Moewardi

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

dr. Moewardi (30 Januari 1907 – 13 Oktober 1948) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya pernah diabadikan menjadi sebuah rumah sakit di Surakarta, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi.

Moewardi
Informasi pribadi
Lahir(1907-01-30)30 Januari 1907
Randukuning, Pati, Keresidenan Semarang, Hindia Belanda
Meninggal13 Oktober 1948(1948-10-13) (umur 41)
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
Suami/istri
Suprapti
(m. 1932; meninggal 1935)

Susilowati
(m. 1939)
[1]
Anak7[1]
Orang tua
  • Mas Sastrowardojo[1] (ayah)
  • Roepeni[1] (ibu)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

Moewardi adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Selain itu ia adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Kota Surakarta, dan terlibat dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.

Di Surakarta, dr. Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun, dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo.

Putera Seorang Guru dari Jakenan

sunting

Moewardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836 sebagai anak ketujuh dari tiga belas bersaudara dalam keluarga Mas Sastrowardojo dan Roepeni. Ayahnya, Mas Sastrowardojo, adalah seorang mantri guru, sebuah jabatan yang sangat dihormati pada masa itu.

Keluarga Sastrowardojo dikenal memiliki anggota yang beragam profesinya. Beberapa di antaranya bekerja sebagai pegawai Pamong Praja, sementara yang lain memilih jalur wiraswasta. Kakak Moewardi, Supardi, adalah seorang analis kesehatan yang menjabat sebagai pemimpin Laboratorium Kesehatan Daerah Yogyakarta pada sekitar tahun 1940–1950. Salah satu adik Moewardi, Darsono, juga menjadi analis kesehatan.

Menurut silsilah, dari pihak ayah Moewardi masih keturunan langsung dari "Panembahan Landhoh" Raden Saridin Sunan Landoh atau Syech Jangkung sedangkan dari pihak Ibu Moewardi masih keturunan Ario Damar (Bupati Palembang). Dari tiga belas bersaudara, tiga di antaranya meninggal saat masih kecil, yaitu Soenardi, Tarnadi, dan Soedewi. Hal ini membuat Moewardi lebih sering bermain bersama dua kakaknya, Soepadi dan Soenarto (yang kemudian menjabat sebagai Kepala DPU Jawa Tengah pada era 1970-an). Seperti kakak beradik pada umumnya, mereka bertiga sering berbuat kenakalan dan bertengkar satu sama lain.

Moewardi sangat beruntung lahir dari keluarga ningrat, sehingga ia dan saudara-saudaranya dapat menikmati berbagai fasilitas yang tidak semua masyarakat Indonesia pada masa itu miliki, termasuk akses pendidikan yang layak dan bermutu.

Pada tahun 1913, ayahnya, Mas Sastrowardojo, pindah ke Desa Jakenan untuk mengajar di Sekolah Rakyat Bumi Putera. Karena kecerdasannya, Moewardi dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus, sebuah sekolah dasar dengan bahasa pengantar Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardojo memiliki cita-cita agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan lebih tinggi darinya. Demi mendukung pendidikan Moewardi, dan agar jarak sekolah tidak terlalu jauh dari rumah, ia kemudian dipindahkan ke Europesche Lagere School di Pati.

STOVIA

sunting

Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah angkat dari Mayjen Ernest Julius Magenda, Direktur Intelijen ABRI pada era 1960-an memberikan rekomendasi agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandsche Artsen), atau Sekolah Dokter Jawa, yang saat itu menjadi jalan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Namun, untuk masuk ke STOVIA, seseorang memerlukan rekomendasi dari tokoh yang terpandang.

Moewardi membutuhkan hampir 12 tahun untuk menyelesaikan pendidikannya dan mendapatkan ijazah dokter, bukan karena kurang cerdas, tetapi karena keterlibatannya yang aktif di dunia mahasiswa dan kegiatan kepanduan. Aktivitas-aktivitas tersebut sering menyebabkan ia harus menunda kelulusannya. Ijazah yang seharusnya ia dapatkan pada tahun 1931 baru diterimanya pada 1 Desember 1933.

Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para gurunya di STOVIA. Salah seorang guru bahkan pernah menawarkan Moewardi posisi sebagai Beroeps-Assistant atau Asisten Profesor pada Geneeskundige Hoge School (Sekolah Tinggi Kedokteran) di bidang spesialisasi Telinga, Hidung, dan Tenggorokan.

Sebagai dokter

sunting

Moewardi pernah menjadi asisten Dr. Hendarmin hingga akhirnya meninggalkan Jakarta. Ia kemudian mendapatkan brevet yang mengakui keahliannya sebagai seorang dokter. Selama lima tahun, Moewardi bekerja sebagai dokter swasta. Selama masa itu, ia pernah tinggal di Kebon Sirih, tempat di mana istri pertamanya, Soeprapti, meninggal dunia. Soeprapti meninggalkan dua anak, seorang putri bernama Tjitjik dan seorang putra bernama Adi, yang masih bayi pada saat itu. Setelahnya, Moewardi juga sempat tinggal di Tanah Abang, dekat Jalan Kebayoran atau Palmerah.

Moewardi dikenal sebagai "Dokter Gembel" oleh rekan-rekan seprofesinya. Meski terdengar merendahkan, julukan itu sebenarnya menyiratkan kekaguman terhadap dedikasinya. Moewardi sering terjun langsung membantu masyarakat miskin, sesuatu yang tidak banyak dilakukan oleh dokter lain pada masa itu.

Selain kiprahnya di dunia kedokteran, Moewardi juga aktif dalam gerakan kepanduan. Saat belajar di STOVIA, ia menunjukkan minat besar terhadap pergerakan pemuda. Ia bergabung dengan Jong Java dan aktif dalam kegiatan kepanduan. Pada masa-masa awal, Moewardi juga menjadi anggota Nederlandsch-Indische Padvinder Vereeniging (NIPV), sebuah organisasi kepanduan di Hindia Belanda.

Kepanduan

sunting

Organisasi kepanduan di Hindia Belanda dimulai dengan berdirinya cabang Nederlandse Padvinders Organisatie (NPO) pada tahun 1912. Ketika Perang Dunia I pecah, organisasi ini memiliki kwartir besar tersendiri dan pada tahun 1916 berganti nama menjadi Nederlandsch-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). Keanggotaan NIPV mencakup anak-anak Belanda dan Bumiputera. Dalam organisasi ini, terdapat pula Nederlandsch-Indische Padvinders Club (NIPC), yang ditujukan untuk anak-anak. Salah satu anggotanya adalah Sri Sultan Hamengkubuwana IX, yang bergabung saat duduk di kelas 3 Eerste Europese Lagere School.

Moewardi dikenal sebagai seorang pandu yang aktif dan sangat disiplin. Berkat kecakapannya, ia terpilih menjadi Assistant Troep atau Ploeg-leider (Kepala Pasukan Pandu), sebuah tingkatan yang dianggap istimewa dan jarang dicapai oleh pandu Bumiputera dalam NIPV. Namun, rasa nasionalisme yang kuat membuat Moewardi memutuskan untuk meninggalkan NIPV.

Penolakan Moewardi terhadap NIPV terjadi pada tahun 1925 ketika ia menolak mengucapkan sumpah setia kepada Raja Belanda, meskipun ia diusulkan menjadi kepala pasukan kepanduan. Setelah meninggalkan NIPV, Moewardi tetap aktif dalam kegiatan pemuda melalui organisasi Jong Java.

Karena kecerdasan dan kecintaannya pada dunia jurnalistik, Moewardi dipercaya memimpin redaksi Majalah Jong Java pada tahun 1922 bersama adiknya, Sutojo. Pada tahun 1925, ia diangkat menjadi Ketua Jong Java Cabang Jakarta. Moewardi juga menjadi salah satu utusan Jong Java dalam Kongres Pemuda Nasional di Jakarta dan turut mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Karena sumpah itu maka Jong Java dalam kongresnya pada bulan Desember 1928 dapat menerima fusi atau peleburan dengan organisasi kepemudaan lainnya. Peleburan Jong Java bersama dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda lain di Indonesia, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Rukun (Sunda), Sangkoro Mudo (Jawa) menjadi Indonesia Muda (I.M) yang berdasarkan kebangsaan.

