Kesultanan Sambas

kerajaan di Asia Tenggara

Kesultanan Sambas adalah kerajaan yang terletak di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat sekarang, tepatnya berpusat di Kota Sambas. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.

Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M.

Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M.

Hubungan Kesultanan Sambas dan Kesultanan Brunei Darussalam

Sejarah tentang asal usul Kesultanan Sambas tidak bisa terlepas dari Kesultanan Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat. Pada abad ke-13, di Negeri Brunei Darussalam, bertahta seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad Shah / Awang Alak Betatar. Sultan Muhammad Shah ini merupakan Raja Brunei pertama yang memeluk Islam, Sultan Brunei ke-1. Setelah Baginda wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada Adindanya yaitu Pateh Berbai yang kemudian bergelar Sultan Achmad. Istri (Permaisuri) dari Sultan Achmad ini adalah anak Kaisar China. Dari hasil pernikahan ini Sultan Achmad hanya dikaruniai satu-satunya anak perempuan yang bernama Putri Ratna Kesuma. Pada akhir abad ke-14 M (sekitar tahun 1398 M) datang di Kesultanan Brunei pada masa Sultan Achmad ini seorang pemuda Arab dari negeri Thaif (dekat Kota Suci Makkah) yang bernama Syarif Ali.

Syarif Ali ini adalah mantan Amir Makkah (semacam Sultan Makkah)yang melarikan diri dari Makkah melalui Thaif menyusul terjadinya perebutan kekuasaan Tahta Amir Makkah dengan saudara sepupunya yang kemudian membuat posisi Amir Syarif Ali ini terpojok dan terancam jiwanya sehingga kemudian ia melarikan diri ke Aden (wilayah Yaman sekarang). Dari Aden Syarif Ali terus pergi ke India Barat, dari India Barat terus ke Johor dan dari Johor lalu ke Kesultanan Brunei yaitu dimasa Sultan Achmad (Pateh Berbai) yang memerintah Kesultanan Brunei. Syarif Ali ini adalah keturunan langsung dari Amir Makkah yang terkenal di Jazirah Arabia yaitu Syarif Abu Nu'may Al Awwal, dimana Syarif Abu Nu'may Al Awwal ini adalah keturunan dari Cucu Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam yaitu Amirul Mukminin Hasan Ra. Hal ini sesuai dengan silsilah yang terekam pada Batu Tarsilah Brunei yang masih di temui hingga kini yang menyebutkan " Syarif Ali, Sultan Brunei ketiga, adalah pancir (keturunan) dari Cucu Rasulullah, Amirul Mukminin Hasan Ra." Karena saat itu masyarakat negeri Brunei masih baru dalam memeluk Dienul Islam maka Syarif Ali yang mempunyai pengetahuan Islam yang lebih dalam kemudian mengajarkan Dienul Islam kepada masyarakat Brunei sehingga ia kemudian diangkat menjadi Mufti Kesultanan Brunei di masa Sultan Achmad itu. Sejak saat itu pengaruh Syarif Ali di Kesultanan Brunei semakin kuat seiring dengan kuatnya antusiasme masyarakat Brunei saat itu dalam mempelajari Islam. Posisi Syarif Ali di Kesultanan Brunei ini kemudian menjadi semakin kuat lagi yaitu setelah Sultan Achmad menjodohkan Putri satu-satunya yaitu Ratna Kesuma dengan Syarif Ali.

Pada saat Sultan Achmad sudah semakin tua dan mulai memikirkan penggantinya dan saat itu pengaruh Syarif Ali sebagai Ulama besar sekaligus menantu Sultan Achmad Tajuddin sudah begitu kuatnya di kalangan istana dan masyarakat Brunei, maka kemudian timbul ide untuk menjadikan Syarif Ali sebagai Sultan Brunei berikutnya apabila kelak Sultan Achmad wafat. Usul ini kemudian di setujui oleh Sultan Achmad dan didukung pula dengan kuat oleh masyarakat Kesultanan Brunei saat itu sehingga kemudian diangkatlah Syarif Ali sebagai Sultan Brunei ke-3 menggantikan Sultan Achmad (Sultan Brunei ke-2) dengan gelar Sultan Syarif Ali.

