Batik Minahasa
Batik Minahasa adalah kain batik yang menggunakan motif tradisional atau ragam hias dari tanah adat Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Kain batik sendiri adalah kain yang diproses dengan cara membatik, yaitu membuat motif dengan melakukan perintang warna menggunakan lilin atau malam. Dengan proses batik ini, lalu diangkatlah motif-motif ragam hias bangsa Minahasa.Minahasa adalah etnis besar (bangsa) yang terdiri dari beberapa sub etnis seperti Tonsea, Tolour, Tombulu, Tountemboan, Tonsawang, Batik, Pasan, Ponosakan, Borgo Babontehu.
Dari semua sub etnis yang kemudian menjadi satu kumpulan besar Etnis Minahasa mereka mendiami wilayah teritorial mulai dari Bitung, Minahasa Utara, Manado, Minahasa Selatan, Tomohon, Minahasa Induk, dan Minahasa Tenggara. Semuanya merupakan wilayah tanah adat Minahasa yang menjadi bagian dari Sulawesi Utara.
Maka batik Minahasa adalah kain yang diproses dengan cara pembatikan (bukan print) yang motif kainnya bercirikan ragam hias nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Minahasa secara umum.
Sumber Motif Hias
Salah satu sumber ragam hias batik Minahasa adalah Waruga, yaitu kubur khas wilayah setempat. Kehadiran waruga sebagai satu budaya Minahasa sudah sangat lama. Menurut penelitian para arkeolog dari Balai Arkeologi, Waruga sudah ada sejak 400 tahun sebelum Masehi. Proses penentuan usia waruga tersebut dilakukan dengan menggunakan metoda pertanggalan karbon, juga dengan membandingkan dengan usia keramik-keramik Tiongkok yang terdapat pada kubur tersebut. Pada waruga didapati berbagai ragam hias yang khas, antara lain adalah manusia kangkang. Secara umum ada beberapa sumber ragam hias yakni:
1. Situs-situs perubakala seperti Waruga.
2. Tanaman/Tumbuhan (Rerouwan) khas Minahasa seperti tawaang, tuis, gedi, edelweis, dsb.
3. Hewan (Resouan) seperti burung Manguni, burung pisok, yaki, tarsius dan masih banyak lagi hewan khas Sulawesi Utara di tanah Minahasa.
4. Geometris (Pakarisan) simbol simbol bentuk garis yang membentuk pola tertentu.
5. Cerita Rakyat (Sinisilan) merupakan aplikasi ringkasan dari cerita rakyat/dongeng yang berada di lingkungan masyarakat Sulawesi Utara.
Ragam Hias
Pertama, sumber ragam hias yang terdapat pada situs purbakala waruga;
1. Tonaas. Ragam hias ini terbagi dua, yaitu: a. Tonaas ang kayobaan yaitu tuama atau lelaki kuat yang bisa menguasai makhluk hidup yang lain. b. Tuama loor/leos adalah gambaran seorang pria berbentuk manusia kangkang sebagai simbol manusia yang polos apa adanya.
2. Tarawesan paredey adalah merupakan simbol dari gelombang kehidupan yang datang dari dua arah, yakni dari atas dan dari bawah. Motif ini secara berurutan berbentuk geometris (pakarisan) yang disebut tarawesan paredey atau garis berulang berbaris.
3. Ma’sungkulan. Ragam hias ini sebagian berbentuk kembang teratai atau dalam tradisi batik Jawa disebut kawung. Pada bagian bawahnya terdapat ragam hias mirip tangkai teratai seolah seperti lekukan ular. Nampaknya ini seperti motif dari flora (rerouan) yang membentuk motif baru. Ma'sungkulan artinya dipertemukan karena ada beberapa bentuk seperti kawung dan teratai yang bertemu menjadi bentuk yang unik. Motif ini bisa diinterpretasikan bahwa orang yang dikubur ini adalah orang yang sudah menikah karena mengalami hal-hal yang indah dan berbunga dengan bertemu jodohnya,
4. Ma'suiyan (teteleb pisok). Ragam hias ini menyerupai sayap burung. Dari beberapa informasi ragam hias ini adalah ekspresi dari sayap burung pisok (teteleb ne pisok), salah satu jenis burung di Minahasa yang sangat terkenal. Di Minahasa terdapat Tari Pisok yang menggambarkan energi baik, yaitu keuletan dan kecakapan dari seekor burung pisok yang sangat lincah.
