepatan dengan purnama.

Selain dikenal dengan perayaan yang berwarna, pada saat Imlek inilah muncul berbagai hidangan dan makanan khas Imlek yang khas. Tahun Baru Imlek dianggap sebagai perayaan Tionghoa-Indonesia yang terbesar di mana peristiwa ini dijadikan sebagai bersatu dan berkumpulnya keluarga. Ucapan-ucapan khas tahun baru saling dihaturkan, terutama yang berkaitan dengan kesehatan, kesuksesan dan keberhasilan untuk tahun yang baru. Untuk orang yang sukses dalam usahanya pada tahun lalu, ada kewajiban untuk membagikan uang dalam amplop yang dinamakan angpau atau fungpau.

Sejarah Tahun Baru Imlek di Indonesia

Sejarahnya perayaan Tahun Baru Imlek telah dilaksanakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia sejak beratus-ratus tahun kedatangan mereka di Nusantara. Tahun Baru Imlek merupakan hari raya terpenting bagi masyarakat Tionghoa sehingga umumnya dirayakan dengan suka cita dan rasa syukur. Perayaan ini dilangsungkan hingga 15 hari lamanya di mana tidak hanya dimeriahkan oleh etnis Tionghoa itu sendiri melainkan ikut berpartisipasinya berbagai suku bangsa lainnya. Namun, perayaan ini pun mempunyai pasang surutnya di Indonesia. Pembentukan Republik Indonesia ditandai dengan berbagai kebijakan baru dari pemerintahnya yang mencerminkan penolakan, pembatasan hingga dukungan terhadap etnis Tionghoa-Indonesia.

Era Pemerintahan Presiden Soekarno

Era Pemerintahan Presiden Soekarno ditandai dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No.2/Um tentang "Aturan tentang Hari Raya". Pasal 4 dalam aturan itu mengatur berbagai hari raya khusus bagi etnis Tionghoa-Indonesia termasuk Tahun Baru Imlek. Hari Raya khusus etnis Tionghoa tersebut dihapuskan secara resmi lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 tentang "Hari-Hari Libur" pada tanggal 1 Januari 1953.

Era Orde Baru

Selama periode panjang dari tahun 1968 hingga 1999, perayaan Tahun Baru Imlek dilarang untuk dirayakan di depan umum. Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang semua hal yang berkaitan dengan Tionghoa, termasuk Tahun Baru Imlek.

Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa (pada masa itu masih disebut Cina. Instruksi ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, agama dan adat istiadatnya. Dengan Inpres itu, semua perayaan dan tradisi etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya dilarang untuk dirayakan secara terbuka. Diketahui penetapan instruksi ini juga didukung oleh seorang etnis Tionghoa bernama Kristoforus Sindhunata.

Surat dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993 menyatakan larangan merayakan Imlek di wihara dan cetiya. Kemudian Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) mengeluarkan Surat Edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari raya agama Buddha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong Toapekong dan acara barongsai.

Pasca Era Orde Baru hingga kini

Pada tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967 yang diikuti dengan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tanggal 9 April 2001 yang mengumumkan secara resmi bahwa Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif (cuma berlaku untuk mereka yang merayakannya).

Pada tahun 2002, Tahun Baru Imlek resmi sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri sejak tahun 2003.

Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan demikian, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya secara terbuka.

Pada Imlek 2551 Kongzili pada tahun 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) mengambil inisiatif untuk merayakan Imlek secara terbuka sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu secara Nasional dengan mengundang Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya.

Pada tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.

Pada saat menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili, yang diselenggarakan Matakin pada bulan Februari 2002 Masehi, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional. Pengumuman ini ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek tertanggal 9 April.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek yang mulai berlaku sejak tanggal 9 April 2002 ditetapkan karena adanya pertimbangan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia, dan bahwa Tahun Baru imlek merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang dirayakan secara turun-temurun di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, mengingat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, maka ditetapkanlah Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional.

Referensi