Muhamad Musa, atau, dengan nama lengkap beserta gelarnya Raden Haji Muhamad Musa (182210 Agustus 1886), pengarang, pelopor kesustraan cetak Sunda, ulama dan tokoh Sunda abad ke-19.

Biografi

Muhamad Musa dilahirkan di Garut sebagai keturunan bangsawan, putra Raden Rangga Suryadikusumah, Patih Kabupaten Limbangan. Ia kemudian dilepas untuk mengikuti pendidikan formal di sebuah pesantren di Purwakarta dan diajak ikut oleh ayahnya untuk berangkat haji ke Makkah saat masih muda.

Ia menolak tawaran Pemerintah Hindia-Belanda yang akan menjadikannya sebagai kepala gudang, karena ia lebih suka memilih bidang keagamaan. Setelah menjadi penghulu, pada tahun 1864 ia diangkat menjadi Penghulu Besar (Belanda: Hoofdpanghoeloe) di kabupaten Limbangan sampai wafatnya.

Muhamad Musa bersahabat erat dengan K. F. Holle, pengusaha perkebunan teh bangsa Belanda di Cikajang, yang merupakan penasehat Pemerintah Hindia-Belanda mengenai bangsa pribumi (terutamanya di Priangan). Oleh Pemerintah Hindia-Belanda ia sangat dipercayai.

Eratnya hubungan Musa dengan Holle menguntungkan kedua pihak. Bagi Musa, ia beruntung terutama karena mempermudah pergaulannya dengan bangsa Belanda. Musa oleh Pemerintah Hindia-Belanda sangat dipercayai, sehingga oleh karena jasa-jasanya ia pernah dijanjikan jabatan tinggi hingga sampai tujuh turunan. Berkat eratnya persahabatan dengan Holle, Musa juga bisa mengembangkan bakat/minat menulis dan mengarangnya sehingga karya-karyanya (baik karangan sendiri maupun saduran atau terjemahan) bisa dicetak sampai ribuan eksemplar di Batavia. Di antara para putranya, yang mewarisi bakat menulisnya adalah Lasminingrat dan Kartawinata.

Karya-karyanya

Karya Muhamad Musa yang paling terkenal adalah Wawacan Panji Wulung yang terbit pada tahun 1871. Karya-karya lainnya yang dicetak di antaranya,

  • 1862: Wawacan Raja Sudibya, Wawacan Wulang Krama, Wawacan Dongéng-dongéng, Wawacan Wulang Tani;
  • 1863: Carita Abdurahman jeung Abdurahim, Wawacan Seca Nala;
  • 1864: Ali Muhtar, Élmu Nyawah;
  • 1865: Wawacan Wulang Murid, Wawacan Wulang Guru;
  • 1866: Dongéng-dongéng nu Aranéh;
  • 1867: Dongéng-dongéng Pieunteungeun;
  • 1872: Wawacan Lampah Sekar;
  • 1881: Santri Gagal, Hibat.

Rujukan

  • Mikihiro Moriyama. 2005. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-91-0023-2.
  • Ayip Rosidi. 2000. Ensiklopedi Sunda. 2000. Pustaka Jaya, Jakarta.