Dari sejumlah ragam hias tersebut terdapat pula ragam hias lain yang jika dikombinasikan akan menghasikan motif yang cukup unik dan berciri khas Minahasa seperti motif karengkom.
5. Wewengkalen. Adalah bentuk seperti ular berkepala dua atau simbol keabadian di mana ular sebagai binatang yang bisa berganti kulit digambarkan memiliki kemampuan untuk bisa kembali memberbaharui kehidupannya.
Kedua, ragam hias yang didapat dari tanaman (rerouwan) antara lain;
- Tawaang
- Buket Cengkih
- Cingkeh Fiaro
- Daun Woka
- Daun Wenang
- Daun Gedi
- Daun Pangi
- Pohon kelapa
- Biji Pala
- Daun Paku (Pakis)
- Daun Sese Wanua
Ketiga, ragam hias dari binatang/hewan atau motif resouwan diantaranya;
- Burung Manguni
- Tarsius
- Kuda Laut (sea horse)
- Burung Pisok
Keempat, ragam hias dari alam semesta yang membentuk garis-garis geometris
- Karang laut bunaken
- Pegunungan Klabat, Soputan, Lokon, dsb.
- Danau Tondano, Moat, Linua, dsb.
- Sungai Ranoiapo, Sungai Tondano
Kelima, ragam hias yang diangkat dari kisah cerita rakyat
- Motif Malesung
- Motif Toar Lumimuut
- Motif Tumatenden
- Motif Waraney
- Motif Lumimuut
- Santi wo kedung
Teknik Penyusunan Motif (Tata Letak)
- Memanjang
- Menyerong
- Berbalikan
- Berhadapan
Semiologi Batik Minahasa: Barthes dan Kristeva di Dinding Waruga
I Manusia sungguh makhluk terkutuk. Betapa tidak, justru pada apa yang menjadi kelebihan kodratinya dibanding semua makhluk lain, yakni kesadaran (consciousness), di situlah ia mengalami problem fundamental dan buntu! Karena kesadarannya itu senantiasa menuntut adanya penilaian “benar” atas setiap sikap dan tindakannya, padahal kebenaran ternyata bukan saja harus sangat sukar dicapai tapi bahkan nyaris tak mungkin. Misalnya, untuk mengkonfirmasi betulkah warna kain bagian atas bendera negara kita itu merah ternyata tak semudah klaim kebenaran kita selama ini. Para pemikir zaman kuno sedari ribuan tahun silam telah menyadari kesukaran itu, para peneliti fisika modern melalui teori mekanika quantum pun melihat ketidaksederhanaan problem itu.
Maka pencarian serta penetapan kebenaran dengan metode korespondensi pun disepakati sebagai tak memadai. Sebagai gantinya, dikembangkanlah sistem kajian yang lebih mendalam, mendasar, radikal, sekaligus universal dan eternal, yang kemudian dikenal sebagai filsafat. Filsafat yang, saking jauh mendalam dan meninggi ke langit, sampai menembus masuk ke area transenden nan sakral disebut teologi; obyek yang digarapnya adalah kuasa tertinggi gaib yang melatari semua alam fisika [supernatural]; dan para agen utamanya dibilang nabi.
Sementara filsafat yang taraf kedalamannya tidak boleh terlalu dijauhkan dari alam fisika, landasannya tetap harus obyektif, agar tetap relevan, tak melantur, problem solving, oleh Aristoteles disebut metafisika. Beyond the physics, melampaui alam fisika tapi hanya terletak persis di baliknya; dan para agen utamanya pun cukup disebut filsuf. [Itulah mengapa Plato, meski seorang filsuf, tapi karena filsafatnya sampai menggarap area Dunia Idea yang oleh masyarakat Yunani zaman itu maupun gereja Kristen awal dipercaya sebagai tempat persemayaman dewa-dewi maupun Allah, maka gurunya Aristoteles itu sampai pada abad IV Masehi pun masih disebut dengan hormat “Plato yang illahi” (Platon ho theios).]
