Petrus Kafiar (nama lahir Noseni, sekitar 1864 atau 1873 – 2 Agustus 1926) merupakan guru penginjil beragama Kristen Protestan yang bekerja di daerah Teluk Cenderawasih, Papua pada pergantian abad ke-20. Mula-mulanya hidup dengan kepercayaan animisme, dia dibawa ke Pulau Mansinam (di Kabupaten Manokwari sekarang) untuk mengenyam pendidikan dalam sekolah Kristen dan dibaptis pada tahun 1887[1]. Setelah melanjutkan pendidikannya di Seminari Depok pada 1892–1896, dia kembali ke Pulau Mansinam untuk membantu pekabaran Injil dari Zending di Papua Belanda kepada Suku Arfak yang tinggal di pesisir utara Pulau Papua.

Petrus Kafiar
Petrus-kafiar.dok-2
Informasi pribadi
Nama lahirNoseni
Lahir1864 atau 1873
Belanda Pulau Supiori, Nugini Belanda (sekarang Kabupaten Supiori, Indonesia)
Meninggal(1926-08-02)2 Agustus 1926
Belanda Nugini Belanda (sekarang Provinsi Papua Barat, Indonesia)
DenominasiProtestan
Pasangan hidup
Ida Kafiar (menikah 1898)
Anak2 putra & 4 putri

Dia dianggap sebagai orang asli Papua pertama yang mendapatkan gelar sarjana sekaligus menjadi guru pertama.

Masa kecil

 
Peta Kepulauan Biak (Schouten Eilanden). Pulau Supiori di bagian barat laut adalah tempat Petrus Kafiar lahir.

Tidak diketahui secara pasti kapan Petrus Kafiar lahir, namun diperkirakan dia lahir sekitar tahun 1864[2] hingga 1873[1] dengan nama kecil Noseni. Dia merupakan anak ketiga dari seorang kepala suku (Bahasa Biak: mananwir) di Kampung Maudori, Pulau Supiori[1] yang bernama Sengaji. Dia merupakan anggota dari sub-suku Urmbor, salah satu sub-suku dalam Suku Biak.

Selama hidup di Kampung Maudori, Noseni mengikuti kepercayaan animisme Suku Biak yang memercayai roh-roh para leluhur yang dapat berkomunikasi dengan yang masih hidup melalui sebuah patung mon atau melalui perantara orang hobatan (Bahasa Biak: snon bena mon, orang yang memiliki roh)[3]. Pada masa ini juga, masyarakat suku Biak masih terbiasa dengan perang antar suku atau antar kampung yang dilancarkan dengan pelayaran ke kampung tujuan, dan tidak jarang mereka menjarah harta serta orang untuk dijadikan budak atau dimakan (praktik kanibalisme)[4].

Kematian sang ayah

Pada saat Noseni masih kecil, Sengaji ayahnya menderita sakit keras. Sakit ini disebabkan kegundahan hati sang kepala suku setelah mendengar kabar bahwa tujuh kapal perang dari kampungnya yang berisikan pejuang atau mambri terbaik kampung diterpa badai dan tenggelam[3][4]. Ini menyebabkan tenaga pertahanan kampung yang berkurang drastis dan rawan diserang suku lain[4].

Para warga kampung bermusyawarah, dan terbukti bahwa sakit keras yang diderita Sengaji akan membawa kematiannya. Dilakukan segala cara untuk menyembuhkan Sengaji dan mengangkatnya dari ajal yang akan datang. Pengobatan ini tidak hanya menggunakan dedaunan dan akar tumbuhan, namun juga menggunakan pemanggilan roh menggunakan orang hobatan dan peletakan patung-patung mon yang sudah dimasuki roh. Namun, pengobatan tersebut tetap tidak berhasil dan akhirnya, ayah Noseni pun tetap meninggal.[3]

Upacara pemakaman untuk ayah Noseni pun dilangsungkan. Menurut FJS Rumainum, pemakaman seorang kepala suku dalam tradisi sub-suku Urmbor terdiri dari beberapa tahapan[3], seperti;

  • Jenazah ayah Noseni diberikan beberapa perlakuan, yaitu ditekuk kedua lututnya dan ditutupnya kedua mata jenazah dengan pecahan piring (kedua hal tersebut ditujukan untuk menghindarkan orang yang hidup dari bahaya akan menyusul yang mati secara beriringan);
  • Jenazah dibaringkan di rumah supaya orang yang ingin melayat dari jauh dapat melihat orang yang telah meninggal itu, dan juga agar jasadnya hancur hingga tersisa tulang belulang saja;
  • Penghancuran segala barang dan properti kepemilikan sang kepala suku termasuk rumah, piring, dan kebun beserta seluruh tanamannya. Hal ini dilakukan karena masyarakat sub-suku Urmbor percaya bahwa semua barang kepemilikan itu sudah tidak berguna lagi karena yang memiliknya (sang kepala suku) tidak akan pernah lagi memakainya.
  • Pesta perkabungan yang dilaksanakan selama berhari-hari. Dalam pesta perkabungan ini, para perempuan keluarga Sengaji akan dipakaikan kain hitam dan putih milik sang kepala suku, dan akan dibakar juga setelah pesta selesai.
  • Penguburan jenazah sang kepala suku setelah jasadnya hancur dan tersisa tulang belulang saja.

