Henk Ngantung

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta
Revisi sejak 8 September 2015 14.23 oleh Dimas zein (bicara | kontrib)

Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau juga dikenal dengan nama Henk Ngantung (1 Maret 1921 – 12 Desember 1991) adalah pelukis Indonesia dan Gubernur Jakarta untuk periode 1964-1965.

Henk Ngantung
Berkas:HenkNgantung2.png
Gubernur Jakarta 7
Masa jabatan
1964 – 1965
PresidenSoekarno
Wakil Gubernur Jakarta
Masa jabatan
1960 – 1964
PresidenSoekarno
GubernurSoemarno Sosroatmodjo
Informasi pribadi
Lahir
Hendrik Hermanus Joel Ngantung

(1921-03-01)1 Maret 1921
Belanda Manado, Sulawesi Utara, Hindia Belanda
Meninggal12 Desember 1991(1991-12-12) (umur 70)
Indonesia Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia Indonesia
Suami/istriHetty Evelyn Ngantung Mamesah
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Karier

Sebagai pelukis

Sebelum menjadi Gubernur Jakarta, Henk dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia ikut medirikan "Gelanggang". Henk juga pernah menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok 1955-1958.

Gubernur DKI

 
Henk Ngantung (tengah) dalam lawatannya ke Wina, bersama Walikota Wina, Austria pada masa itu, Bruno Marek dan Konsul Indonesia di Wina, A. Kobir Sasradipoera

Sebelum diangkat menjadi gubernur, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai deputi gubernur di bawah Soemarno. Saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung. Soekarno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan, Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik. Salah satu pengalaman yang barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Ngantung. Tapi semuanya tidak berhasil.

Setelah tidak menjabat

Henk Ngantung tidak sekadar tinggal dalam kemiskinan hingga harus menjual rumah di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk Ngantung terus menerpa karena nyaris buta oleh serangan penyakit mata dan dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia tanpa pernah disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya bulan Desember 1991. Henk Ngantung hingga akhir hayatnya tinggal di rumah kecil di gang sempit Cawang, Jakarta Timur.

Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Sebulan sebelum wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputra memberanikan diri mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk.

Keluarga

Henk beristrikan Hetty Evelyn "Evie" Ngantung Mamesah. Pernikahan mereka dikaruniai 4 orang anak yaitu Maya Ngantung, Genie Ngantung, Kamang Ngantung dan Karno Ngantung. Henk meninggal pada usia 71 tahun karena sakit jantung. Dimakamkan di TPU Menteng Pulo

Karya

 
Foto koleksi Tropenmuseum Belanda

Tugu Selamat Datang yang menggambarkan sepasang pria dan wanita yang sedang melambaikan tangan yang berada di bundaran Hotel Indonesia merupakan hasil sketsa Henk. Ide pembuatan patung ini berasal dari Presiden Soekarno dan design awalnya dikerjakan oleh Henk Ngantung yang pada saat itu merupakan wakil Gubernur DKI Jakarta. Henk juga membuat sketsa lambang DKI Jakarta dan lambang Kostrad namun ironisnya, hal tersebut belum diakui oleh pemerintah. Lukisan hasil karya Henk antara lain adalah Ibu dan Anak yang merupakan hasil karya terakhirnya.

Pranala luar

Jabatan politik
Didahului oleh:
Soemarno Sosroatmodjo
Gubernur Jakarta
19641965
Diteruskan oleh:
Soemarno Sosroatmodjo