Metafisika memang jadi teori agung. Induk segala ilmu. Sampai ketika Hume pada abad XVIII menyadarkan jagat intelektual, bahwa sesungguhnya metafisika tak becus sebagai representasi kebenaran. Menurut David Hume — genius asal Skotlandia yang belum umur 12 tahun kuliah di Universitas Edinburg tapi tak lama sudah meninggalkan kampus lantaran merasa lebih efektif belajar sendiri — metafisika ibarat garpu yang ketika kita makan tak mampu meraih semua bagian makanan yang kecil-kecil, kuah, dan sebagainya. Maka upaya melebarkan daya cakup sang garpu, sambil merapatkan semakin ketat jari-jari penusuknya, dilakukan para filsuf kemudian. Terkenal metasifika Kant yang amat kompleks dan ketat, metafisika Hegel yang melebar sampai jauh ke Akhir Zaman, dan seterusnya. Namun semuanya tak memadai, sampai datang Filsafat Bahasa. Filsafat Bahasa bukan filsafat mengenai bahasa, melainkan filsafat atau metode pencarian kebenaran yang mengandalkan bahasa. Ini dinilai jauh lebih handal dibanding metafisika. Menurut Wittgenstein — filsuf yang rumus matematika temuannya jadi dasar penemuan mesin berpikir alias komputer — jika cara kerja metafisika ibarat garpu atau jala yang bagaimanapun ketatnya tetap ada yang tak terambil, bahasa bekerja persis seperti pemotret. Potret akan merekam langsung seluruh yang ada dari obyek di hadapan kita. Tinggal selanjutnya memilah-milah tata bahasa tersebut. Sempat puluhan tahun Filsafat Bahasa Berjaya. Sampai datang keinsafan yang dibawa para filsuf PostModernisme. Derrida bilang, bahasa saja sangat tak mungkin sebagai representasi kebenaran, bahasa malah sudah menyesatkan sejak dalam proses pencarian kebenaran oleh sistem berpikir kita. Maka — oleh beberapa eksponen Filsafat Bahasa sendiri [Peirce, Saussure, dll.] yang sudah tercerahkan — ditampilkanlah Semiotika sebagai alternatif baru yang paling diandalkan.
II Logislah jika Semiotika dipandang paling sanggup menjadi jendela kebenaran. Kalau kita percaya pepatah “you’re what you read” ataupun “you’re what you eat” — pendek kata konsumsi jasmani maupun rohani kita mengkonstitusikan siapa sesungguhnya diri kita — maka terlebih lagi apa yang kita produksi! Memang ekspresi yang dari dalam kita, bukan dari luar yang bisa saja sudah dicampuri pelbagai faktor eksternal, tentu jauh lebih otentik. Nah, salah satu yang kita produksi, yang seutuhnya merepresentasi diri kita, ialah lambang. Lambang atau sistem tanda yang kita ciptakan buat mengomunikasikan pikiran, perasaan, karsa, aspirasi, yang terungkap secara lebih jujur dan komplit bahkan dibanding dengan apa yang ingin kita katakan. Bahasa, termasuk bahasa tubuh, gambar, musik, semua itu adalah lambang. Teori tentang lambang, symbol, tanda, sudah sangat lama dikembangkan para pemikir. Ketika Aristoteles pada lebih dua ribu tahun lampau berteori tentang kata benda (noun) — kata sebagai penanda untuk menandai benda tertentu — itu semiologi.
