Arthur Schopenhauer adalah seorang filsuf Jerman yang melanjutkan tradisi filsafat pasca-Kant.[2] Schopenhauer lahir di Danzig pada tahun 1788.[3][2] Ia menempuh pendidikan di Jerman, Perancis, dan Inggris.[3] Ia mempelajari filsafat di Universitas Berlin dan mendapat gelar doktor di Universitas Jena pada tahun 1813.[3] Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Frankfurt, dan meninggal dunia di sana pada tahun 1860.[3]

Arthur Schopenhauer
Lahir(1788-02-22)22 Februari 1788
Danzig
Meninggal21 September 1860(1860-09-21) (umur 72)
Frankfurt
EraFilosofi abad ke-19
KawasanFilosofi Barat
AliranKantianism, idealism
Minat utama
Metaphysics, aesthetics, ethics, phenomenology, morality, psychology
Gagasan penting
Will, Fourfold root of reason, pessimism
Tanda tangan


Dalam perkembangan filsafat Schopenhauer, ia dipengaruhi dengan kuat oleh Imanuel Kant dan juga pandangan Buddha.[2] Pemikiran Kant nampak di dalam pandangan Schopenhauer tentang dunia sebagai ide dan kehendak.[2] Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada bidang penampakan atau fenomena, sehingga benda-pada-dirinya-sendiri (das Ding an sich) tidak pernah bisa diketahui manusia.[2] Misalnya, apa yang manusia ketahui tentang pohon bukanlah pohon itu sendiri, melainkan gagasan orang itu tentang pohon.[2] Schopenhauer mengembangkan pemikiran Kant tersebut dengan menyatakan bahwa benda-pada-dirinya-sendiri itu bisa diketahui, yakni "kehendak".[2]

Biografi

Arthur Schopenhauer lahir di Danzig (sekarang Gdańsk).[4][5] Dia adalah putra dari Heinrich Floris Schopenhauer dan Johanna Schopenhauer.[4] Kedua orang tuannya adalah keturunan orang kaya Jerman dan keluarga bangsawan.[4] Keluarga Schopenhauer pindah ke Humburg ketika Kerajaan Prussia dikuasai Polish-Lithuanian Commonwealth kota Danzig tahun 1793.[4] Tahun 1805, ayah Schopenhauer bunuh diri.[4] Setelah itu, ibu Schopenhauer, Johanna pindah ke Weimar, yang kemudian menjadi pusat literature Jerman.[4] Kepergiannya ke sana untuk melanjutkan karirnya sebagai penulis.[5] Setahun kemudian, Schopenhauer meninggalkan bisnis keluarganya yang ada di Humburg. Dia pergi ke Weimar dan tinggal dengan ibunya.[5]

Schopenhauer pun kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen pada tahun 1809.[6] Pada masa perkuliahannya, dia belajar tentang metafisika dan psikologi di bawah bimbingan Gottlob Ernst Schulze, penulis buku Aenesidemus, yang mengajurkannya agar berkonsentrasi pada Plato dan Immanuel Kant.[6] Pada tahun 1811 sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf post-Kant terkemuka dan dari seorang teolog Friedrich Schleiermacher.[6]


Selama di Berlin

Pada tahun 1814, Schopenhauer memulai pekerjaannya sebagai penulis dengan judul bukunya The World as Will and Representation (Die Welt als Wille und Vorstellung), Dunia sebagai Kehendak dan Gagasan.[7] Dia menyelesaikannya pada tahun 1818 dan menerbitkannya setahun kemudian.[7] Pada tahun 1820 Schopenhauer menjadi dosen di Universitas Berlin.[7] Dia menjadwalkan untuk memberikan kuliah yang sama dengan pemikiran filsuf terkenal G. W. F. Hegel.[7] Schopenhauer menyebutnya sebagai clumsy charlata.[7] Namun, hanya lima orang yang berminat mengikuti kuliahnya dan dia pun di keluarkan dari akademi tersebut.[7]

Ketika berada di Berlin, Schopenhauer pernah menjadi tersangka atas tuduhan dari seorang wanita bernama Caroline Marquet.[7] Wanita tersebut menuduh Schopenhauer telah mendorongnya.[7] Di dalam pengadilan Schopenhauer bersaksi bahwa wanita itu telah mengganggunya dengan suaranya yang keras di depan pintu Schopenhauer.[7] Caroline Marquet pun menuduh Schopenhauer telah memukulnya setelah wanita itu menolak untuk pergi dari pintunya.[7] Marquet pun menang di dalam pengadilan tersebut.[7] Schopenhauer pun dituntut membayar wanita itu selama dua puluh tahun ke depan. Ketika perempuan itu meninggal dunia, Schopenhauer menulis sertifikat kematiannya dengan Obit anus, abit onus ("The old woman dies, the burden flies").[7] Hal inilah mungkin yang membuat dia sangat membenci wanita.[7]

Pada tahun 1812, dia jatuh cinta kepada seorang gadis berusia Sembilan belas tahun.[7] Gadis itu seorang penyanyi opera dan bernama Caroline Richter. Mereka pun sempat berhubungan dengannya selama beberapa tahun. Namun, dia membatalkan rencana pernikahannya.[7]

