Rumah Adat Banoa Sibatang

Rumah Adat di Indonesia
Revisi sejak 20 Desember 2023 17.14 oleh Hysocc (bicara | kontrib) (-link iklan)

Banoa Sibatang atau Banoa Batang adalah rumah adat tradisional Kalumpang, kabupaten Mamuju provinsi Sulawesi Barat. Rumah adat ini dihuni oleh suku Makki atau disebut juga Suku Kalumpang. Rumah adat ini memiliki ciri tersendiri pada bagian atap dan keunikan pada bagian bawahnya. Rumah adat ini diyakini berkaitan langsung dengan nenek moyang Austronesia. Hal ini terlihat dari tiang rumah panggung yang disambungkan dengan lantai rumah memiliki pola berbentuk rakit. Hal ini diyakini sebagai jejak warisan bangsa Austronesia yang dulu bermigrasi dari Pulau Taiwan ke selatan dengan menggunakan rakit. Secara asal usul, tetua-tetua adat di Kalumpang mengakui bahwasanya sebagian besar masyarakat Kalumpang berasal dari Tana Toraja. Sehingga dalam penyebutannya secara umum masyarakat Kalumpang disebut dan menyebut diri mereka sebagai masyarakat Toraja Barat. Hal ini sangat berpengaruh pada bentuk dan konstruksi rumah adat Banoa sibatang, yang sangat mirip dengan rumah ada suku Toraja yang ada di Sulawesi Selatan. Dengan atap bentuk rakit, tiang depan dengan beberapa tanduk kerbau sebagai persembahan ritual memasuki rumah baru.

Sangat menarik untuk mengunjungi daerah Kalumpang karena daerah ini sudah lama menjadi daya tarik Arkeolog untuk meneliti sejarah kehidupan nenek moyang Austronesia. Banyak ditemukan peninggalan-peninggalan nenek moyang yang di yakini sebagai bangsa Austronesia.

Kalumpang berada di Hulu sungai Karama, sungai terpanjang di Sulawesi Barat kecamatan Kalumpang, Mamuju. Kecamatan Kalumpang ini bisa ditempuh 180 km dari kota Mamuju dan 38 km dari pelabuhan Belang-belang, yaitu pelabuhan utama provinsi Sulawesi Barat.[1]

Berkas:Raiyani Muharramah-Tugu Gong Perdamaian Mamuju DSCF8348.jpg
Enam pilar penopang gong perdamaian di tepi pantai Manakkara di Mamuju, yang terdiri dari 6 tiang cikal bakal Sulawesi Barat yaitu Kalumpang


Letak geografis

Secara geografis, wilayah Kalumpang berada di bagian Barat pegunungan Tirobali yang membagi wilayah Toraja dan Luwuk di bagian timur dengan wilayah Mamuju. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2004, terjadi pemekaran provinsi Sulawesi Selatan, sehingga terbentuklah provinsi Sulawesi Barat, dengan lima kabupaten yaitu Mamuju, Majene, Polewali Mandar, Mamasa, dan Mamuju Utara sehingga Kalumpang kini masuk dalam wilayah kabupaten Mamuju provinsi Sulawesi Barat.[2]

Sejak pemekaran Sulawesi Selatan yang sebagian wilayahnya menjadi Provinsi Sulawesi Barat yang didalamnya termasuk wilayah masyarakat Kalumpang dalam bentuk wilayah administrasi kecamatan Kalumpang, Pemerintah Kabupaten Mamuju yang menaungi wilayah Kalumpang telah menyebut masyarakat Kalumpang sebagai Masyarakat Adat Kalumpang. Hal ini terbukti dengan adanya tulisan Kalumpang yang dipajang di ikon kota Mamuju yaitu 6 tiang penyangga gong perdamaian yang berada di tepi Pantai Manakarra bersama-sama dengan kata-kata yang mengisyaratkan masyarakat adat yang secara turun temurun telah menghuni Wilayah administratif kabupaten Mamuju seperti Kalukku dan Tapalang.[2]

Konstruksi

  1. Rangka utama yaitu tiang dan balok induk, dengan menggunakan kayu kelas satu.
  2. Konstruksi tiang rumah panggung yang disambungkan dengan lantai rumah memiliki pola berbentuk seperti rakit. Konstruksi dinding menggunakan kayu kelas dua. Karena adanya pengaruh Toraja maka bentuk rumah hampir mirip dengan rumah tongkonan dari Sulawesi Selatan, terutama bentuk atap yang membentuk rakit seperti halnya suku Toraja.
  3. Konstruksi atap menggunakan bahan sirap dan kayu besi, bambu, daun nipah, rumbia, ijuk atau ilalang, dahulu dibuat dengan menggunakan parang La'bo yaitu parang khas suku Kalumpang[3]
  4. Konstruksi tangga terbuat dari kayu dan bambu
  5. Konstruksi dinding menggunakan kayu, papan dan bambu zaman dahulu menggunakan teknik mengikat dan membuat simpul [4]

Fungsi

  1. Tiang yang tinggi memberikan efek status sosial. Semakin tinggi tingkat kolong rumah menandakan semakin tinggi pula tingkat status sosial pemiliknya
  2. Tiang-tiang tinggi juga untuk menghindari banjir dan binatang buas[5]

Referensi