Jong Java memiliki organisasi kepanduan bernama Jong Java Padvinderij (JJP), yang dipimpin oleh Moewardi. Selain memimpin JJP, Moewardi juga memimpin redaksi Majalah Pandu. Pada tahun 1925, ia berinisiatif mengganti nama Jong Java Padvinderij menjadi Pandu Kebangsaan. Langkah ini menunjukkan wawasan dan nasionalisme Moewardi yang visioner, bahkan mendahului anjuran Haji Agus Salim untuk menggunakan istilah "Pandu" dan "Kepanduan" menggantikan kata "Padvinder" dan "Padvinderij," yang saat itu dilarang oleh NIPV sebagai organisasi resmi kepanduan di Hindia Belanda.

Pada tahun 1926, Moewardi menjabat sebagai Komisaris Besar dan memimpin Kwartir Besar Jong Java Padvinderij. Dorongan semangat persatuan di kalangan pemuda kala itu menginspirasi pertemuan antara wakil kepanduan se-Indonesia pada 23 Mei 1928 di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh berbagai organisasi, seperti Pandu Kebangsaan, NATIPIJ (Nationale Islamietishe Padvinderij) dari Jong Islamieten Bond, dan INPO (Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie) dari Pemuda Indonesia. Namun, organisasi seperti S.I.A.P. (Syarikat Islam Afdeling Padvinderij) dan Hizbullah Wathon dari Muhammadiyah berhalangan hadir. Pertemuan ini menghasilkan terbentuknya Persatuan Antara Pandu Indonesia (PAPI).

Setahun kemudian, pada 15 Desember 1929, PAPI mengadakan pertemuan kedua di Jakarta. Moewardi mengusulkan fusi seluruh organisasi kepanduan untuk membentuk Satu Organisasi Kepanduan Indonesia (SOKI). Meski tidak ada kesepakatan bulat karena perbedaan asas, pertemuan ini menyepakati pembentukan dua panitia untuk mengkaji penyelenggaraan fusi, baik bagi kepanduan berasas kebangsaan maupun agama.

Pada 13 September 1930, fusi antara Pandu Kebangsaan, Pandu Sumatra (PPS), dan INPO berhasil membentuk Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Moewardi menjadi Komisaris Besar KBI, bersama Soewardjo Tirtosoepono sebagai Ketua Pengurus Besar. Organisasi ini berkembang pesat, seperti terlihat dari kongres pertama di Ambarwinangun, Yogyakarta, pada Desember 1930, yang juga dikenal sebagai Jambore Nasional KBI I.

Jambore Nasional berikutnya terus menunjukkan perkembangan KBI. Pada 1931, di Purworejo, dasar-dasar KBI, termasuk pemilihan warna merah-putih sebagai setangan-leher dan bendera, ditetapkan. Pada 1932, Jambore Nasional II di Banyak, Malang, dipimpin langsung oleh Moewardi, menghasilkan berbagai keputusan untuk konsolidasi organisasi. Jambore Nasional III di Solo pada 1934 mencatat kemajuan lebih lanjut, termasuk pencetakan buku AD/ART dan panduan teknis.

Ketika Lord Baden Powell, pendiri gerakan kepanduan dunia, mengunjungi Jawa pada 1934, KBI mengantisipasi kemungkinan larangan bagi pandu non-NIPV untuk ikut menyambut. Sebagai gantinya, KBI mengadakan Jambore Daerah di berbagai wilayah, seperti Kaliurang, Gresik, dan Sukabumi.

Pada 26 April 1938, Moewardi memprakarsai pembentukan Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) di Solo. Cita-cita untuk menyelenggarakan Perkemahan Kepanduan Indonesia Umum (Perkino) disepakati dan direncanakan di Solo pada Juli 1940. Namun, karena situasi genting akibat Perang Dunia II, Perkino I baru terlaksana di Yogyakarta pada 1941.