Setelah kematian ayahnya, Schopenhauer meneruskan bisnis ayahnya sebagai pedagang.[7] Usaha itu dijalankannya selama dua tahun.[7] Sedangkan ibunya pergi ke Weimar.[7] Schopenhauer pun belajar di Gota Gym.[7] Setelah itu, dia meninggalkannya karena muak dengan cercaan gurunya.[7] Dia pun pergi ke tempat menemui ibunya.[7] Ibunya pda waktu itu telah membuka sebuah salon kecil.[7] Namun, dia tidak cocok dengan pekerjaan ibunya itu dan dia pun muak dengan ibunya yang dianggap melupakan kenangan bersama ayahnya.[7] Schopenhauer pun kemudian berkuliah di sebuah universitas.[7] Di sana dia menulis buku pertamanya, On the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason.[7]

Pindah ke Frankfrut

 
Schopenhauer ketika masih muda

Pada tahun 1813, wabah kolera menyerang Berlin dan Schopenhauer tinggal di kota itu.[7] Schopenhauer pun menetap di Frankfrut tahun 1833.[7] Pada saat itu, dia telah berusia dua puluh tujuh tahun.[7] dia tinggal sendirian di Frankfrut, kecuali dengan binatang kesangannya Atman dan Butz.[7] Karyanya berupa pemikiran yang paling menonjol di sepanjang hidupnya adalah Senilia.[7] Judul ini diterbitkan sebagai penghargaan kepadanya.[8] Schopenhauer mempunyai sebuah undang-undang yang kuat.[8] Pemikiran Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan filsuf Imanuel Kant.[8] Kekagumannya kepada keduanya itu ama besar.[8] Hal ini terlihat dari ruang kerjanya dipasang dengan kedua patung tokoh tersebut.[8]

Pada tahun 1833, Dia hidup sebagai bujang kaya berkat warisan orangtuanya.[2] Schopenhauer hidup dengan ketakutan kerena dia merasa terancam.[2] Oleh sebab itu, dia sering tidur dengan pistol di sampingnya.[2] Ia banyak menerbitkan tulisan, namun tidak laku dijual. Dia sendirilah yang membeli buku karya tulisannya untuk disimpan.[2] Beberapa tahun menjelang akhir hidupnya, barulah ia terkenal.[2] Buku yang disimpannya itupun diedarkannya.[2] Schopenhauer hidup sendiri.[2] rencana pernikahannya selalu berantakan.[2] Dia menganggap hidup dengan banyak orang memuakkan dan membuang waktu baginya.[2] Ia menhina dan mengejek Kaum wanita sebagai “para karikatur”.[2]

Akhir Hidupnya

Pada tahun 1860, keadaannya mulai memburuk.[8] Dia pun meninggal pada 21 September 1860 karena gagal jantung ketika duduk di bangku sekitar rumahnya.[8] Dia meninggal pada usia yang ketujuh puluh dua tahun.[8]

Pemikiran Filosofis

Filsafat Keinginan

Schopenhauer memberikan fokus kepada investigasinya terhadap motivasi seseorang.[2] Sebelumnya, filsuf terkemuka Hegel telah mempopulerkan konsep Zeitgeist, ide bahwa masyarakat terdiri atas kesadaran akan kolektifitas yang digerakkan di dalam sebuah arah yang jelas.[2] Schopenhauer memfokuskan diri untuk membaca tulisan-tulisan dua filsuf terkemuka pada masa kuliahnya, yaitu Hegel dan Kant.[2] Schopenhauer sendiri mengkritik optimisme logika yang dijelaskan oleh kedua filsuf terkemuka tersebut dan kepercayaan mereka bahwa manusia hanya didorong oleh leinginan dasar sendiri, atau Wille zum Leben (keinginan untuk hidup) yang diarahkan kepada seluruh manusia.[2]

Schopenhauer sendiri berpendapat bahwa keinginan manusia adalah sia-sia, tidak logika, tanpa pengarahan dan dengan keberadaan, juga dengan seluruh tindakan manusia di dunia.[2] Schopenhauer berpendapat bahwa keinginan adalah sebuah keberadaan metafisikal yang mengontrol tindak hanya tindakan-tindakan individual, agent, tetapi khususnya seluruh fenomena yang bisa diamati.[2] Keinginan yang dimaksud oleh Schopenhauer ini sama dengan yang disebut dengan Kant dengan istilah sesuatu yang ada di dalamnya sendiri.[2]

Pandangan filosofis Schopenhauer melihat bahwa hidup adalah penderitaan.[2] Schopenhauer menolak kehendak.[2] Apalagi dengan kehendak untuk membantu orang menderita.[2] Ajaran Schopenhauer menolak kehendak untuk hidup dan segala manifestasinya, namun ia sediri takut dengan kematian.[2]