Satu kisah yang disoroti oleh FJS Rumainum dalam Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil adalah bahwa pada saat persemayaman jenazah ayahnya, Noseni mengambil sebuah patung mon yang mengelilingi jenazah beliau dan merusaknya dengan parang. Dituliskan bahwa setelah dia merusak patung itu, Noseni berkata:

Aku sudah tidak lagi memercayaimu mulai sekarang, karena kau juga tidak dapat melepaskan ayahku dari bahaya maut/kematian!

Ditawan dan menjadi budak

Tahapan terakhir dalam pemakamannya adalah pengebumian secara final di Pulau Bepondi yang terletak beberapa kilometer ke utara. Saat pengebumian ini, banyak warga termasuk pria usia tempur ikut berlayar ke Pulau Bepondi dan tinggal di sana selama beberapa hari untuk mengadakan doa kepada sang kepala suku yang meninggal. Waktu ini menjadikan penjagaan Kampung Maudori minim, sehingga rawan terhadap penyerangan dari suku luar.

Kematian sang kepala suku itu juga terdengar orang-orang di luar Kampung Maudori; salah satunya adalah orang-orang dari Kampung Korido. Mengetahui orang-orang Maudori bertolak ke Pulau Bepondi, orang-orang Korido melihat waktu ini sebagai waktu yang tepat untuk menyerang Kampung Maudori.

Penyerbuan Kampung Maudori pun dilaksanakan. Albert Rumbekwan mencatat ada 12 pejuang atau mambri yang dikirim untuk menyerbu Kampung Maudori yang tidak dilindungi itu[4]. Tanpa perlawanan yang cukup, para warga Maudori dapat dikalahkan dan barang-barang di sana dijarah. Dalam penyerangan ini, Noseni yang ditinggal sendirian di kampung ditawan oleh para mambri dan dibawanya ke Korido[4]. Para penyerang dari Korido kaget ketika mengetahui anak yang mereka tawan ini adalah seorang anak kepala suku; mereka takut orang-orang Maudori akan membalas dendam atas penculikan ini.[3] Diceritakan dalam Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil bahwa terjadi perdebatan di antara orang-orang Korido untuk mengembalikan Noseni atau tetap membawanya, namun kematian seseorang di antara mereka yang ikut menyerang Kampung Maudori dianggap oleh orang-orang Korido sebagai penebusan atas Noseni yang mereka culik, sehingga mereka berketetapan untuk membawa Noseni dan menjadikannya budak[3] kepada klan (Bahasa Biak: keret) Rumasep[4].

FJS Rumainum menuliskan fisik Noseni dalam usianya waktu itu menjadikannya budak yang handal, dan dia setia mengikuti para tuannya ke manapun mereka bekerja serta mematuhi segala perintah. Namun, kondisi perbudakan ini merupakan tahap kehidupan penuh penderitaan bagi Noseni.[3]

Dijual di Mansinam

Keluarga dari orang yang meninggal sebagai tebusan untuk Noseni tidak terima dengan kematian tersebut. Dimusyawarahkan di antara orang-orang Korido tentang hal ini, dan diputuskan bahwa Noseni harus dijual sebagai ganti tebusan. Dengan keputusan itu, dibawanyalah Noseni ke Teluk Doreh (sekarang Manokwari) untuk dijual dengan harga yang tinggi.

Setibanya di Manokwari, seorang tukang kayu dengan nama David Keizer asal Pulau Halmahera membeli Noseni dengan 50 keping logam[3] (sumber lain menyebutkan 50 keping perak[4]) Dengan transaksi itu, orang-orang Korido melepas Noseni ke tangan David Keizer.

David Keizer rupanya mengangkat Noseni sebagai anaknya[4]. Dia dan istrinya Lidia rupanya sangat mensyukuri kedatangan Noseni karena telah lama mereka menginginkan seorang anak lelaki. Di rumah keluarga Keizer, Noseni tinggal bersama David dan Lidia beserta seorang putri mereka yang bernama Margareta.

