Wawacan Panji Wulung
Wawacan Panji Wulung adalah teks sastra berupa kisah berbentuk pupuh wawacan dalam bahasa Sunda karya Muhammad Musa yang paling terkenal.[1][2][3] Wawacan ini ditulis tahun 1862 dan pertama kali terbit tahun 1871 oleh Landsdukkereij.[2] Isinya mengisahkan petualangan tokoh Panji Wulung yang memliki kekuatan dan kecakapan luar biasa karena hasil belajar dan latihan sehingga ia mampu menaklukkan rintangan yang dihadapinya.[1][4] Kisah ini tidak berkaitan langsung dengan motif Panji dalam kesusastraan Jawa, namun penggunaan nama panji kemungkinan diambil dari nilai-nilai tokoh Panji di Jawa.[2]
Wawacan ini merupakan bacaan yang harus dikenal oleh orang Sunda yang pernah duduk di bangku volksschool (sekolah dasar) sampai masuknya tentara Jepang ke Indonesia.[1] Dalam laporan Bureau voor de Wolkslectuur (Balai Poestaka), tercatat bahwa Wawacan Panji Wulung termasuk ke dalam daftar teratas buku-buku yang sering dipinjam di perpustakaan-perpustakaan miliki Bureau itu pada tahun 1920-an hingga awal 1930-an.[2] Walaupun tidak membaca wawacan-nya, sebagian besar orang Sunda cukup mengenal petikan teksnya yang digunakan untuk menghafal lagu pupuh. Contohnya antara lain untuk pupuh pangkur “seja nyaba ngalalana,...”, kinanti “Raden ngantosan parahu...”, dan durma “Maret kumis sosoak bari susumbar, ...”[1]
Ajip Rosidi berpendapat bahwa kisah dalam Wawacan Panji Wulung berlainan dengan wawacan-wawacan yang banyak tersebar di mayarakat pada waktu itu, yang penuh dengan kejadian-kejadian tidak masuk akal. Antara lain seperti tokohnya yang memiliki kesaktian-kesaktian, atau dapat mengetahui hal yang akan terjadi di masa depan, dan semacamnya. Wawacan Panji Wulung dinilai rasional.[1]
Naskah
suntingAda dua naskah yang berisi fragmen-fragmen Wawacan Panji Wulung terdapat dalam koleksi K.F. Holle di Perpustakaan Nasional RI yaitu SD No. 127 dan SD No. 70.[5] Mikihiro Moriyama memperkirakan bahwa naskah-naskah itu mestinya merupakan tulisan asli pengarangnya (autograf) atau arketipe-arketipe yang dekat sekali dengan naskah aslinya.[2]
Satu buah naskah salinan Wawacan Panji Wulung tercatat dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 5A. Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga.[6] Naskahnya disebutkan sebagai bagian dari koleksi EFEO Bandung dengan nomor KBN-12, ditulis tangan pada kertas dengan huruf pegon dan bahasa Sunda. Naskah ini diduga merupakan salinan dari naskah lain yang beraksara cacarakan. Pada bagian akhir terdapat kesan bahwa cerita ini dipersembahkan bagi Ratu Belanda.[6]
Kajian mendalam mengenai naskah-naskah yang memuat Wawacan Panji Wulung pernah dilakukan oleh Elis Suryani dalam garapan tesisnya tahun 1990. Ia membandingkan delapan naskah Wawacan Panji Wulung yang ditulis dalam aksara Cacarakan dan Latin.[7]
Edisi Cetak
suntingWawacan ini ditulis tahun 1862 dan pertama kali terbit tahun 1871 oleh Landsdukkereij.[2] Wawacan ini pertama kali terbit dalam huruf Latin tahun 1876.[1] Wawacan ini adalah salah satu karya Muhammad Musa yang dicetak dan diperbanyak berkali-kali karena dari tahun ke tahun menjadi bacaan wajib di sekolah.[1] Mikihiro Moriyama mencatat antara tahun 1871 dan 1922 Wawacan Panji Wulung telah dicetak ulang sembilan kali, yaitu empat kali dalam aksara Jawa dan lima kali dalam aksara latin. Ia juga mencatat ada 11 edisi cetakan wawacan ini dalam bahasa Sunda.[2]
