Pemberontakan PKI 1948

Konflik antara pemerintah Indonesia dan kelompok oposisi kiri yang dipimpin PKI pada tahun 1948
Revisi sejak 30 September 2015 07.13 oleh Delcardino (bicara | kontrib) (Melengkapi beberapa referensi.)

Peristiwa Madiun (Pemberontakan PKI 1948) adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan SeptemberDesember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama, peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun, dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru, peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).

Tawaran bantuan dari Belanda

Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada Amerika Serikat (dan bukannya kepada Uni Soviet).

Latar belakang

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk sayap kiri atau golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol. Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol. Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III dan kemudian Presiden RI), Letkol. Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Oentoeng Samsoeri.

Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil Indonesia di Praha, Muso, kembali dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus, Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Amir Sjarifuddin Harahap, Setyadjit Soegondo dan kelompok diskusi Patuk. Dalam sidang Politbiro PKI pada 13-14 Agustus 1948, Musso membeberkan penjelasan tentang “pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan resolusi yang terkenal dengan sebutan “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.

“Jalan Baru” Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang bermazhab Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buru Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis. PKI hasil fusi ini kemudian akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan front nasional. Untuk unjuk kekuatan, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk menyebarkan gagasannya, sejak awal September 1948, Musso bersama sejumlah pemimpin PKI bersafari ke daerah-daerah di Jawa, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Di tengah safarinya itulah meletus “peristiwa” Madiun.[1]

Perdana Menteri Hatta merespon pekerjaan Musso. Untuk mencapai Indonesia merdeka seluruhnya, Hatta lebih memilih goodwill internasional dengan membuka perundingan. Tak seperti Musso dengan PKI dan Front Demokrasi Rakyat (FDR) di bawah Amir Sjarifuddin yang menginduk ke Rusia, Hatta tak tertarik oleh konflik internasional antara Amerika dan Rusia. Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.

Menurut PKI, pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, Plaosan, Magetan|sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Soekiman Wirjosandjojo (Menteri Dalam Negeri), Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Soekanto Tjokrodiatmodjo, sedangkan di pihak Amerika Serikat hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Soekanto berangkat ke Amerika Serikat guna menerima bantuan untuk Kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat.

Hatta merasa posisinya diperlemah oleh gerakan Musso. Kebijakan Hatta mengenai rasionalisasi tentara (Re-Ra) dianggap sebagai provokasi oleh kalangan komunis, yang pernah menikmati masa bulan madu ketika menguasai Kementerian Pertahanan sewaktu Amir Sjarifuddin menjadi perdana menteri merangkap menteri pertahanan. PKI sendiri menentang rasionalisasi tentara karena menurut Amir, yang berjuang sejak 17 Agustus 1945 bukan hanya tentara tapi juga seluruh rakyat. Menurut PKI, Hatta pula yang memulai provokasi dengan pembunuhan terhadap Kolonel Soetarto, komandan Divisi IV – kemudian diubah menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (PPS)– pada 2 Juli 1948. Tuduhan pelakunya dialamatkan pada Divisi Siliwangi, yang hijrah dari Jawa Barat dan bermarkas di Solo.

Asal muasal konflik di Solo ini bermula dari hijrahnya Pasukan Siliwangi dari Jawa Barat sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville. Sebagai kota terbesar kedua di Republik saat itu, Solo sudah padat oleh gelombang pengungsi dan pendatang. Termasuk diantaranya sayap militer Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan sayap militer Gerakan Revolusi Rakyat (pimpinan Tan Malaka) - Barisan Banteng, pasukan TLRI dibawah pimpinan Letkol Jadau, Tentara Pelajar dibawah pimpinan Achmadi, Brigade II Siliwangi, dan Divisi IV Panembahan Senopati sebagai pasukan tuan rumah.

Pasukan Divisi IV Panembahan Senopati ini termasuk yang menentang keras Re-Ra & di lain sisi sering dicap "kiri" karena kedekatannya dengan tokoh2 FDR/PKI. Dalam suasana politik yang tegang, pasukan2 itu dapat dengan mudah terbawa arus politik sehingga tak jarang terjadi clash bahkan disertai penculikan. Ditambah lagi kenyataan disiplin kelompok2 bersenjata ini mudah dikompromikan. Misalnya Komandan Panembahan Senopati Kolonel Sutarto yang tewas ditembak orang tak dikenal pada 2 Juli 1948.

Ketegangan memuncak di Solo. Di kota ini terdapat dua kekuatan saling berlawanan, terutama antara pasukan Senopati dan Siliwangi. Pasca tewasnya Soetarto, culik-menculik terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh. Senopati menuding Siliwangi menculik dan membunuh dua tokoh PKI Solo dan enam perwiranya. Sementara itu, permusuhan FDR (pro-kiri) dengan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR, anti-kiri) - Tan Malaka juga memuncak ketika pemimpin sayap militer GRR, Barisan Banteng, dr Moewardi dibunuh oleh barisan Pesindo pada 13 September 1948 dan jenazahnya tak ditemukan. GRR menuding FDR sebagai pelakunya. Jalan damai tak dapat ditempuh, dan konfrontasi pun tak terelakkan lagi.

Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut dibunuh dan jenazah nya dibuang di dalam hutan. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Ketegangan di Solo menjalar ke Madiun. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun. Soemarsono, komandan pasukan Brigade 29 yang pro-PKI, menerima laporan bahwa Siliwangi akan melucuti pasukan FDR di Madiun dan menangkap para pemimpinnya. Pada 18 September 1948, dengan kekuatan 1.500 orang pasukan, Soemarsono mendahului melucuti dan menawan sekitar 350 prajurit Siliwangi dan Brigade Mobil CPM (Corps Polisi Militer). Aksi ini diikuti dengan penjarahan, kepanikan penduduk, penangkapan sewenang-wenang, dan tembak-menembak. Madiun sepenuhnya dikuasai FDR dan dijadikan sebagai Pemerintahan Front Nasional.

Berita itu sampai ke Yogyakarta pada petang harinya. Pemerintah dan militer mengambil tindakan tegas: pemberontakan harus ditumpas. Hatta menegaskan, “Het is nu een zaak van leven of dood. Er op of er onder” (Sekarang soalnya hidup atau mati. Menang atau kalah).

Setelah mempreteli FDR di Yogya, pasukan Siliwangi dengan mudah menumpas kekuatan di Madiun. Pada 29 September, sehari sebelum Siliwangi merebut Madiun, sepasukan berkekuatan tiga batalyon bersama tiga ribu orang dan para pemimpin PKI melarikan diri dari Madiun. Musso tewas dalam baku tembak dan sebelas pemimpin puncak PKI lainnya dieksekusi mati. Upaya kelompok komunis di Madiun gagal total. Penyebab utamanya: tak adanya dukungan rakyat. Pilihan Sukarno atau Musso dimenangi Sukarno. Musso, dengan kata-katanya yang pedas, telah menjauhkan dirinya dari kalangan Islam dan GRR. Dia tak bisa percaya pada netralitas mereka. Para penguasa tradisional ditegurnya dengan kata-kata keras; dan tentaranya pun “fasistis”.

Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno - Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan pada zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.

Akhir konflik

Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.

Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.

Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.