KBI terus berkembang hingga Perang Dunia II, tetapi organisasi ini dibekukan oleh pemerintah Jepang pada 4 April 1944. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Moewardi bersama rekan-rekannya segera membangkitkan kembali semangat kepanduan. Pada Desember 1945, Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Solo menyatukan berbagai organisasi kepanduan. Moewardi berperan penting dalam menyatukan pandu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.Tujuh belas kepanduan menghentikan serentak organisasinya masing-masing untuk bersatu dalam Pandu Rakyat Indonesia (PRI) di kota Solo pada tanggal 28 Desember 1945. Ketua sementara PRI dijabat oleh Moewardi dan Komisaris Besarnya Hertog. Perkumpulan ini didukung oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan “Janji Ikatan Sakti”, lalu pemerintah RI mengakui PRI sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.

Selama penjajahan Jepang

sunting

Pengawal Dwi Tunggal Tahun 1944 pemerintah Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Indonesia) yang pimpinan organisasinya langsung berada di bawah komando pemerintah militer Jepang. Jawa Hokokai mempunyai barisan yang namanya Shuisintai atau Barisan Pelopor yang terdiri dari pemuda. Pemimpin umum Barisan Pelopor adalah Bung Karno, sedang Sudiro sebagai Pelaksana Pimpinan Pimpinan Harian dengan dibantu oleh para anggota pengurus, seperti Chaerul Saleh, Agus Karma, Asmara Hadi, Mashud, Sukarjo Wirjopranoto, dan Otto Iskandardinata.

Pada tiap-tiap karisidenan ada Barisan Pelopor yang dipimpin oleh seorang Syuurenotaicho (Komandan Barisan Pelopor Karisidenan). Moewardi adalah ketua Barisan Pelopor Daerah Jakarta Raya dan sekitarnya, wakilnya adalah Wilopo, S.H. Dari luar Barisan Pelopor terlihat hanyalah alat Jepang, tetapi dalam praktiknya menjadi wadah dan sarana perjuangan para pemuda. Sebagai pimpinan Barisan Pelopor Daerah Jakarta Raya, Moewardi membentuk Barisan Pelopor tingkat kecamatan. Kelak di kemudian hari sesudah Bung Karno dipilih menjadi Presiden, atas usul Sudiro, Bung Karno mengangkat Moewardi menjadi Ketua Umum Barisan Pelopor. Dengan “radio-radio gelap” para pemuda sudah tahu tentang kehancuran Jepang karena bom atom.

Berita tentang kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik akhirnya tersebar luas. Salah satu rencana yang santer di kalangan para pemuda dan pemimpin-pemimpin pergerakan adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, para pemuda membentuk Barisan Pelopor untuk mengamankan para pemimpin perjuangan, seperti Soekarno dan Hatta. Moewardi diserahi tugas untuk memimpin Barisan Pelopor di daerah Jakarta.

Sebagai markas Barisan Pelopor Jakarta adalah rumah milik pribadi Moewardi di jalan Cik Di Tiro No 9. Di rumah berkamar 11 buah tersebut, setiap hari rapat digelar untuk mempersiapkan strategi bagi kemerdekaan Indonesia. Di situ selalu hadir Chaerul Saleh, Sudiro, Suwiryo, Dr. Suharto dan Moewardi. Sering kali Moewardi menjual beberapa barang miliknya untuk membeli makanan untuk para pemuda itu. Dalam rapat akbar di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Banteng) sehari sebelum proklamasi, Barisan Pelopor bertugas untuk mengamankan lapangan itu dari kerusuhan dan ancaman balatentara Jepang.

Lapangan Ikada dijaga ketat oleh serdadu Jepang. Setiap serdadu Jepang yang berdekatan dengan rombongan Soekarno-Hatta diawasi oleh tiga orang pemuda. Para pemuda yang mengelilingi dan mengawasi gerak-gerik serdadu-serdadu Jepang itu adalah anak buah Moewardi, pada saat itu komandan lapangan Barisan Pelopor adalah Moeffreini Moe’min seorang bekasSyodancho dari Daidan I Jakarta.