Ketika Ch. Sander Peirce pada lebih seabad lalu berfilsafat tentang arti bendera putih untuk menunjuk petanda kalah, ia dipandang sebagai seorang perintis semiotika modern. Begitu juga sejumlah filsuf lain. Termasuk, dan terutama, Saussure beserta semua eksponen Filsafat Bahasa — karena dari perspektif filsafat semiologi jelas mereka pun mengajukan bahasa yang merupakan salah satu sistem simbol manusia itu sebagai metode pencarian kebenaran. Tetapi proklamasi Semiotika sebagai jalan filsafat pencarian kebenaran baru didemonstrasikan secara penuh dan konsekuen sejak dan oleh Barthes, Kristeva, Eco, Greimas, Hjelmslev, dan seterusnya. Istilah semiotika atau semiologi dibentuk dari kata dasar semeion, bahasa Yunani, yang semakna dengan kata yang digunakan dalam proses diagnosis kedokteran untuk menunjukkan simptom. Dengan demikian boleh dibilang, filsafat semiologi adalah selaras tapi merupakan kebalikan dari filsafat fenomenologi. Sama-sama memanfaatkan serta mengandalkan apa yang tampak di permukaan obyek, dan bukan justru obyek itu sendiri. Tetapi kalau fenomenologi melihat pada fenomena atau gejala dari suatu obyek sebatas apa yang masuk dalam penginderaan kita sebagai subyek penahu, maka sebaliknya semiologi melihat apa yang otentik diproduk oleh obyek dan tidak dipengaruhi oleh sistem penginderaan si subyek.
Pada Roland Barthes (1915-1980), penanda bukan saja simbol-simbol seperti bahasa, lencana, logo, ornament, gambar, dan sebagainya. Melainkan semua. Sosok masyarakat, agama, asmara, segala-gala, semua itu adalah urusan semiotika. Bagi Barthes, dan semua semiolog, bila kita memandang selembar busana Batik Minahasa, maka petanda yang mesti menjadi perhatian kita bukan saja gambar waruga, burung manguni, ataupun pelbagai simbol ornamental lainnya yang tertera di situ, tapi juga bagaimana konsumen atau para pemakai mempersepsi serta memperlakukan bajunya itu, bahkan tentang posisi Batik Minahasa dalam jagat mode busana.
Dan memang tidak kebetulan di antara sekian banyak buku karya Barthes, yang selalu penuh kejutan pemberontakan dan eksostisme itu, salah satu yang terpentingnya adalah mengenai busana dan mode. Sistema Fashion, terbit tahun 1967. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Matthew Ward dan Richard Howard, The Fashion System, terbit di New York 1983.
III Jadi, menurut semiologi yang merupakan konstitutor kebenaran paling diandalkan sekarang ini, Batik Minahasa adalah ekspresi paling jujur nan otentik dari hakikat keminahasaan. Dan tak kurang dari itu! Penjelasan rinci untuk konstitusi tersebut, meski sangat sah jika saya ajukan, namun lebih baik jika oleh publik sendiri. Bukan saja sangat sah untuk membuat penjelasan rincinya, oleh siapapun Anda, sebagaimana ditunjuk Barthes pada peran para pengulas seni busana dalam sejumlah majalah fashion untuk membentuk mode di pelbagai masa, melainkan pula merupakan panggilan mulia. Sebagaimana fungsi luhur para kritisi seni yang mensosialisasikan serta menginternalisasikan nilai-nilai mulia dari suatu karya seni sebagai lokomotif pemajuan peradaban setiap bangsa. Saya tidak mau, dan merasa tak perlu, mengulas atau melakukan praktik metode semiologi atas seni Batik Minahasa, karena: 1. Tidak mau, karena itu harus menjurus pada kajian ilmiah. Dan pengenaan logika-logika serta bahasa “ilmiah” atas suatu karya seni sering kali menjadi kesewenang-wenangan. Biarlah seni tetap seni, yakni entitas yang tiba pada reseptornya melalui kepekaan rasa, pengalaman sublim, di dalam kemurnian kalbu.
Dalam hal ini Richard Rorty, eksponen PostModernisme Amerika, ada benarnya. Ketika ia mematok bahwa metafora puisi dan pelbagai ekspresi seni justru sebaliknya lebih sanggup mencapai kebenaran ilmiah dibanding deskripsi teoretis sains itu sendiri. 2. Tidak perlu, karena, sebagaimana ditegaskan Barthes dalam The Fashion System, hlm.230-231, signifikansinya toh sudah dapat dipahami meski tak terbaca. Kata orang Manado. “Biar ngana nyanda tulis, kita so dapa baca!” Memang tujuan utama dari seluruh operasi semiologi Roland Barthes, seperti jelas pada halaman berikutnya (232), untuk menyingkap serta menemukan ideologi dari suatu sistem tanda.
