Fatahillah
Fatahillah, Fadhillah Khan, atau Falatehan (ejaan orang Portugis)[2] adalah laksamana Cirebon dan tokoh penyebar Islam yang dikenal karena memimpin penjajahan Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan mengganti namanya menjadi Jayakarta. Penaklukkan ini adalah salah satu misinya untuk menyebarkan Islam ke Jawa Barat.[3]
Fatahillah | |
---|---|
Lahir | Tidak diketahui Samudera Pasai[a] |
Meninggal | 1570 Cirebon, Kesultanan Cirebon |
Zaman | Penyebaran Islam di Nusantara, Kolonialisme Portugis di Indonesia |
Dikenal atas | Penaklukkan Sunda Kelapa |
Anak |
|
Nama Falatehan pertama kali disebutkan oleh João de Barros dalam seri bukunya yang berjudul Décadas da Ásia (Dekade-dekade dari Asia). Ia melaporkan bahwa salah satu kapal brigantin armada Duarte Coelho yang terdampar di Sunda Kelapa, telah diserang oleh pasukan Muslim di bawah pimpinan Fatahillah dan membunuh semua laskar Portugis di kapal tersebut.[4]
Latar belakang
Barros mencatat bahwa Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian pergi meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai Portugis. Fatahillah pergi ke Mekkah untuk mempelajari agama Islam, dan setelah dua atau tiga tahun lalu kembali ke Pasai. Karena masih diduduki oleh Portugal, Fatahillah melanjutkan perjalanannya ke Pulau Jawa, ke Jepara, dan mengabdikan diri kepada sultan Demak di sana. Merasa puas atas pengabdiannya, Raja memberikan seorang adiknya kepada Fatahillah untuk diperistri.[5] Graaf dan Pigeaud menganggap bahwa raja Jepara yang dimaksud adalah Raja Demak ketika itu, Sultan Trenggana.[6]
Setelah itu Fatahillah berangkat untuk mengislamkan Banten, dan diberi dukungan 2.000 orang prajurit dan pembantu oleh Raja. Dengan dukungan pasukan Muslim itulah Fatahillah menaklukkan pelabuhan Sunda (Kalapa dan Banten).[7] Adolf Heuken berpendapat bahwa peristiwa terdamparnya armada Duarte Coelho di pantai Kalapa terjadi pada akhir November 1526,[8] jadi penaklukan Fatahillah atas Kalapa mungkin terjadi pada pertengahan bulan November itu.
Hubungannya dengan Sunan Gunung Jati
Sejarawan seperti Hoesein Djajadiningrat,[9] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud,[6][10] , Slamet Muljana,[11] dan Adolf Heuken[12] berpendapat bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama. Setelah mengabdikan diri ke Demak, pada sekitar 1524–1525 Fatahillah dengan sokongan sekitar 1500 prajurit menyerbu dan mengalahkan Banten, pelabuhan penting Kerajaan Sunda yang beragama Hindu, serta menguasainya sebagai raja bawahan Sultan Demak. Tahun-tahun berikutnya (1526–1527) Fatahillah menyerang dan menundukkan Sunda Kalapa, serta mengusir tentara Portugis yang hendak mendirikan benteng di wilayah Sunda. Setelah berkuasa hampir 30 tahun, pada sekitar 1552 Fatahillah meninggalkan Banten menuju Cirebon; dan menyerahkan kekuasaannya atas Banten kepada puteranya, Maulana Hasanuddin. Fatahillah kemudian tinggal sebagai penguasa dan pemuka agama di Cirebon sampai dengan wafatnya, hingga kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.[6]
Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama).
Menurut Saleh Danasasmita, Fatahillah masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyutnya, Zainul Alam Barakat, adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat, India.