Mereka adalah para pendekar pencak silat, bersenjatakan belati dan rencong. Mereka bertugas merampas senjata dari tangan serdadu Jepang bila situasi rapat umum menjadi gawat dan ternyata rapat itu berlangsung dengan lancar tanpa gangguan keamanan. Namun menjelang Hari Kemerdekaan, sebagai ketua Barisan Pelopor Jakarta Raya, yang dibantu oleh Soegandi, Sudiro (pernah menjabat Wali kota Jakarta Raya), Bendahara Kampung Duri Jakarta Masihono, dan Suratno.

Pada suatu ketika tentara Jepang sedang mencari pemimpin Barisan Pelopor. Bertepatan dengan kedatangan Masihono untuk mencari uang kas Pelopor. Pada waktu itu Moewardi disembunyikan di kolong tempat tidur Masihono. Bila pada detik itu Moewardi diketemukan oleh tentara Jepang tentu pada saat itu pula Moewardi habis ajalnya. Seperti nasib pemimpin lain tetapi, Tuhan masih melindunginya dan Moewardi selamat. Dalam peristiwa mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Moewardi mendapat tugas dari para pemuda bersama Sayuti Melik untuk membangunkan Bung Karno. Pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan di rumah kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta ramai dikunjungi orang Moewardi menjamin keadaan aman kepada Dokter Soeharto, dokter pribadi Bung Karno: “masih tidur semua, semua beres”. Moewardi menunjuk kepada kelompok orang di belakang rumah sambil berkata “Itu barisan berani mati yang saya pimpin”. Sudah diputuskan, pembacaan Proklamasi akan dilangsungkan pagi itu, tetapi saatnya masih akan ditentukan oleh Bung Karno. Ia baru masuk kamar tidur menjelang subuh sekembalinya dari rapat di rumah (Laksamana) Maeda. Di depan rumah Bung Karno sudah kelihatan ada mikrofon berdiri dengan standardnya. Karena instruksi Sudiro, Barisan Pelopor terus berdatangan ke Pegangsaan Timur 56. Waktu sudah mendekati pukul 10.00 tetapi Bung Hatta belum juga datang. Moewardi yang tidak sabaran menunggu masuk ke kamar Bung Karno dan mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendiri saja tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta. Alasannya karena Bung Hatta sudah menandatangani teks Proklamasi. Pada mulanya Bung Karno menjawab dengan tenang saja, tetapi karena Moewardi mendesak dengan nada marah Bung Karno menjawab: “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada, kalau Mas Moewardi tidak mau tunggu silahkan baca Proklamasi sendiri”. Dialog kedua tokoh ini disaksikan oleh Sudiro dan sesudah itu Moewardi tidak mendesak Bung Karno lagi. Sebetulnya Moewardi melakukan itu karena Sudiro melihat di sekitar jalan Pegangsaan terlihat seorang Jepang yang sedang bercakap-cakap dengan Sukardjo Wirjopranoto. Keduanya sebenarnya khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah di serbu Jepang, sehingga akhirnya Proklamasi gagal. Tetapi memang Bung Hatta adalah seorang yang selalu memegang teguh, sebelum pukul 10.00 dia tiba. Setelah masuk dalam kamar Bung Karno, tidak lama kemudian mereka berdua keluar dan keluar rumah menuju halaman depan di mana sudah tersedia mikrofon, tiang bendera dan para hadirin dan hadirin yang akan menjadi saksi pembacaan Proklamasi tepat pada pukul 10.00 pagi. Setelah pembacaan proklamasi dan upacaranya selesai, Bung Hatta dan pemimpin-pemimpin lainnya pulang. Moewardi masih tinggal untuk berunding dengan Sudiro memilih 6 orang dari Barisan Pelopor yang pendekar pencak untuk menjadi Barisan Pelopor Istimewa yang bertanggung jawab atas keamanan pribadi Bung Karno yang menjadi Presiden pertama RI sesudah proklamasi kemerdekaan. Pimpinan barisan khusus itu diserahkan kepada Sumantoyo, sedang petugas lainnya ialah antara lain Sukarto dan Tukimin. Keenam orang itu setiap saat menanggulangi segala serangan terhadap Presiden RI