Kerajaan Selaparang

kerajaan di Asia Tenggara
Selaparang dialihkan ke halaman ini, untuk nama bandara kunjungi Bandar Udara Selaparang.

Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau Lombok. Pusat kerajaan ini di masa lampau berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan Seleparang), yang saat ini kurang lebih lebih berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.

Sejujurnya minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan Selaparang, terutama sekali tentang awal mula berdirinya. Namun, tentu saja terdapat beberapa sumber objektif yang cukup dapat dipercaya. Salah satunya adalah kisah yang tercatat di dalam daun Lontar yang menyebutkan bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah masuknya atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.[1]

Sejarah

Berdirinya Selaparang

Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama Islam salah satunya (bukan satu-satunya) pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang muballigh dari kota Bagdad, Irak, bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan Ghaos Abdul Razak. Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga sebagai cikal bakal Sultan-Sultan dari kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Lombok.[2] Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sultan-Sultan di Pulau Lombok.

Betara Nala memiliki seorang putra bernama Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon Rambitan yang bernama asli Sayyid Abdrurrahman. Beliau ini dikenal pula dengan nama Wali Nyatok. Ia disebut sebagai pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Selaparang. Namun, ketinggian ilmu tarekatnya telah mendorongnya untuk mengundurkan diri dari panggung Kerajaan Kayangan dan kemudian menetap di desa Rambitan, Lombok Tengah, sebagai penyebar agama Islam di wilayah ini.[3] Wali Nyatok ini di Pulau Bali terkenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Dang Hyang Dwijendra. Adapun di Sumbawa terkenal dengan nama Tuan Semeru, sedangkan di Jawa beliau bernama Aji Duta Semu atau Pangeran Sangupati. Ia dikenal sebagai penyebar agama Islam, pun dianggap sebagai seorang Waliyullah. Ia mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan Wayang, Tasawuf dan Fiqh. Dalam proses menyebarkan agama Islam, salah satu media yang digunakannya adalah Wayang, sebagaimana yang dilakukan pula oleh Sunan Kalijaga. Adapun bentuk mistik Islam yang dibawanya merupakan kombinasi (sinkretisme) antara mistisme Islam (Sufisme) dengan salah satu ajaran filsafat Hindu, yaitu Advaita Vedanta.[4]

Kembali ke soal Kerajaan Selaparang dan Ghaos Abdul Razak. Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya beliau masuk ke Pulau Lombok. Namun pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaos Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan. Iapun menetap dan berdakwah di sana. Ia mengawini Denda Bulan yang melahirkan seorang putra bernama Zulkarnain (dikenal juga dengan sebutan Pangeran Abdurrahman atau Syaikh Abdurrahman). Kemudian Ghaos Abdul Razak menikah lagi dengan Denda Islamiyah. Dari pernikahan yang kedua ini lahirlah Denda Qomariah yang populer dengan sebutan Dewi Anjani.[5]

Sumber lain menyebutkan bawah Ghaos Abdul Razak memiliki dua orang anak, yaitu Rabi’ah dan Zulkarnain (disebut pula dengan Ghaos Abdurrahman). Zulkarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar Sultan Rinjani, dan Datu Selaparang, atau sering pula digabung menjadi Sultan Rinjani Selaparang. Beliau mempunyai tiga orang anak, yakni Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut, Sayyid Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah Qamariah alias Dewi Anjani (ada pula yang menyebut Dewi Rinjani).[6]

Nah, sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak yang sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam, menjadi cikal bakal Sultan-Sultan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang (Kayangan). Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah: Tidakkah keduanya memang orang yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu sebagai Ghaos Abdul Razak, dan Wali Nyatok adalah Ghaos Abdurrahman. Hal itu masih dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan nama-nama berbeda ditempat yang berbeda.

Kejayaan Selaparang

Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.[7]

Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.[8]

Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sultan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.[9]

Keruntuhan Selaparang

Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar Kerajaan Selaparang.[10]

Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.[11]

Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu yakni Kerajaan Gelgel, Kerajaan Mataram Karang Asem dan terutama sekali Belanda―maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik. Pada akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali) yang mana pada saat itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang.[12] Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi.[13]

Lihat pula

Catatan Kaki

  1. ^ (Indonesia) Perlu diketahui juga bahwa salah seorang anggota wali sembilan (wali songo), Maulana Malik Ibrahim―beliau dipercaya juga sebagai yang tertua di antara anggota wali sembilan lainnya―pernah juga berdakwah di Pulau Lombok sebelum beliau pergi ke Pulau Jawa. Bukti bahwa Maulana Malik Ibrahim pernah berdakwah di Pulau Lombok adalah terdapatnya sebuah masjid kuno bernama masjid Maulana Malik Ibrahim di desa Pengkores, Lombok Utara, yang hingga saat ini masih berdiri dengan kokoh sebagai saksi bisu dakwah Maulana Malik Ibrahim di lokasi tersebut.
  2. ^ (Indonesia) Ibrahim Husni. Draf Penelitian tentang Sejarah Nahdlatul Wathan dan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Lombok Timur. 1982 (Tidak Diterbitkan). hlm. 1.
  3. ^ (Indonesia) Lalu Djelenga. Keris di Lombok. Mataram. 2002. Yayasan Pusaka Selaparang. hlm. 20.
  4. ^ (Indonesia) Usri Indah Handayani. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat. Mataram. 2004. Museum Negri Prov NTB.
  5. ^ (Prancis) Galih Widjil Pangarsa. Les mosquees de Lombok: Evolution architecturale et diffusion de l'islam. Archipel No 44, EHESS. Paris, 1992.
  6. ^ (Indonesia) Ibrahim Husni. Loc. Cit...
  7. ^ (Indonesia) Mohammad Noor, dkk. Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan Perjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 2004. hlm. 85.
  8. ^ (Indonesia) Ibid...
  9. ^ (Indonesia) Fathurrahman Zakaria. Mozaik Budaya Orang Mataram. Yayasan Sumurmas al-Hamidy. Mataram. 1998. hlm. 46.
  10. ^ (Indonesia) Mohammad Noor, Op. Cit, hlm. 86.
  11. ^ (Indonesia) Ibid...
  12. ^ (Indonesia) Ibid, hlm. 87.
  13. ^ (Indonesia) Ibid...

Lihat pula