Wali penguasa di Cirebon
Ketika Sunan Gunung Jati wafat di tahun 1568, Fatahillah menjadi wali penguasa Kesultanan Cirebon dimana ia berperan sebagai kepala pemerintahan di Pakungwati selama 2 tahun antara tahun 1568 sampai ia wafat di tahun 1570.[13] Setelah ia wafat, Fatahillah dimakamkan bersebelahan dengan makam Sunan Gunung Jati di komplek pemakaman Astana Gunung Sembung yang sekarang terletak di Kec. Gunungjati, Kab Cirebon.[14] Takhta Kesultanan Cirebon selanjutnya diwariskan kepada Zainul Arifin, cicit Sunan Gunung Jati yang bergelar Panembahan Ratu.[15]
Nasab
Maulana Fathlullah bin Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghofur bin Zainul Alam Barokat bin Jamaludin Husein Al-Akbar bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Amir Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi Shohib Baiti Jubair/'Alwi Ats Tsani bin Muhammad Shohibus Saumah bin Alawi bin Ubaidillah Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali bin Husain bin Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib.
Anak
- Kiai Bagus Abdurrahman, ia menurunkan gelar Kiagus-Nyayu Kesultanan Palembang Darussalam
- Kiai Mas Abdul Aziz, ia menurunkan gelar Kemas-Nyimas Kesultanan Palembang Darussalam
- Ratu Darah Putih, ia menurunkan raja-raja Keratuan Darah Putih dan Keratuan Melinting Lampung
- Maulana Abdullah
- Pangeran Sendang Garuda
Penghargaan
Untuk menghormati jasa-jasanya dalam mempertahankan Sunda Kelapa dari Portugis, Pemerintah Republik Indonesia menjadikan ia sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.[butuh rujukan]
- Masjid Fatahillah
- KRI Fatahillah (361)
- Museum Fatahillah
- Sekolah Tinggi Teknologi Fatahillah
- Lapangan Fatahillah
Catatan
Referensi
- ^ "Sejarah HUT Jakarta & Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?". Tirto.id. Diakses tanggal 2020-12-12.
- ^ Wain, Alexander (2017). "China and the Rise of Islam on Java". Dalam Peacock, A. C. S. Islamisation: Comparative Perspectives from History. Edinburgh: Edinburgh University Press. hlm. 419–443.
- ^ Kotapradja Djakarta Raya 1953, hlm. 491.
- ^ Barros 1777, hlm. 85.
- ^ Barros 1777, hlm. 86.
- ^ a b c De Graaf, H. J.; Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1974). "De eerste moslimse vorstendommen op Java: Studiën over de staatkundige geschiedenis van de 15de en 16de eeuw on JSTOR". JSTOR (dalam bahasa Inggris). doi:10.1163/j.ctvbqs7vc.
- ^ Barros 1777, hlm. 86,87.
- ^ Heuken, A. (1999). Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I. Jakarta: Cipta Loka Caraka
- ^ Djajadiningrat, Hoesein (1983). Tinjauan kritis tentang sejarah Banten. (Terjemahan disertasi dari Critische bischorwing van de sadjarah Banten). Jakarta: Djambatan.
- ^ De Graaf, H. J. (1976). Islamic States in Java 1500-1700: Eight Dutch Books and Articles by Dr. H.J. de Graaf (dalam bahasa Inggris). Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (dalam Brill). ISBN 978-90-04-28700-6.
- ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. ISBN 9798451163.
- ^ Heuken, Adolf (2000). Sumber-sumber asli sejarah Jakarta dokumen-dokumen sejarah Jakarta dari kedatangan kapal pertama Belanda sampai dengan tahun 1619. III. Cipta Loka Caraka: Jakarta.
- ^ M.A, Prof Dr H. J. Suyuthi Pulungan (2022-02-16). Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Amzah. ISBN 978-602-0875-48-4.
- ^ X, SASTRAWAN. BEDUG BEDUG PENGUASA. Guepedia. ISBN 978-623-7953-26-5.
- ^ Hernawan, Wawan; Kusdiana, Ading (2020-05-12). BIOGRAFI SUNAN GUNUNG DJATI: Sang Penata Agama di Tanah Sunda. LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung. ISBN 978-623-93720-1-9.
Daftar pustaka
- Barros, J. de. (1777). Da Asia De Joāo De Barros: Dos Feitos, Que Os Portuguezes Fizeram No Descubrimento, E Conquista Dos Mares, E Terras Do Oriente. Decada Quarta. Parte Primeira (Bagian IV). Na Regia Officina Typografica.
- Kotapradja Djakarta Raya. Jakarta: Departemen Penerangan RI. 1953.
- Sedjarah Pemerintahan Kota Djakarta. Jakarta: Kotapradja Djakarta Raja. 1958.