Wawacan Panji Wulung diedarkan luas di Jawa Barat antara tahun 1920 sampai tahun 1930-an.[2] Pada tahun 1973 Kementerian Pendidikan di Jakarta juga menerbitkan edisi revisi Wawacan Panji Wulung dengan dilampiri pengantar singkat.[2] Edisi terakhir diterbitkan secara komersil dengan kata pengantar dari Ajip Rosidi terbit tahun 1990.[2] Saduran berbentuk prosa antara lain diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1992[8] dan Perpustakaan Nasional RI tahun 2019.[9] Penerbitan wawacan ini dalam bentuk pupuh masih dilakukan (sejak tahun 2009) oleh penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung.[10]
Penerjemahan
suntingWawacan Panji Wulung telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (terbit 1879). Dari versi bahasa Jawa inilah kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Madura.[1][2] Akan tetapi, dalam edisi bahasa Jawa tidak disebutkan bahwa teksnya berupa terjemahan dari bahasa Sunda.[3]
Nilai Moral
suntingTokoh Panji Wulung bukanlah orang yang pergi bertapa untuk mendapatkan kesaktian, tetapi ia melatih dirinya dengan mengangkat besi dan latihan fisik lainnya setiap hari, kemudian bebannya ditambah dari hari ke hari. Kekuatan yang ia dapatkan dari hasil latihannya itu menjadikannya dapat menaklukkan begal yang hendak merampas miliknya. Ia mampu mengangkat sebatang pohon besar yang roboh dengan kekuatannya itu.[1]
Penggambaran tokoh utama Panji Wulung yang kuat karena berlatih tersebut diduga kuat oleh Ajip Rosidi dapat dihubungkan dengan usaha menghapuskan takhayul melalui pendidikan sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bersama-sama dengan usaha menjauhkan rakyat dari minuman keras, candu dan pelacuran. Selain itu ditanamkan juga nilai moral Guru Ratu Wong Atua Karo Wajib Sinembah, sehingga para siswa kelak dapat menjadi hamba kerajaan yang “baik”, yaitu patuh kepada kekuasaan berdasarkan hukum yang dibuat dan ditegakkan oleh kekuasaan kolonial.[1]
Ajaran moral yang disampaikan dalam wawacan ini adalah ajaran moral menak Sunda abad ke-19 dan abad ke-20. Oleh karena itu Ajp Rosidi menilai bahwa ajaran tersebut sangat cocok untuk ditanamkan sejak kecil kepada para calon “elit intelektual” Sunda yang akan memimpin masyarakat nya pada waktu itu.[1]
Pada akhir kisah tampak ungkapan Muhammad Musa yang mendoakan pemerintah Belanda yang dianggapnya telah menyejahterakan zaman, menyenangkan kaula negara, yang menjadi tempat bernaung, dan yang mempunyai hukum yang adil.[1]
Rujukan
sunting- ^ a b c d e f g h i j k l Ensiklopedi Sunda : alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya Cirebon dan Betawi. Rosidi, Ajip, 1938-, Pustaka Jaya (Firm) (edisi ke-Cet. 1). [Jakarta]: Pustaka Jaya. 2000. ISBN 979-419-259-7. OCLC 45463431.
- ^ a b c d e f g h i j k Moriyama, Mikihiro. (2013). Semangat baru : kolonialisme, budaya cetak, dan kesastraan Sunda abad ke-19. Udiani, Christina M. (edisi ke-Ed. rev). Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 978-602-9402-26-1. OCLC 857301718.
- ^ a b Ruhaliah (2018-10-25). Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda. Dunia Pustaka Jaya. ISBN 978-979-419-496-6.
- ^ Platform (support@ommu.co), Ommu. "Wawacan Panji Wulung | Center Of Excellence". ommu.co. Diakses tanggal 2020-06-22.
- ^ Behrend, T. E. (1998). Katalog induk naskah-naskah nusantara: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yayasan Obor.
- ^ a b Ekajati, Edi Suhardi (1999). Jawa Barat, koleksi lima lembaga. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-331-3.
- ^ Ekadjati, Edi S.; Ruhimat, Mamat; H, Asep Yusuf. Direktori Edisi Naskah Nusantara. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-073-6.
- ^ diceritakan kembali oleh Nurweni Saptawuryandari (1992). Panji Wulung (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 9794592293.
- ^ "SiPena". press.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2020-06-22.
- ^ "Wawacan Panji Wulung". www.goodreads.com. Diakses tanggal 2020-06-22.