Setelah memerintah sekitar 7 tahun sebagai Sultan Brunei, pada tahun 1432 M Sultan Syarif Ali wafat dan kemudian digantikan oleh putra sulungnya yang bergelar Sultan Sulaiman, Sultan Brunei ke-4. Sultan Sulaiman memerintah sangat panjang yaitu sekitar 63 tahun dan berusia lebih dari 100 tahun. Setelah wafat pada tahun 1485 M, Sultan Sulaiman kemudian digantikan oleh putranya yang kemudian bergelar Sultan Bolkiah yang memerintah dari tahun 1485 M hingga 1524 M. Pada masa Sultan Bolkiah ini Kesultanan Brunei mengalami kemajuan yang sangat pesat dan mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas yaitu meliputi hampir seluruh Pulau Borneo / Kalimantan hingga ke Banjarmasin. Sultan Bolkiah kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung yang bergelar Sultan Abdul Kahar sebagai Sultan Brunei ke-6. Sultan Abdul Kahar kemudian digantikan oleh keponakannya (anak laki-laki dari Adindanya yang laki-laki) yang kemudian bergelar Sultan Syaiful Rijal (Sultan Brunei ke-7). Pada masa Sultan Syaiful Rijal inilah terjadinya pertempuran hebat antara Kesultanan Brunei dengan armada pasukan Spanyol yang menyerang Kesultanan Brunei, namun berhasil dihalau oleh pasuka Kesultanan Brunei saat itu. Sepeninggal Sultan Syaiful Rijal, ia kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung bergelar Sultan Shah Brunei (Sultan Brunei ke-8). Sultan Shah Brunei ini tidak lama memerintah yaitu hanya setahun, wafat yang kemudian digantikan oleh Adindanya yaitu anak laki-laki Sultan Syaiful Rijal yang kedua dan bergelar Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) yang memerintah dari tahun 1598 sampai 1659.

Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1659 M dan kemudian digantikan oleh putranya yang sulung bergelar Sultan Abdul Jalilul Akbar(Sultan Brunei ke-10). Sultan Abdul Jalilul Akbar mempunyai saudara kandung laki-laki yang bergelar Pangeran Muda Tengah. Pangeran Muda Tengah ini dikenal sebagai pemuda yang cerdas, gagah berani dan tampan sehingga kemudian setelah Sultan Abdul Jalilul Akbar memerintah selama puluhan tahun yaitu pada sekitar tahun 1621 M, timbul isu yang berkembang di Kesultanan Brunei saat itu bahwa Pangeran Muda Tengah lebih pantas untuk menjadi Sultan Brunei dibandingkan dengan Kakandanya yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang sedang memerintah saat itu. Maka kemudian untuk menghindari terjadinya perebutan Tahta Kesultanan Brunei, Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar kemudian membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei masa itu yaitu Tanah Sarawak untuk diberikan kepada Adindanya yaitu Pangeran Muda Tangah agar Adindanya itu dapat menjadi Sultan di Sarawak. Usul Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar ini kemudian diterima oleh Pangeran Muda Tengah.

Maka kemudian berhijrahlah Pangeran Muda Tengah dari Negeri Brunei beserta orang-orangnya yang terdiri dari sebagian pemuka-pemuka Kesultanan Brunei saat itu dengan membawa 1000 orang Sakai sebagai pasukan dan hulu balang. Selepas itu setelah menyiapkan segala sesuatunya maka kemudian pada tahun 1625 M berdirilah Kesultanan Sarawak dengan Pangeran Muda Tengah sebagai Sultan Sarawak yang pertama bergelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah dengan pusat pemerintahan di sekitar Kota Kuching sekarang ini. Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ini kemudian lebih populer dengan sebutan Sultan Tengah atau Raja Tengah yaitu mengambil dari gelar asalnya yaitu Pangeran Muda Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kesultanan Sukadana pada tahun 1629 M.