IV Batik Minahasa, dengan demikian, akan lebih ampuh sebagai wahana penyemaian serta penumbuhkembangan nilai-nilai unggul dari budaya Minahasa ke dalam presuposisi serta etos setiap masyarakatnya. Dan proses pemberadaban ini berlangsung secara alamiah nan niscaya, tak terbendung oleh segala intervensi politik, tak terhalangi oleh segala kalkulasi ekonomi, tak terhambat oleh segala penetrasi kultur cemar.
V Tentu saja proposisi-proposisi ideal mengenai Batik Minahasa itu tidak merupakan tujuan teori semiotika Barthes sendiri. Semua proposisi di atas dibangun berdasar konsekuensi logis dari semiologi pada umumnya, dan teori-teori umum ilmu budaya. Sekali lagi, semiologi Barthes bertujuan [sebagaimana semua filsuf Barat abad XX yang dirasuk Kiri Baru atau Kritik Ideologi]: pengbongkaran selubung ideologis. Di sinilah kita tiba pada titik simpang dengan Barthes. Dan untungnya ada semiolog lain yang punya penjelasan lebih menyempurnakan. Dia adalah Julia Kristeva, yang pula tersohor sebagai gembong feminisme. Perempuan asal Bulgaria kelahiran tahun 1941 ini juga sohor dengan terminologinya: “polilog”, polylogue. Sebagai alternatif penyempurna dari dialog (dialogue) apalagi monolog (monologue). Kalau Barthes adalah anak kandung Filsafat Bahasa, khususnya Strukturalisme, sehingga memandang individu hanyalah sehelai daun dari sebuah pohon besar. Sehelai daun yang tak otonom, yang eksistensinya dan identitasnya tiada bila terlepas dari ranting.
Sehingga, dalam hal seni busana, Barthes selamanya lebih menujukan perhatiannya pada mode yang dihitungnya tak lain dari kemenangan sistem sosial atas individu. Keterjajahan pribadi seseorang oleh sosial-budayanya sendiri. Itu ada benarnya, dan memang lebih banyak buktinya. Tetapi hidup tentu tidak selamanya sesuram gambaran Barthes. [Dalam hal ini, diri Barthes beserta teorinya sendiri adalah penanda dari sejarah masa kecilnya yang muram.] Selalu ada musim semi, di samping musim dingin dan musim gugur. Dan bahkan bagi perancang busana yang kreatif, musim kemarau atau musim apapun akan jadi peluang baginya untuk menelorkan karya adiluhung. Julia Kristeva sebaliknya. Menurutnya, ketika seorang individu membuat penanda maka saat itulah ia sudah berposisi dan berfungsi sebagai subyek. Ya, Subyek. Dengan huruf “S” besar. Maka pasti bukan lagi obyek. Subyek yang dengan sadar menandai dunianya. Dan karenanya mewarnai masyarakatnya. Bukan obyek tak otonom yang sepenuhnya cuma ditentukan oleh masyarakatnya.
Mode, boleh saja seperti kata Barthes sebagai kemenangan penjajahan kapitalisme atas pribadi-pribadi. Tetapi jangan lupa, apa yang dijadikan mode itu — misalnya suatu karya cipta busana, atau suatu corak khas batik Minahasa — tak lain adalah karya cipta seni dari pribadi atau para pribadi yang menekuni estetika busana dan visual-art yang merefleksikan sukma Minahasa sejati. Sekali lagi, pribadi! Tinggallah persoalannya: adakah pribadi itu menebar terang di masyarakatnya atau sebaliknya menyesatkan ke jalan gelap. Tetapi, sejauh itu, jelas Kristeva kita angkat tidak untuk mementahkan Barthes. Mereka saling menyempurnakan. Barthes dan Kristeva, dengan pemikiran-pemikiran besar mereka yang sudah menjadi abadi, dapat kita baca pada setiap simbol, gambar dan ornament, yang terukir sebagai relief-relief di permukaan waruga. Seperti juga gambar burung manguni, pucuk tawa’ang, santi dan kedung, dan lain-lain, yang kini dilukis pada setiap lembar kain Batik Minahasa.