Keputusan dan Hukuman

Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan.[2] Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat.[2] Oleh sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar.[2] Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya.[2] Pemilih itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan.[2] Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya.[2] Segala kebutuhan dan tanggung jawab itu pun sudah dibawa sejak lahir dan bersifat kekal.[2] Schopenhauer juga menegaskan jika tidak ada keinginan bebas, haruskah kejahatan dihukum?[2]

Catatan

Filsafat Schopenhauer ini termasuk ke dalam Idealisme Jerman.[2] Pendapat ini dibuktikan melalui perbandingan antara filosofis Schopenhauer dengan pandangan Idealisme Jerman.[2] Keduanya mengajarkan bahwa realitas bersifat subjektif, artinya keseluruhan kenyataan merupakan konstruksi kesadaran Subjek.[2] Dunia ini juga dipandang sebagai ide.[2] Pandangan Schopenhauer ini pun dijadikan wakil dari Idealisme Jerman.[2] Sekalipun memang ada hal-hal yang bersifat lebih khusus dan fundamental yang membedakan pemikiran Schopenhauer dengan Idealisme Jerman.[2] Bagi Schopenhauer, dasar dunia ini transcendental dan bersifat irasional, yaitu kehendak yang buta.[2] Kehendak ini buta, sebab, sebab desakannya untuk terus-menerus dipuaskan tidak bisa dikendalikan dan tidak akan pernah terpenuhi.[2] Namun, justru keinginan yang tak sampai berarti penderitaan.[2] Selanjutnya, menurut dia bahwa kehendak transendental itu mewujudkan diri dalam miliaran eksistensi kehidupan, maka hidup itu sendiri merupakan penderitaan.[2] Jalan keluar yang diusulkan Schopenhauer ini pun cukup logis.[2] Kalau hidup ini adalah penderitaaan, maka pembebasan dari penderitaan tersebut tentunya akan tercapai melalui penolakan kehendak untuk hidup.[2] Konkretnya adalah lewat kematian raga dan bela rasa.[2]

Cara pemikiran Schopenhauer ini menarik.[2] Namun, tetap saja memiliki kesalahan.[2] Masalah dalam filsafatnya berkaitan dengan pandangannya atas pengetahuan tentang prinsip individuasi.[2] Menurut Schopenhauer, berkat pengetahuan inilah manusia sadar bahwa dirinya adalah sama dengan semua makhluk hidup lain (dasar dari sikap bela rasa) sehingga dia tidak perlu memutlakkan diri dan keinginannya (dasar sikap mati raga atau penyangkalan diri).[2] Tanpa pengetahuan ini, manusia tidak akan mengalami pencerahan dan tetap berada dalam kegelapan.[2]

Anggapan Schopenhauer ini menekankan dua hal, yaitu bahwa kesadaran manusia terbukti lebih kuat dibandingkan nafsu dan keinginannya, dan bahwa karena itu ia juga mampu memperhatikan keadaan kepentingan orang lain, di dalam hal ini berarti bahwa manusia bukanlah makhluk egois sebagai mana yang dipikirkan oleh Schopenhauer.[2] Namun, jika kesadaraan bisa menguatkan manusia menyangkal diri dan berbela rasa, bukankah demikian kehendak untuk hidup itu sendiri bukan merupakan dasar dari segalanya?[2]

Pengaruh

Kendatipun demikian, pengaruh Scopenhauer dalam perkembangan pemikiran selanjutnya cukup besar.[2] Ia membuka jalan bagi orang suatu psikologi tentang alam bawah sadar ala Freud.[2] Pemikiran Schopenhauer tentang kehendak untuk hidup di kemudian hari mempengaruhi filsafat Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht)'.[2] Setengah abad kemudian, ajaran Schopenhauer ini memberikan inspirasi pada filsafat hidup (Vitalisme), misalnya pada pemikiran Henry Bergson (1859-1941).[2] Selain itu, ia menghidupkan perhatian dan minat orang Barat pada studi kesustraan dan agama-agama Timur, terkhusus Buddhisme.[2]

Pranala Luar

Lihat Juga

Referensi

  1. ^ "John Gray: Forget everything you know — Profiles, People". London: The Independent. 2002-09-03. Diakses tanggal 2010-03-12. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 329-333.
  3. ^ a b c d (Inggris)Kathleen Marie Higgins. 1999. "Schopenhauer,Arthur". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 820. London: Cambridge University Press.
  4. ^ a b c d e f K. Bertens.1976.Ringkasan Sejarah Filsafat.Jogjakarta.Kanisius.69-70.
  5. ^ a b c Arthur Schopenhauer(1969). E. F. J. Payne. ed. The World as Will and Representation. II. New York: Dover Publications.527. ISBN 978-0-486-21762-8.
  6. ^ a b c On the Suffering of the World, (1970), Page 35. Penguin Books-Great Ideas Payne, The World as Will and Representation, Vol. II, 519.
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Essays and Aphorisms, trans. R.J. Hollingdale, Middlesex. London. 1970.154.
  8. ^ a b c d e f g h Christopher Patrick McCoy.2009.Thou Art That: Schopenhauer's Philosophy and the Chandogya Upanishad. Master's thesis, James Madison University: 10-13.