Karena prilaku dan kemampuannya Baginda Sultan Tengah ini sangat baik dan unggul sehingga Sultan Sukadana saat itu yaitu Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) sangat bersimpati dengan Baginda Sultan Tengah sehingga kemudian Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Maka kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan Putri Surya Kesuma. Dari perkawinan ini terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sulaiman.Karena sebab tertentu yang menyangkut keamanan di wilayah sekitar Selat Malaka saat itu maka sejak menikah dengan Putri Surya Kesuma, Baginda Sultan Tengah beserta orang-orangnya memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana selama beberapa waktu. Sultan Tengah menetap di Kesultanan Sukadana hingga kemudian dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma diperoleh 5 orang anak yaitu Sulaiman, Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Wati.

Tidak berapa lama setelah kelahiran anaknya yang ke-5 (Ratna Wati), Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk hijrah dari Kesultanan Sukadana menuju tempat kediaman baru di wilayah Sungai Sambas, sambil masih menunggu keadaan aman di wilayah Selat Malaka untuk kembali pulang ke Kesultanan Sarawak. Di wilayah Sungai Sambas saat itu diperintah oleh seorang Raja yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu Sapudak. Kerajaan Panembahan Ratu Sapudak saat itu mayoritas masih hindu walaupun Ulama Islam telah pernah berkunjung ke Panembahan Ratu Sapudak, dengan pusat pemerintahan di tempat yang sekarang disebut dengan name Kota Lama, Kecamatan Teluk Keramat sekitar 36 km dari Kota Sambas. Baginda Sultan Tengah beserta rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak di Kota Lama dan dipersilahkan untuk tinggal di wilayah Panembahan Sambas ini.

Di Sambas inilah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya menetap yaitu ditempat yang sekarang bernama Kembayat hingga kemudian anaknya yang sulung yaitu Sulaiman beranjak dewasa. Setelah dewasa, Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak perempuan bungsu dari Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga Sulaiman dianugerahi gelaran "Raden" menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas, mendirikan kerajaan baru yang bernama Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M. Melalui Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Shafiuddin I) inilah yang kemudian menurunkan Sultan-Sultan Sambas berikutnya secara turun temurun hingga sekarang ini.

Panembahan Ratu Sapudak

Panembahan Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama "Panembahan Sambas". Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.

Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.

Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah sebelumnya terbunuhnya Raja Tan Unggal oleh kudeta rakyat dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.

Setelah lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak.

Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom.

Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun, anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.

Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang menuju Kesultanan Sarawak.

Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya (Adik-adik dari Raden Sulaiman).

Sepeninggal Ayahandanya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang kemudian dilampiaskannya setelah Ayahanda Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.

Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.

Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahandanya (Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk Islam.

Kesultanan Sambas

Setelah sempat singgah di Kota Bangun selama sekitar 1 tahun, rombongan Raden Sulaiman yang hijrah dari Panembahan Sambas (Kota Lama) ini kemudian memutuskan untuk menetap dan membuat perkampungan yaitu di suatu tempat di hulu Sungai Subah yang disebut dengan nama Kota Bandir.

Selama Raden Sulaiman dan pengikutnya menetap di Kota Bandir, dari hari kehari semakin banyak orang-orang dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) yang malarikan diri ke tempat Raden Sulaiman di Kota Bandir. Larinya penduduk Kota Lama ini karena tidak tahan dengan tingkah laku adik Ratu Anom Kesumayuda yaitu Raden Aryo Mangkurat yang selalu membuat keonaran dan kekacauan di dalam negeri Panembahan Sambas. Hal ini menyebabkan semakin hari penduduk Kota Lama semakin sedikit sebaliknya penduduk Kota Bandir semakin banyak.