dengan segala kesediaan mengorbankan nyawa. Mengingat keadaan pada waktu itu, segala kemungkinan dapat terjadi, terutama tindakan keras dari pihak tentara Jepang. Dengan sangat detail Moewardi memikirkan keselamatan pemipin Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Sesudah 18 Agustus 1945 Bung Karno dipilih menjadi Presiden maka tidak mungkin lagi memimpin terus Barisan Pelopor. Pucuk pimpinan Barisan Pelopor diserahkan ke Moewardi. Nama Barisan Pelopor diubah menjadi Barisan Pelopor Republik Indonesia (BPRI). Meskipun pada 23 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), BPRI tetap berdiri sendiri. BKR mendirikan markas di jalan Cilacap no.5, (rumah milik kakek Jenderal Prabowo Subianto) untuk wilayah karisidenan Jakarta pada 27 Agustus 1945 dipimpin Moeffreini Moe’min yang tak lain anak buah Moewardi di Barisan Pelopor. Saat Bung Karno menjadi Presiden dan hendak menyusun Kabinet, Moewardi mendapat tawaran langsung dari Bung Karno untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan namun dia menolak karena hendak meneruskan kariernya sebagai dokter. Sehingga dalam sejarahnya jabatan itu diharapkan dapat dipegang oleh Supriyadi, yang ternyata pada kenyataanya ternyata hilang setelah melakukan pemberontakan Peta. Namun tindakan pejuang di dalam kota tidak semuanya bisa dikontrol. Tidak sedikit kaum petualang yang menyalahgunakan kesempatan mencari keuntungan sendiri. Tercatat BPRI diboncengi oleh “Barisan Usung-Usung”, barisan yang mengangkut barang milik rakyat untuk kepentingan pribadi hingga di sana-sini ada tuduhan BPRI adalah perampok, pencuri danpembunuh. Oleh karena itu, kepada Moewardi dianjurkan supaya kedudukan BPRI dipindahkan dari Jakarta. Waktu itu Pemerintah Republik Indonesia telah siap-siap hendak hijrah ke Yogyakarta mengingat kota Jakarta yang tidak aman. Setelah Pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, pengurus BPRI mengadakan perunding untuk memindahkan markasnya ke Solo. BPRI pada bulan Desember 1945 mengadakan kongres di Gedung Habiproyo, Singosaren (sekarang Matahari Singosaren), Solo. Dalam kongres 15-16 Desember 1945 itu diputuskan untuk mengganti nama dari BPRI menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). BBRI bermarkas di Solo dengan Moewardi sebagai Pemimpin Umum. Sesuai dengan keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal. Menurut rencana Moewardi akan ditunjuk sebagai pemimpin partai tunggal tersebut, tetapi dengan adanya maklumat Pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian hak-hak legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang dapat menentukan Garis-Garis Besar Haluan Politik Negara/Pemerintah. Kabinet tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden melainkan bertanggung jawab pada Komite Nasional Indonesia Pusat. Orang-orang yang duduk dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP merupakan wakil-wakil dari partai-partai. Pada 30 Oktober 1945, ketika Soekarno, Hatta dan Amir Syarifuddin berada di Surabaya untuk menenangkan keadaan, maka KNIP bersidang dan mengambil keputusan membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai dengan berbagai pertimbangan. Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin mendirikan Partai Sosial Indonesia; Iwa Kusumasumantri mendirikan Partai Buruh, Dr. Sukiman mendirikan Partai Masyumi, Mangunsarkoro dengan Partai Nasionalis Indonesia, Sukarni mendirikan Partai Murba (Moewardi sempat terlibat aktif di dalamnya) dan partai-partai lain didirikan. Kabinet pertama, kabinet presidensiil dijatuhkan oleh KNIP sebagai Badan Legislatif. Syahrir kemudian menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Amir Syariffudin selain memegang jabatan Menteri Keamanan Rakyat juga merangkap sebagai Menteri Penerangan. Kalau kabinet pertama dianggap dekat dengan politik “kolaborasi dengan Jepang” maka kabinet kedua dekat dengan politik “kolaborasi dengan Belanda”. Karena politik kabinet Syahrir adalah politik “berunding dengan Belanda” mengakibatkan oposisi terhadap kabinet meningkat pada awal tahun 1946. Pada tanggal 5 Januari 1946 di Purwokerto diadakan pertemuan oleh partai-partai dan badan-badan perjuangan yang tidak sehaluan dengan “politik” Kabinet Syahrir untuk membentuk Persatuan Perjuangan (PP). Sementara itu Moewardi segera meluaskan sayap Barisan Banteng dengan menyusun cabang-cabang di tiap-tiap Karisidenan, ranting-ranting di Kabupaten, dan anak ranting di Kawedanaan. Bersama dengan Sudiro, Mulyadi Joyomartono. Banyak berkeliling mengadakan inspeksi ke daerah Jawa Barat, Bandung, Purwakarta, Leles, hingga ke Jawa Timur, Bojonegoro, dan Malang. Khusus di Solo dibentuk Divisi Laskar Banteng di bawah pimpinan Anwar Santoso yang membawahi 5 resimen, berkedudukan di Kartasura, Solo, Wonogiri dan Sragen. Di dalam Pimpinan Barisan Banteng diadakan pembagian pekerjaan. Sudiro dan Imam Sutadjo memimpin bagian politik yang berhasil menerbitkan harian Pasific dan majalah Banteng. Karena kegiatan menjalankan inspeksi ke Bandung menyebabkan Moewardi terlibat dalam peristiwa “Bandung Lautan Api” 23 Maret 1946 bersama-sama tokoh-tokoh Barisan Banteng, Toha, A.H. Nasution dan Suprayogi. Meskipun sibuk memimpin Barisan Banteng, Moewardi tidak sedikit menyumbangkan pikiran-pikiran perjuangan termasuk strategi militer kepada pimpinan Angkatan Perang, khususnya Jenderal Sudirman dan Jenderal Urip Sumohardjo, Urip tak lain masih sesaudara ipar dengannya. Ditarik ke dunia Politik Pengaruh, kecakapan dan kesanggupan Moewardi dalam memimpin perjuangan diakui oleh kalangan luas di samping perhatiannya yang besar terhadap masalah politik sehingga kaum politisi berhasrat menariknya ke dalam perjuangan politik. Pendekatan kaum politisi kepada Moewardi mendapat jalan setelah diketahui Moewardi, Sudirman, Urip Sumohardjo dan Tan Malaka tak menyetujui Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 25 Maret 1947. Perjanjian ini berakhir usai Agresi Belanda I tanggal 1 Juli 1947, Kemudian diadakan gencatan senjata dan diadakan perundingan Indonesia-Belanda di kapal Amerika, Renville di bawah pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik dari PBB tanggal 17 Januari 1948 yang berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville. Persetujuan Renville pada hakikatnya mendapat banyak tentangan mengakibatkan pembentukan Kabinet Presidensil dengan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. PKI lewat Partai Sosialis Amir Syarifuddin menuntut kursi Menteri Pertahanan, tetapi ditolak dan kursi itu dirangkap oleh Bung Hatta sendiri. Amir Syarifuddin tidak tinggal diam dan bertindak mendirikan FDR (front Demokrasi Rakyat) tanggal 26 Februari 1948 yang beranggotakan PKI, PS-Amir Syarifuddin, PIB (Partai Buruh Indonesia), SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Hampir bersamaan dengan itu BBRI mengadakan kongres di Sarwakan, Solo (sekarang Jl. Honggopranoto) untuk menentang perundingan dengan Belanda yang dilakukan Pemerintah Syahrir. Kongres itu dihadiri oleh Presiden Sukarno untuk mencegah agar jangan sampai Moewardi dengan Barisan Banteng-nya terlibat perselisihan politik dengan pihak pemerintah. Karena kedua sikap politiknya itu, yaitu anti perundingan dengan Belanda dan Anti Swapraja, maka Moewardi bersama Mulyadi Joyomartono ditangkap atas perintah Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono. Tetapi akhirnya dilepaskan kembali untuk menghindarkan tindak kekerasan dari BBRI