Sastra Eksil Indonesia adalah karya-karya pengarang Indonesia yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air setelah peristiwa 30 September 1965.[1]

Sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang eksil Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang dimaksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer. [2] Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’ tahun 1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan harus hidup dari satu negeri ke negeri lain, oleh mantan Presiden Abdulrachman Wahid alias Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang yang terhalang pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’.[2]

Kebudayaan eksil, termasuk sastra eksil, lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II).[2] Atau, dalam bentuk yang lebih lunak, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.[2]

Sama yang umum dialami kaum eksil, para penulis eksil Indonesia juga harus membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka.[2] Penghilangan jati diri itu dilakukan atas desakan dari penguasa di mana mereka berlindung – semua eksil Indonesia yang bermukim di China mereka harus bernama China, bahkan sampai di Eropa Barat pun (Perancis) mereka ‘mengubah nama’ mereka menjadi nama-nama Perancis.[2] Goncangan perubahan itu terlebih dirasakan oleh para eksil, karena di dalam ideologi mereka telah ditanamkan ajaran, bahwa ‘dunia proletariat mereka’ adalah ‘dunia murni’, sedang dunia di luar mereka adalah ‘lautan burjuasi’ yang serba kotor.[2]

Eksil Indonesia mempunyai kekhasan dibandingkan berbagai fenomena eksil dunia lainnya. Eksil pada umumnya adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tekanan politik.[3] Mereka mempersiapkan diri untuk tidak akan pernah bisa pulang.[3] Karenanya, mereka akan berintegrasi penuh dengan budaya dan masyarakat baru di mana mereka akan tinggal.[3] Mereka menjadikan tanah pengasingan itu sebagai rumah baru dan menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Inilah yang dikenal dengan nama kebudayaan diaspora.[3]

Kondisi tersebut tidak terdapat pada eksil Indonesia.[3] Ketika peristiwa 65 terjadi di Indonesia, mereka yang berada di luar negeri merasa hal tersebut tidak akan berlangsung lama.[3] Namun kenyataannya berlangsung puluhan tahun. [3]Baru pada tahun 1990an, mereka sadar bahwa mereka adalah eksil, setelah 25 tahun ketika pemerintah setempat mulai menuntut kejelasan kewarganegaraan sebagai syarat mendapatkan uang pensiun, ketika umur mereka sudah tua.[3] Bagi para penulis, semuanya menjadi terlambat.[3] Untuk terjun dalam pergaulan sastra setempat, mereka harus memiliki modal pengetahuan bahasa setempat yang cukup.[3] Dan belajar bahasa di usia tua hampir merupakan kemustahilan. Akhirnya mereka terkurung dalam kesadaran mereka yang tidak realistis, hidup di negeri asing namun tetap merasa Indonesia.[3]

Sastra eksil bukan satu aliran, tetapi sebagai suatu kekhususan akibat peristiwa sejarah.[1] Salah satu kekhususan kehidupan seniman eksil adalah kejiwaannya yang mengalami trauma akibat peristiwa politik.[1] Keterpisahan berlarut-larut dengan negeri asal membuat mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi dan loyalitas.[1] Bagi pada seniman dan sastrawan, pergulatan emosi itu muncul dalam bentuk puisi, yang ditulis bukan hanya oleh penyair.[1] Banyak pelukis eksil yang kemudian membuat puisi, dan muncul penyair baru yang usianya sudah mendekati usia pensiun. Menulis puisi menjadi kebutuhan para seniman eksil.[1]


Penulis Eksil

Beberapa seniman yang tercatat sebagai penulis eksil, antara lain:

dll.

Ada juga yang dinamakan domestic exile (eksil domestik), yakni mereka yang diasingkan di dalam negeri, misalnya di Pulau Buru.[4] Beberapa penulis yang termasuk domestic exile di antaranya:[4]

Jurnal Eksil

Berikut ini beberapa jurnal para penulis/sastrawan eksil:[4]

  • Aksi Setiakawan, majalah bulanan yang diterbitkan oleh sebuah organisasi di Belanda dengan nama sama; berupa lembaran A-4 sebanyak 10 halaman, tidak dicantumkan nama penerbit, hanya ada data alamat pos, yakni: Postbus 22245 1100 CE Amsterdam.[4]
  • Api, singkatan dari Angkatan Pemuda Indonesia, jurnal empat bulanan yang diterbitkan oleh cabang organisasi Pemuda Pelajar Indonesia (PPI) di Albania sejak 1967-1980. Berukuran A-4, tebal sekitar 50 halaman per edisi. Jurnal ini menyediakan rubrik budaya yang memuat puisi, cerpen dan esai para penulis eksil. Jurnal ini juga diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Prancis.[4]
  • Arah, sebuah majalah nirlaba yang diterbitkan sejak 1985 oleh Yayasan Perhimpunan Indonesia di Amsterdam. Antara tahun 1989-1992, majalah ini menerbitkan enam suplemen khusus, termasuk terjemahan esai karya W.F. Wertheim ("Sejarah Tahun 65 yang Tersembunyi" dan "Indonesia pada Tahun 1965: Kapankah Arsip-Arsip Dibuka?"); sebuah esai karya Pramoedya Ananta Toer ("Maaf, Atas Nama Pengalaman"), dan wawancara dengan penyair Wiji Thukul.[4]
  • Arena: Majalah Opini dan Budaya Pluralis; diterbitkan oleh Stichting ISDM (Informasi Studi Diskusi Manifestasi) di Culemborg sejak 1990; berukuran A-5, tebal sekitar 75 halaman.[4]
  • Indonesian Tribune, sebuah majalah empat bulanan yang diterbitkan di Albania sejak 1967-1977, berfokus pada perkembangan politik di Indonesia.[4]
  • Kancah, sebuah majalah empat bulanan yang diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia Raya of France sejak 1981 hingga 1988; berukuran A-5, tebal sekitar 75 halaman. Jurnal ini memiliki koresponden di Belanda, Jerman Barat (Berlin), Hong Kong, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Indonesia.[4]
  • OPI, singkatan dari nama organisasi eksil, Organisasi Pemuda Indonesia. Sebuah jurnal bilingual (Rusia-Indonesia), terbit di Moskow antara 1970-1980, memuat artikel-artikel mengenai politik dan hubungan generasi muda.
  • Pembaruan, sebuah jurnal empat bulanan yang terbit antara 1983-1990 oleh World Citizen Press, Amsterdam, Belanda; berukuran A-5, tebal sekitar 70 halaman.
  • Tekad Rakyat, sebuah majalah berukuran saku, diterbitkan di Helsinki antara November 1967-Maret 1990, kadang-kadang memuat cerpen dan puisi.

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u (Indonesia) Alham, Asahan (ed). Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, Lontar, 2002, ISBN 979-8083-42-3
  2. ^ a b c d e f g (Indonesia) Setiawan, Hersri.Sastra Eksil Indonesia [1], makalah lokakarya tentang ‘Indonesian exiles: crossing cultural, political and religious borders’, Maret 2009, Canberra, Australia
  3. ^ a b c d e f g h i j k l (Indonesia) Supartono, Alex, Rajawali Tak Bisa Pulang: Karya-Karya Eksil Utuy Tatang Sontani, Jurnal Kalam No. 18, 2001, Jakarta
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x (Indonesia) McGlynn, John dan Ibrahim, A. Kohar(ed). Menagerie 6, Lontar, 2004, ISBN 979-8083-52-0