Setelah lebih dari 3 tahun menetap di Kota Bandir, Ratu Anom Kesumyuda kemudian secara tiba-tiba menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan rombongan besar pengikutnya sedang dalam perjalanan hijrah dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) untuk kemudian mencari tempat menetap baru di Sungai Selakau karena di Kota Lama Ratu Anom Kesumayuda tidak sanggup mengendalikan tingkah polah Adik yaitu Raden Aryo Mangkurat yang banyak membuat kekacauan sehingga akhirnya berseteru dengan Ratu Anom Kesumayuda. Untuk itu Ratu Anom Kesumayuda menyatakan melepaskan kekuasaannya atas wilayah Sungai Sambas ini dan menyerahkannya (memberikan mandat) kepada Raden Sulaiman untuk menguasai dan mengendalikan wilayah Sungai Sambas. Raden Sulaiman kemudian meminta tanda bukti dari Ratu Anom Kesumayuda atas penyerahan kekuasaan atas wilayah Sungai Sambas ini yang kemudian dituruti oleh Ratu Anom Kesumayuda dengan memberikan pusaka kerajaan sebagai tanda bukti berupa 3 buah meriam lela.

Sekitar 3 tahun setelah menerima mandat ini dan setelah berembuk dengan orang-orangnya serta mempersiapkan segala sesuatunya, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan kerajaan baru yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya namun bukan berpusat di Kota Bandir tetapi di tempat baru yaitu tidak jauh daru muara Sungai Teberrau yang disebut dengan nama Lubuk Madung. Maka kemudian pada tahun 1675 M berdirilah kerajaan baru yang bernama Kesultanan Sambas berpusat di Lubuk Madung dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Gelar ini mengikuti gelar dari pak mudanya dari sebelah Ibunda (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Sukadana (Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika).

Dalam perkembangan awalnya lingkungan di pusat pemerintahan Kesultanan Sambas yang baru berdiri ini sebagian besar adalah orang-orang Jawa dari Panembahan Sambas yang telah masuk Islam ini sehingga kemudian adat istiadat di lingkungan Keraton Kesultanan Sambas saat itu didominasi oleh adat istiadat dan budaya Jawa seperti penamaan gelar-gelar Kebangsawanan dan nama-nama keluarga Kesultanan yang bernuansa budaya Jawa. Namun dalam perkembangan selanjutnya Kesultanan Sambas juga kemudian berhasil merangkul dan membaurkan masyarakat Melayu-Dayak yaitu masyarakat Melayu yang berasimilasi dengan masyarakat Dayak pesisir yang mana kedua suku bangsa ini telah lebih dahulu mendiami daerah pesisir laut di sekitar wilayah Sungai Sambas ini, dengan masyarkat Jawa peninggalan Panembahan Sambas yang kemudian membentuk masyarakat Melayu Sambas hingga saat ini.

Selama menjadi Sultan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I giat mempererat hubungan dengan negeri-negeri leluhurnya yaitu Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Kesultanan Sukadana adalah leluhur dari pihak Ibundanya yaitu Putri Surya Kesuma (Adik dari Sultan Sukadana yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika) sedangkan Kesultanan Brunei adalah leluruh dari pihak Ayahandanya yaitu Sultan Tengah (anak dari Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan), sehingga kemudian pada masa pemerintahan Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I ini terjalin hubungan yang sangat akrab dan baik antara Kesultanan Sambas dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sukadana disamping juga mengembangkan hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lainnya seperti Kerajaan Landak dan Kesultanan Trengganu di Semenanjung Melayu.

Setelah hampir 10 tahun memerintah Kesultanan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I kemudian mempersiapkan anaknya yang sulung yaitu Raden Bima yang sudah dewasa untuk menggantikannya kelak menjadi Sultan Sambas berikutnya. Maka Raden Bima kemudian ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Di Kesultanan Sukadana Raden Bima kemudian menikah dengan adik dari Sultan Sukadana saat itu yaitu Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama Putri Ratna Kesuma. Dari pernikahan ini Raden Bima memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Mulia atau Meliau. Dari Kesultanan Sukadana Raden Bima pulang ke Kesultanan Sambas dan kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Brunei.