Mengenal Kristen

Dua pengalaman yang membuka matanya

FJS Rumainum menulis dalam buku Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil tentang dua pengalaman yang membuka mata hati Noseni terhadap iman Kristiani.

Pengalaman pertama terjadi saat pelayaran Noseni bersama orang-orang Korido mencari ikan. Dalam pelayaran tersebut, kapal orang-orang Korido diterjang badai yang luar biasa. Dalam kasus seperti ini, orang Biak di masa lampau memiliki kebiasaan untuk memanggil nama-nama leluhur mereka untuk pertolongan melewati badai ini. Tapi dalam momen diterjang badai itu, Noseni mendengar suara pemanggilan yang berbeda dari orang-orang Korido, yakni "Manseren Yesus e, wa betulung nu!", yang dalam Bahasa Biak berarti "Tuhan Yesus, (engkau) tolonglah kami!".

Pengalaman kedua terjadi setelah Noseni tinggal bersama keluarga Keizer. Margareta, saudara angkatnya, meninggal setelah beberapa lama menderita penyakit kronis. Baik orang tua angkatnya maupun Noseni sendiri sangat berduka atas kepergian Margareta. Namun, Noseni menyadari bahwa segala barang yang dimiliki Margareta tidak dihancurkan dan jenazahnya dikuburkan tidak lama setelah kematian, seperti saat ayah kandungnya Sengaji sang kepala suku meninggal.

Di kemudian hari Noseni menyadari pelajaran dari pengalaman tersebut. Tidak seperti masyarakat Biak, masyarakat beragama Kristen mempercayai bahwa nyawa seorang manusia berada di tangan Tuhan, dan bukan karena pengaruh roh-roh jahat. Bila Tuhan berkehendak, Tuhan akan memanggil mereka kembali ke sisi-Nya dengan suka cita, sehingga tidak perlu juga ada pesta perkabungan yang berlarut-larut seperti yang dilaksanakan saat ayah kandungnya meninggal.

Dibaptis dan belajar di sekolah

Di bawah naungan kedua orang tua angkatnya itu Noseni kemudian dibaptis pada 28 Oktober 1887 dengan nama baptis Petrus.[3]

David Keizer menginginkan Noseni mengenyam pendidikan formal di sekolah Zending di Pulau Mansinam[3]. Beliau kemudian memperkenalkan Noseni kepada Pendeta J. L. van Hasselt (seorang pendeta Belanda yang dulu mengajak Keizer bekerja di Pulau Mansinam[5]). FJS Rumainum menulis bahwa awalnya Noseni takut dengan sosok Pendeta van Hasselt yang berkulit putih dan asing itu hingga badannya bergemetar, namun Keizer dengan sabar menasihati Noseni bahwa Pendeta van Hasselt adalah orang baik, dan akhirnya Noseni mau bergabung untuk sekolah[3].

Di sekolah Zending di Pulau Mansinam, Petrus belajar membaca, menulis dan berhitung, dan mampu menguasai ketiga keahlian tersebut dengan sangat cepat. Para guru Zending menyadari hal ini, dan mereka akan meminta tolong kepada Petrus untuk membantu mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung kepada teman-temannya. Di luar sekolah pun Petrus dikatakan juga membantu mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung kepada orang dewasa yang membutuhkan. Hal ini dilakukan supaya Petrus dapat menanamkan budi pekerti dan kepemimpinan dalam dunia pendidikan. Melihat perkembangan yang pesat ini, kedua orang tua angkat Petrus, David dan Lidia Keiser sangat senang.[3]

David Keizer sebenarnya menginginkan Petrus untuk membantunya bekerja sebagai tukang kayu untuk Zending. Ketika Zending memerlukan pekerja untuk membangun perkampungan guru penginjil di Amberbaken (sekarang di Kabupaten Tambrauw), David menyuruh Petrus untuk mengambil pekerjaan itu. Namun di luar dugaan David, Petrus tidak setuju. Petrus menyebut bahwa dia masih ingin belajar, dan jika dia ikut bekerja sebagai tukang kayu, maka kesempatan belajarnya akan berakhir. David memahami keinginan anak angkatnya itu, dan dengan musyawarah bersama para pendeta, Petrus kemudian dikirim untuk bersekolah di sebuah Sekolah Gubernemen Kelas II berbahasa Melayu di Ternate selama satu tahun.

