Tari Bedaya Ketawang

salah satu tarian di Indonesia

Bedaya Ketawang

 
Kraton Yogyakarta2-5

Bedaya Ketawang atau Tari Bedhaya Ketawang berasal dari kata bedhaya berarti penari wanita di istana.[1][2] Sedangkan ketawang berasal dari kata yang berarti langit, identik dengan mendhung atau awan tempatnya di atas, sesuatu yang di atas dinamakan tinggi makna simbolisnya yaitu luhur.[1] Tari Bedhaya Ketawang menjadi tari suguhan sakral yang berarti suci yang menyangkut Ketuhanan, dimana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak TuhanYang Maha Esa.[1]

Sejarah

Tarian ini diciptakan oleh penguasa pertama Kerajaan Mataram yaitu Sultan Agung atau Panembahan Senapati.[2]Dikisahkan bahwa dahulu kala Panembahan Senapati pernah bertapa.[3]Dalam pertapaanya Panembahan Senapati bertemu dan melakukan cinta kasih dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan Kanjeng Ratu Kidul.[2][3]

Makna

Tarian ini memiliki tiga makna yaitu

  • Adat Upacara, menurut adatnya tarian ini hanya bisa dilakukan pada setahun sekali saja yaitu pada hari ulang tahun tahta kerajaan.[2]
  • Sakral, Karena pencipta dari tarian ini berasal dari Ratu kidul, konon kabarnya beliau selalu hadir pada saat latihan ataupun pada saat tarian ini dipentaskan[2]
  • Religius,karena tarian ini juga mengajarkan tentang filsafah hidup serta menanyakan untuk tujuan apa manusia hidup selama di dunia.[2]

Ritual

Sebelum melakukan pementasan baik penari maupun Keraton selalu memiliki kebiasaan atau ritual yang harus dijalankan, seperti:[2]

  • Penari

Sebelum menarikan tarian ini kesembilan penari ini melakukan ritual puasa tertentu, harus suci lahir dan batin serta tidak dalam keadaan datang bulan.[2] Untuk itu disiapkan penari cadangan untuk menggantikan para penari yang tiba-tiba mendapat halangan pada saat akan pementasan.[2]Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kanjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.[2]

  • Keraton

Keraton juga harus melakukan ritual tertentu yaitu larungan atau labuhan yang berarti persembahan korban berupa sesaji ke 4 titik mata angin.[2]Keempat mata angin tersebut dimulai di bagian arah utara untuk Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng Ratu Sekar.[2] Di bagian arah selatan untuk Segoro Kidul Laut Selatan dengan penguasa Ratu Kidul. Di bagian barat, untuk Tawang Sari dengan penguasa Sang Hyang Pramori Durga di hutan Krendowahono.[2] Dan terakhir, di bagian timur untuk Tawang Mangu dengan penguasa Argodalem Tirtomoyo, dan Gunung Lawu dengan penguasa Kyai Sunan Lawu.[2]

Jumlah Penari

Banyaknya Penari dalam tarian ini berjumlah 9 orang.[4]Jumlah sembilan penari Bedhaya Ketawang adalah simbol makrokosmos jagad raya yang ditandai dengan sembilan arah mata angin dan mikrokosmos merupakan simbol alam semesta dengan segala isinya.[1]Masing-masing penari tersebut memiliki sebutan tersendiri.[2]

  • Penari pertama disebut Batak[2]
  • Penari kedua disebut Endhel Ajeg[2]
  • Penari ketiga disebut Endhel Weton[2]
  • Penari keempat disebut Apit Ngarep[2]
  • Penari kelima disebut Apit Mburi[2]
  • Penari keenam disebut Apit Meneg[2]
  • Penari ketujuh disebut Gulu[2]
  • Penari kedelapan disebut Dhada[2]
  • Penari kesembilan disebut Dan Boncit.[2] Nomor sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang dari arti Ketawang.[4]

Kostum

Kostum yang digunakan oleh para penari Bedaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut juga basahan.[5]

Referensi

  1. ^ a b c d http://library.uns.ac.id/Teks pranala],teks tambahan
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x http://www.karatonsurakarta.com/Teks pranala],teks tambahan
  3. ^ a b http://dglib.uns.ac.id/Teks pranala],teks tambahan
  4. ^ a b http://www.disolo.com/Teks pranala],teks tambahan
  5. ^ http://www.anneahira.com/Teks pranala],teks tambahan