Di Brunei, Raden Bima mendapat sambutan yang sangat mesra dari Sultan Brunei saat itu yaitu Baginda Sultan Muhyiddin dan para kerabat dari Kakeknya yaitu kerabat Baginda Sultan Tengah yang ada di Brunei. Berbagai hadiah berupa berbagai alat kebesaran kerajaan diberikan Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima berikut anugrah gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" yang diberikan oleh Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima apabila nantinya Raden Bima menjadi Sultan Sambas berikutnya menggantikan Ayahandanya yaitu Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I. Penganugrahan gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" kepada Raden Bima ini dilakukan mengikut adat kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang bertempat di Istana Kesultanan Brunei pada masa itu.

Sekembalinya Raden Bima dari Brunei yaitu ketika Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I telah memerintah Kesultanan Sambas selama sekitar 10 tahun, maka kemudian pada tahun 1685 M, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I mengundurkan diri dari Tahta dan mengangkat putranya yaitu Raden Bima sebagai Sultan Sambas ke-2 dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin. Gelaran sesuai dengan gelaran yang diberikan oleh Sultan Brunei yaitu Baginda Sultan Muhyiddin.

Sekitar satu tahun setelah menjadi Sultan Sambas ke-2, Raden Bima / Sultan Muhammad Tajuddin kemudian atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat dipercabangan 3 sungai yang kemudian dikenal dengan nama "Muare Ulakkan" yaitu pada sekitar tahun 1687 M. Muare Ulakkan ini merupakan lokasi percabangan 3 sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah.

Dari sejak itulah Muare Ulakkan ini menjadi lokasi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas secara terus menerus selama sekitar 250 tahun hingga berakhirnya Kesultanan Sambas pada tahun 1944 M.


Pangeran Anom

Wafatnya Sultan Umar Akamuddin I, Puteranya Raden Bungsu naik tahta dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin. Kemudian diganti oleh Abubakar Tadjuddin I. Berganti pula dengan Raden Pasu yang lebih terkenal dengan nama Pangeran Anom. Setelah naik tahta beliau bergelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I. Sebagai wakilnya diangkatlah Sultan Usman Kamaluddin dan Sultan Umar Akamuddin III. Pangeran Anom dicatat sebagai tokoh yang sukar dicari tandingannya, penumpas perampok lanun. Setelah memerintah kira-kira 13 tahun (1828), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I wafat. Puteranya Raden Ishak (Pangeran Ratu Nata Kesuma) baru berumur 6 tahun. Karena itu roda pemerintahan diwakilkan kepada Sultan Usman Kamaluddin.

Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishak dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Syafeiuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879). Maka sebagai wakil ditunjuklah Raden Toko' (Pangeran Ratu Mangkunegara) dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Pada tahun itu juga atas perintah Belanda, Pangeran Adipati diberangkatkan ke Jawa untuk studi.

Pangeran Adipati

Tahun 1861, Pangeran Adipati pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin II. Beliau mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan diangkat sebagai putera Mahkota. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Muhammad Aryadiningrat. Sebelum manjabat sebagai raja, Putera Mahkota Raden Ahmad wafat mendahului ayahnya. Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Muhammad Mulia Ibrahim. Pada saat Raden Ahmad wafat, Sultan Muhammad Syafeiuddin II telah berkuasa selama 56 tahun. Beliau merasa sudah lanjut usia, maka dinobatkan Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai wakil raja dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin II.

Kedatangan Jepang

Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, beliau wafat. Roda pemerintahan diserahkan kepada Sultan Muhammad Mulia Ibrahim. Dan pada masa pemerintahan raja inilah, bangsa Jepang datang ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim adalah salah seorang yang menjadi korban keganasan Jepang. Sejak saat itu berakhir pulalah kekuasaan Kerajaan Sambas. Sedangkan benda peninggalan Kerajaan Sambas antara lain tempat tidur raja, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran raja, payung ubur-ubur, tombak canggah, meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Tiongkok dan kaca kristal dari negeri Belanda.