dan simpatisannya kalau sampai Moewardi tidak dibebaskan. Selain itu ada juga campur tangan Sudirman dan Urip Sumohardjo, menyebabkan pemerintah berpikir banyak jika menahan Moewardi. Sejak PKI berdiri kembali tanggal 25 Oktober 1945, sejak pertengahan tahun 1946, di Solo mulai tampak partai dan badan perjuangan yang menjurus ke paham Sosialis Kiri dan Komunis. Diantaranya garis dan golongan Sosialis menjurus ke Komunis (Partai Sosialis, Partai Buruh, Partai Komunis Indonesia, Pesindo) dan golongan Nasionalis (PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng). Polarisasi partai-partai dan golongan itu terlihat pada peritiwa perebutan kedudukan Residen Solo. Indikasi Solo dalam keadaan gawat adalah peristiwa diculiknya Perdana Menteri Syahrir tanggal 27 Juni 1946, sehingga kekuatan negara sepenuhnya ada ditangan Presiden Sukarno. Namun peristiwa penculikan tersebut hanya berlangsung sehari semalam. Kejadian tersebut berlanjut dengan kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal Mayor Soedarsono tanggal 3 Juli 1946 beruntung kudeta tersebut dapat digagalkan untuk mengatasi keadaan yang rawan di Solo sekitar pertengahan tahun 1946. Pemerintah Pusat berlandaskan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 16/SD mengangkat Mr. Iskak Tjokroadisurjo dan Sudiro masing-masing sebagai Residen dan Wakil Residen Surakarta. Keduanya berasal dari golongan Nasionalis (PNI dan Barisan Banteng). Tetapi pengangkatan itu ditentang oleh Golongan Komunis dengan mengajukan resolusi tanggal 8 Oktober 1946. Karena tentangan itu, Pemerintah Pusat sampai mengeluarkan Ketetapan Pemerintah lagi pada tanggal 22 Oktober 1946 No. 21/ SD. Isi ketetapan itu memerintahkan agar kedua pejabat tersebut kembali ke pos-nya untuk menjalankan tugas pekerjaannya. Namun, Mr Iskak Tjokroadisujo dan Sudiro tidak dapat menjalankan pekerjaan karena pada tanggal 9 November 1946 malahan diculik oleh golongan tertentu. Dan golongan tertentu itu mengangkat Soejas dan Dasuki masing-masing menjadi Residen dan Wakil Residen Surakarta. Golongan tertentu itu adalah golongan Sosialis yang menjurus ke Komunis, karena Soejas dan Dasuki termasuk di dalamnya. Pertentangan antara dua golongan itu terus memuncak akibat adanya Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946 yang berbentuk “Pro” dan “Kontra” perjanjian tersebut. Kemudian golongan yang pro ini membentuk front ” Sayap Kiri” dan terdiri dari Partai Sosialis, PBI, PKI, Pesindo. Sedang yang Kontra juga membentuk front yang bernama “Benteng Republik” dan terdiri dari PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng RI. Perjanjian Linggarjati itu akhirnya mendapat tentangan dari anggota partainya sendiri, yaitu Syahrir sendiri. Akibatnya timbul perpecahan dalam Partai Sosialis. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Ada yang menyebut SOSKA-Sosialis Kanan) dan Amir Syarifuddin tetap dengan Partai Sosialinya yang nantinya bergabung dengan FDR/PKI. Karena itulah maka jatuhlah Kabinet Syahrir (yang ketiga) pada tanggal 26 Juli 1947. Setelah itu dibentuk Kabinet baru di mana Perdana Menterinya adalah Amir Syarifuddin (merangkap Menteri Pertahanan). Kabinet ini melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda yang menghasilkan suatu persetujuan yang nilainya dapat dipandang sebagai lebih merugikan Indonesia kalau dibandingkan dengan perjanjian Linggarjati, adalah yang disebut Persetujuan Renville.

Namanya kini diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta. Namanya juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Jakarta.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d "Dr. Moewardi [Dokter Pembela NKRI]". tokoh.id. 10 Februari 2016. Diakses tanggal 6 Januari 2022.