Melanjutkan ke Seminari Depok

Pada 1892, ai dan orang Papua lainnya, Timotheus Awendu, dikirim di bawah naungan misi Mansinam untuk masuk Seminari Depok untuk belajar karya misionaris.[6] Kafiar menjadi guru-pengkotbah, berkayra di berbagai tempat sebelum kembali pada 1908 ke kampung halamannya. Ia menjadi pionir karya misionaris di Biak.[1] Ia dapat bertutur dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang ia terapkan kepada orang-orang Biak,[7] yang dipandang sebagai kelompook Kristenisasi paling berhasil di bawah naungan Belanda.[8]

Kematian dan warisan

Petrus Kafiar menikah dengan seorang perempuan bernama Ida (yang telah lebih dahulu dibaptis pada 29 April 1884) pada 12 Agustus 1898. Keduanya dikaruniai dua putra dan empat putri, namun sayangnya kedua putra Petrus Kafiar meninggal lebih dulu. Dari para putrinya, dua di antaranya; Emilia Kafiar dan Elsa Kafiar mengikuti jejak ayahnya untuk bersekolah Kristen di Jawa, lalu bekerja sebagai juru rawat di sebuah rumah sakit di Manokwari, sedangkan putri ketiganya (namanya tidak disebutkan) menikah dengan seorang guru dan ikut bekerja dengannya di Sentani dan Pulau Numfor.[3]

Petrus Kafiar meninggal pada 2 Agustus 1926. Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil menyebut bahwa dia meninggal di usia kurang lebih 62 tahun. Dia dipercaya dimakamkan di Fanindi (sekarang di Distrik Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari), namun lokasi tepat makamnya hingga saat ini masih belum diketahui.[3]

Penghargaan

Berkas:Peresmian Pantai Petrus Kafiar, 25 Oktober 2018.jpg
Peresmian Pantai Petrus Kafiar oleh Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan pada 25 Oktober 2018

Petrus Kafiar dikenal sebagai salah seorang asli Papua pertama yang mendapatkan pendidikan tinggi keguruan serta menerima gelar sarjana pertama[3]. Beliau juga dihormati sebagai guru pertama dari orang asli Papua yang berperan dalam memulai mengajarkan ilmu pengetahuan dan turut serta dalam membangun pusat keagamaan dan gereja di antara orang asli Papua[9].

Sebagai tanda rasa hormat, nama beliau dijadikan nama di beberapa tempat, antara lain;

  • Pantai Petrus Kafiar di Kabupaten Manokwari[9]
  • SD YPK Petrus Kafiar di Kabupaten Manokwari[10][11]
  • Akademi Pariwisata Petrus Kafiar di Kabupaten Biak Numfor[12]

Referensi

  1. ^ a b c d Gerald H. Anderson (1999). Biographical Dictionary of Christian Missions. Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 349–350. ISBN 978-0-8028-4680-8. 
  2. ^ "Kafiar, Petrus 1864-1926 [WorldCat Identities]". Diakses tanggal Oct 19, 2020. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o FJS Rumainum (2008). Guru Petrus Kafiar: Putra Tanah Papua Yang Pertama Menjadi Guru Penginjil. Panitia PI 100 Tahun Emas di Supiori Cabang Manokwari. 
  4. ^ a b c d e f g h Rumbekwan, Albert (2019). "Peristiwa-Peristiwa Perang Suku/Tradisional di Pesisir Utara Papua". Prodising Seminar Hasil Penelitian Pengembangan IPTEKS dan Seni (5): 107–131. 
  5. ^ Kamma, F. C. (1993). Ajaib di Mata Kita: Masalah Komunikasi Antara Timur dan Barat Dilihat Dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Penjabaran Injil di Irian Jaya. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 
  6. ^ Jan Sihar Aritonang; Karel Adriaan Steenbrink (2008). A History of Christianity in Indonesia. BRILL. hlm. 352–. ISBN 90-04-17026-X. 
  7. ^ Danilyn Rutherford (2003). Raiding the Land of the Foreigners. Princeton University Press. hlm. 30–. ISBN 0-691-09591-4. 
  8. ^ C. L. M. Penders (31 July 2002). The West New Guinea Debacle: Dutch Decolonisation and Indonesia 1945-1962. University of Hawaii Press. hlm. 119–. ISBN 978-0-8248-2470-9. 
  9. ^ a b Tapilatu, Maryrose (14 Juni 2021). Ndari, Annisa, ed. "Sejarah di Balik Pantai Petrus Kafiar, Manokwari". LautSehat.id. Diakses tanggal 24 Juli 2022. 
  10. ^ Tim Balleo News (4 Februari 2019). "Mengejar Masa Depan di SD YPK Petrus Kafiar Manokwari". Kumparan. Diakses tanggal 24 Juli 2022. 
  11. ^ "SD YPK Petrus Kafiar". Data Pokok Pendidikan Dirjen PAUD Dikdasmen Kemdikbud RI. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Diakses tanggal 24 Juli 2022. 
  12. ^ "Akademi Pariwisata Petrus Kafiar Biak". AyoKuliah. Diakses tanggal 24 Juli 2022.