Sultan-Sultan Sambas

Sultan-Sultan Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan yaitu :

  1. Sultan Muhammad Shafiuddin I (1675 - 1685)
  2. Sultan Muhammad Tajuddin (1685 - 1708)
  3. Sultan Umar Aqamaddin I (1708 - 1732)
  4. Sultan Abubakar Kamaluddin (1732 - 1764)
  5. Sultan Umar Aqamaddin II (1764 - 1786) dan (1793 - 1802)
  6. Sultan Achmad Tajuddin (1786 - 1793)
  7. Sultan Abubakar Tajuddin I (1802 - 1815)
  8. Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (1815 - 1828)
  9. Sultan Usman Kamaluddin (1828 - 1832)
  10. Sultan Umar Aqamaddin III (1832 - 1846)
  11. Sultan Abu Bakar Tajuddin II (1846 - 1854)
  12. Sultan Umar Kamaluddin (1854 - 1866)
  13. Sultan Muhammad Shafiuddin II (1866 - 1924)
  14. Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II (1924 - 1926)
  15. Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1931 - 1944) (Sultan Sambas Terakhir, Kesultanan Sambas Berakhir)
  16. Pangeran Ratu Muhammad Taufik (1944 - 1984) (Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas)
  17. Pangeran Ratu Winata Kusuma (2000 - 2008) (Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas)
  18. Pangeran Ratu Muhammad Tarhan (2008 hingga sekarang) sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas.

Gelar, Sebutan Penghormatan dan Jabatan di Kesultanan Sambas

  • Seluruh Sultan Sambas disamping mempunyai nama batang tubuh juga mempunyai nama gelaran seperti Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I, Raden Ishaq bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II dan lainnya.
  • Sultan dengan sebutan penghormatan: Sri Paduka al-Sultan Tuanku (gelar Sultan) ibni al-Marhum (nama dan gelar bapak), Sultan dan Yang di-Pertuan Sambas, dengan panggilan Yang Mulia.
  • Sultan yang mengundurkan diri dari Tahta mempunyai sebutan kehormatan "Yang Dipertuan Sultan" dan menggunakan nama gelarannya sewaktu menjadi Sultan misalnya : Yang Dipertuan Sultan Muhammad Shafiuddin II.
  • Permaisuri: Sri Paduka Ratu (gelar).
  • Putra Mahkota (Pewaris Resmi Kerajaan) mempunyai sebutan kehormatan "Pangeran Ratu" atau "Pangeran Adipati" namun tidak mempunyai gelar, jadi langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya. Putra Mahkota ini biasanya dipilih dari anak laki-laki sulung dari Permaisuri yang disebut dengan nama "Anak Gahara".
  • Anak Sulung Sultan dari istri bukan Permaisuri mempunyai sebutan kehormatan "Pangeran Muda".
  • Dibawah Sultan Sambas terdapat 4 Jabatan Wazir dengan sebutan kehormatan "Pangeran" dan mempunyai nama gelaran yaitu : Wazir I bergelar Pangeran Bendahara Sri Maharaja, Wazir II bergelar Pangeran Paku Negara, Wazir III bergelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma dan Wazir IV bergelar Pangeran Laksmana. Keempat Wazir ini diketuai oleh Wazir I (Pangeran Bendahara Sri Maharaja)dan keempatnya harus berasal dari kerabat dekat Sultan Sambas dan mempunyai nasab yang sama.
  • Dibawah Wazir terdapat Menteri-Menteri Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" yang diantaranya bergelar Pangeran Cakra Negara, Pangeran Amar Diraja dan lainnya.
  • Dibawah Pangeran terdapat Chateria Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" namun tidak mempunyai nama gelaran jadi langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya.
  • Anak-anak dari Pangeran, Pangeran Ratu atau Pangeran Adipati dan Pangeran Muda semuanya mempunyai sebutan kehormatan "Raden".
  • Anak-anak dari Raden mempunyai sebutan kehormatan "Urai". "Urai" dapat kemudian menjadi "Raden" tetapi dengan suatu pengangkatan secara resmi oleh Sultan.

Referensi

Sumber

Lihat pula

Pranala luar